Tarik Ulur Candi Borobudur
Ikhtiar pemerintah yang berkehendak mendongkrak harga tiket ditanggapi kritis masyarakat. Momentum pro-kontra harga tiket Borobudur dapat dijadikan peranti ”repositioning” sekaligus penjenamaan ulang Candi Borobudur.
Candi Borobudur sebagai destinasi wisata sudah ”tercetak”. Melekat kuat di benak pemerintah, pengelola wisata, dan masyarakat. Kesalahkaprahan terutama terkait target pendapatan pemerintah, pusat ataupun daerah.
Kalau Candi Borobudur dimetaforakan sebagai gula, keberadaannya akan dikerubuti semut. Siapakah semut-semut itu?
Jawabannya mudah diterka. Tentu saja pemerintah dan pengelola, pedagang serta penjual destinasi wisata, syukur-syukur penduduk setempat. Mereka antusias menjadikan Candi Borobudur sebagai bagian dari komoditas wisata.
Komodifikasi Candi Borobudur berujung pada perputaran uang. Apakah Candi Borobudur kecipratan tebaran uang atas usaha bisnis itu? Pembaca bisa menyimpulkan berdasarkan tafsir kebudayaan, budaya visual, pendidikan, ekonomi, pariwisata, atau spiritual.
Laporan Kompas menorehkan kata kunci: resah, tarif, dan beban.
Komodifikasi
Ketika komodifikasi Candi Borobudur diabadikan demi pergerakan roda ekonomi dan lajunya gerbong pariwisata, maka rencana pemerintah untuk melambungkan harga tiket naik ke puncak Borobudur merupakan suatu kewajaran.
Dari perspektif kebudayaan, budaya visual, dan spiritualitas, kehendak seperti itu mencederai nalar rasa dan akal penjaga dan pewaris Borobudur.
Ikhtiar pemerintah yang berkehendak mendongkrak harga tiket ditanggapi kritis warga masyarakat. Selain itu, media cetak, elektronik, dan portal berita daring menayangkan warta berita. Isinya seputar rencana pemerintah menaikkan harga tiket naik ke puncak candi.
Baca juga: Tarif Tiket dan Simalakama Pelestarian Borobudur
Atas peristiwa komodifikasi Borobudur, harian Kompas berpartisipasi aktif menurunkan liputan. Bahkan, Tajuk Rencana pun membahasnya. Di antaranya ada berita ”Rencana Tiket Borobudur Rp 750.000 Meresahkan” (Kompas, 6/6/2022), ”Tarif, Ujian Kepekaan dari Borobudur” (Kompas, 7/6/2022), dan ”Warisan Budaya Dunia: Mari Berhenti Menumpukan Beban pada Candi Borobudur” (Kompas, 9/6/2022).
Laporan Kompas menorehkan kata kunci: resah, tarif, dan beban. Kata kunci itu diposisikan menjadi pintu pembuka. Keberadaannya merepresentasikan sikap kritis warga masyarakat atas kehendak pragmatis pemerintah.
Kata kunci itu menggendong makna konotasi pesimistis. Aura pesimistis ini menjadikan nalar rasa serta akal penjaga dan pewaris Candi Borobudur menjadi tidak tenang. Mereka diterpa bayangan kuasa uang yang akan memendekkan ekosistem Candi Borobudur dalam konteks kebudayaan, budaya visual, dan spiritualitas.
Agar ekosistem Candi Borobudur menjadi landhung alias panjang, momentum ontran-ontran Borobudur dapat dijadikan peranti repositioning sekaligus penjenamaan ulang (rebranding) Candi Borobudur. Agar Candi Borobudur kembali pada peruntukan semula, yaitu sebagai produk kebudayaan plus budaya visual dalam perspektif spiritualitas.
Pada titik ini harus disepakati bersama bahwa kebudayaan wajib dibaca sebagai pandom (pedoman) guna memfokuskan penempatan Candi Borobudur pada konteks diksi kebudayaan. Ini yang harus disetujui sebagai hasil kerja bersama yang saling membahagiakan. Sebuah kerja kolaborasi antara manusia dan kebudayaan, sebagai subyek serta obyek, yang disetarakan secara utuh.
Penekanan diksi kebudayaan dapat dikonotasikan sebagai upaya mendudukkan rasa kemanusiaan yang berkeadilan. Keberadaannya diharapkan mampu mengawal peradaban yang diisi manusia beradab, bermartabat, dan berbudaya.
Baca juga: Pendekatan Pariwisata Borobudur Harus Diubah
Jenama
Ketika jenama Candi Borobudur dikemas sebagai bagian dari produk kebudayaan dan budaya visual dalam payung spiritualitas, saat itulah jenama Candi Borobudur memiliki kekuatan yang sejati. Kekuatan seperti itu menjadi citra cermin kedigdayaan budaya visual dan kebudayaan Indonesia. Karena itulah, lewat momentum kehebohan Borobudur, jenama berikut ekosistem Candi Borobudur harus selalu dijaga.
Aksi sosial semacam ini wajib dilakukan siapa pun. Mengapa? Agar peruntukan Candi Borobudur sebagai tempat peribadatan sekaligus wilayah suci bagi umat Buddha tetap lestari. Terpenting, keberadaannya tidak bersalin fungsi seperti yang terjadi sekarang ini.
Aksi sosial mengembalikan marwah jenama Candi Borobudur seyogianya harus disokong sektor pendidikan. Daya dorong dari bidang pendidikan diyakini mampu mengubah positioning dan cara pandang siapa pun. Terutama pemerintah, pengelola, pedagang atau penjual destinasi wisata, serta warga masyarakat. Lewat pendidikan, siapa pun diberi pemahaman yang signifikan perihal Candi Borobudur. Sebuah produk kebudayaan yang sejatinya merupakan ensiklopedi sekaligus pandom hidup dan kehidupan umat Buddha dan juga umat manusia secara keseluruhan.
Kolaborasi serta aksi sosial mengembalikan jenama Candi Borobudur harus dilaksanakan secara cermat dan bertanggung jawab. Semuanya itu layak dikerjakan dengan kesadaran penuh guna memperbaiki kesalahan sosial masa lalu. Dosa sosial itu mengemuka manakala kebudayaan, budaya visual, dan spiritualitas tidak disepakati sebagai kemudi.
Maka, pada sudut ini, lewat momentum hiruk-pikuk Candi Borobudur, harus dilakukan proses dekonstruksi. Sebuah upaya memosisikan ulang jenama Candi Borobudur dalam konteks kebudayaan, budaya visual, dan spiritualitas.
Untuk itu, makna kebudayaan seyogianya ditilik sebagai sikap praktik kecerdasan intelektual. Cara meneropong semacam itu melibatkan kerja kolaborasi yang konkret antara pemerintah, pengelola, pedagang atau penjual destinasi wisata, dan warga masyarakat. Semua harus menyiapkan diri.
Kolaborasi serta aksi sosial mengembalikan jenama Candi Borobudur harus dilaksanakan secara cermat dan bertanggung jawab.
Mereka harus bersedia manjing ajur ajer. Mereka diharapkan memiliki kemampuan individual berdasarkan kekuatan kecerdasan intelektual. Kehebatan seperti itu dimanfaatkan guna menyatukan nalar perasaan dan akal pikiran. Energi positif itu menjadi modal sosial di tengah arus kehidupan masyarakat modern.
Hal ini penting untuk dipikirkan bersama. Selanjutnya dipakai sebagai modal sosial menapaki peta jalan hidup dan kehidupan secara mbudaya. Sebuah upaya baik guna menjalankan hidup dan kehidupan ini dengan menginjakkan kaki seturut akar kebudayaan yang merepresentasikan kebinekaan bangsa Indonesia. Artinya, di dalam hidup dan kehidupan modern, fondasi tradisi, kearifan lokal, serta unsur spiritualitas tetap berkibar.
Sumbo TinarbukoPemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta