Kondisi Candi Borobudur tidak lagi mungkin dipaksakan menerima pengunjung dalam jumlah berlebihan. Persepsi berkunjung harus mulai diarahkan ke luar kawasan candi.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Pendekatan pariwisata Borobudur perlu diubah agar tidak terus-menerus difokuskan pada wisata kunjungan ke candi. Hal ini mendesak dilakukan demi menjaga kelestarian Candi Borobudur sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia untuk tetap menjaga status candi sebagai warisan dunia.
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Marsis Sutopo mengatakan, pendekatan pariwisata diharapkan tidak lagi melulu dilakukan dengan menempatkan Candi Borobudur sebagai destinasi utama, sebagai obyek untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. ”Setelah bertahun-tahun menjadi obyek wisata dan dipaksa menerima wisatawan melebihi kapasitasnya, ibarat manusia, Candi Borobudur sekarang ini sudah merasakan capek luar biasa,” ujarnya, Minggu (12/6/2022).
Marsis, yang pernah 11 tahun menjabat sebagai Kepala Balai Konservasi Borobudur (BKB), mengatakan, dari perhitungan space capacity atau daya tampung yang pernah dibuat, Candi Borobudur dalam satu waktu tertentu hanya mampu menampung 128 orang. Dengan tanpa memperhitungkan faktor pemulihan, daya tampung candi bisa didesak untuk menampung wisatawan hingga batasan maksimal sebanyak 1.391 orang.
Sebelum pandemi dan kunjungan ke candi ditutup, batasan pengunjung sama sekali tidak pernah diperhatikan. Di hari biasa, kunjungan berkisar 3.000-4.000 orang. Pada musim liburan panjang seperti libur Lebaran, pengunjung, dengan segala polah tingkahnya, dibiarkan masuk hingga membeludak lebih dari 50.000 orang per hari.
Interaksi dengan pengunjung, terutama gesekan dari alas kaki wisatawan di tangga, menjadi salah satu faktor yang memicu kerusakan dan keausan batuan candi. Di luar itu, faktor lain seperti kondisi internal batuan, juga turut menjadi pemicu kerusakan.
Sebagian batuan candi memang diberi lapisan kedap air. Namun, saat ada bagian yang bocor, air tetap saja merembes ke luar hingga ke relief. Dampak kerusakan batuan candi ini terlihat dari kondisi relief yang lembab, ditumbuhi lumut, dan menghitam, lebih hitam dari relief di sekitarnya.
Ketika cuaca berganti panas, maka terjadi penguapan air dari batu. Saat terjadi penguapan terus-menerus, dengan panas yang sangat terik, maka kulit batu akan ”meledak”. Kondisi itulah yang menyebabkan hidung, mata, dan alis yang tergambar di relief sering kali hilang atau tak berbentuk lagi.
”Ketika relief sudah rusak, maka selamanya akan tetap rusak karena tidak bisa diperbaiki lagi,” ujar Marsis. Kerusakan relief itu dapat mengganggu outstanding universal value (OUV) yang dimiliki Candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia.
Dengan mempertimbangkan kondisi itulah, Marsis menyarankan agar pendekatan pariwisata yang semula hanya kunjungan ke candi diubah menjadi kunjungan wisata ke kawasan Borobudur, ke desa-desa sekitar candi. Hal ini bisa dilakukan dengan menggarap wisata ke candi-candi lain yang selama ini belum dikembangkan secara optimal, juga dengan memberdayakan semua warga untuk menciptakan destinasi-destinasi alternatif selain candi.
Marsis menuturkan, pemerintah seharusnya menjadikan konservasi atau pelestarian sebagai prioritas utama bagi Candi Borobudur. Ini juga menjadi wujud realisasi janji pemerintah kepada UNESCO dan dunia internasional untuk melindungi, merawat, dan melestarikan Candi Borobudur sesuai prinsip-prinsip pengelolaan warisan dunia sesuai Konvensi UNESCO tahun 1972.
Koordinator Kelompok Kerja Pemeliharaan BKB Bramantara mengatakan, selain relief, tantangan yang dihadapi BKB saat ini adalah menjaga kelestarian batu tangga agar tidak terus mengalami kerusakan parah dan tidak perlu diganti. ”Saat ini, 90 persen batu tangga masih tersusun dari batu asli. Kondisi itu harus terus-menerus kita pertahankan agar Candi Borobudur juga tetap bisa berstatus sebagai warisan budaya dunia,” ujarnya.
Bagian teras 1, 2, dan 3, yaitu bagian di mana terdapat stupa, juga menjadi bagian yang rawan karena tidak ada lapisan beton yang melapisi batuan. Oleh karena itu, ketika candi ini dibuka, BKB menyarankan agar bagian teras ini tidak dimasuki pengunjung.