Muhibah Kebudayaan Berhenti di Pabrik Pupuk
Harapannya, ruang ini akan menjadi situs estetik yang mendaur ulang kekerasan dan kelelahan kerja industri menjadi nilai-nilai humanisme transendental.
Perjalanan dari Samarinda menuju Bontang, yang jaraknya hanya sekitar 125 kilometer, harus ditempuh dalam waktu lebih dari 2,5 jam, bahkan bisa 3 jam! Lebih celaka lagi kalau perjalanan dimulai dari Balikpapan, kau bisa terlunta-lunta di jalan sampai 7 jam! Rombongan seniman yang dipimpin Butet Kartaredjasa merasakan ”siksaan” itu dari atas bus, yang terseok-seok melaju lantaran jalan tak pernah rata. (Asal tahu, karena alasan kesehatan, Butet tidak ikut dalam rombongan dalam bus. Ia diterbangkan dengan pesawat dari Balikpapan ke Bontang. Sialnya bagi seniman lain karena kapasitas pesawatnya terbatas!).
Pelukis kondang seperti Putu Sutawijaya dan penyair kenamaan Joko Pinurbo, yang tak kuasa menahan keinginan berkemih, menjerit-jerit dari atas bus. Putu bahkan berkata, ”Ini di dalam celana sudah mau meledak!” Tetapi, lantaran tak ada perhentian di pinggir jalan, sopir bus terus melajukan kendaraan. Bus kembali terseok-seok, selain karena jalanan berlubang, jalur ini juga sangat padat oleh kendaraan-kendaraan besar dengan muatan yang berat.
Di dalam bus aku terus berpikir, bagaimana mungkin kota sepenting Bontang hanya memiliki jalan kelas teri? Pak Yono, sopir travel khusus para karyawan PT Pupuk Kaltim, menuturkan, sudah lebih dari 1,5 tahun jalur Samarinda-Bontang tak terurus. ”Ini kalau hujan, waduh banjir semua jalan. Saya itu sampai frustrasi setiap antar karyawan ke Samarinda,” katanya. Kami harus berangkat pukul 04.00 dini hari dari Bontang untuk penerbangan pukul 09.00 Wita di Bandara Internasional Aji Pangeran Tumenggung Pranoto Samarinda. Rombongan lain bahkan harus berangkat pukul 23.00 menuju Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, Balikpapan, untuk penerbangan pukul 09.00 Wita.
Terasa sungguh ironis. Sepanjang jalur Samarinda-Bontang terdapat beberapa industri besar, yang selama ini menyuplai kebutuhan gas alam, elpiji, amonia, pupuk, batubara, serta beberapa industri kimia lainnya. Di blok Muara Badak, yang berlokasi di Desa Satimpo, Bontang Selatan, misalnya, terdapat PT LNG Badak yang selama ini mengeksplorasi gas alam. Sebagian gas itu dialirkan ke PT Pupuk Kaltim sebagai bahan dasar pembuatan pupuk urea. Pupuk Kaltim telah memiliki tujuh pabrik dan berada di area lebih kurang seluas 490 hektar!
Ironi itu semakin tajam jika kita mengingat kemunculan revolusi industri antara tahun 1760-1850 di Inggris. Prinsip dasar revolusi industri, yakni meningkatkan produksi dengan mempermudah proses penyelenggaraan sebuah industri, kemudian dikenal dengan manufaktur, seperti berkebalikan di Bontang. Mesin-mesin besar yang ditemukan para ilmuwan untuk memproses gas alam menjadi amoniak dan kemudian diturunkan menjadi pupuk, tidak menemukan konteksnya yang tepat ketika jalanan menjadi penghambat kinerja.
Kau pasti masih ingat, revolusi industri tak cuma soal-soal penemuan dan penerapan teknologi, tetapi juga soal ekonomi, transportasi, komunikasi, dan sosial budaya. Ketika penemuan mesin pemintal benang dan tenun di Inggris, terjadi efisiensi kerja yang luar biasa. Industri tekstil berkembang cepat dan Inggris tumbuh menjadi negara pertama yang mencapai kemajuan besar. Orientasi manusia tidak lagi menunggu hasil pertanian dari tanah, tetapi sebuah kinerja baru bernama industri yang berlokasi di kota. Berduyun-duyunlah warga desa meninggalkan tanah-tanah pertanian dan bekerja di kota sebagai buruh pabrik.
Kesenjangan di antara mereka tampak pada tingkat kesejahteraannya yang menganga.
Pembangunan rel antarwilayah membuat mobilisasi penduduk semakin cepat dan leluasa. Kota-kota industri, seperti Manchester, dalam waktu singkat menjadi padat penduduk. Implikasi lainnya, kemudian tumbuh kelas majikan (kaum borjuis) dan kelas buruh (proletar). Kesenjangan di antara mereka tampak pada tingkat kesejahteraannya yang menganga. Jika diurut selanjutnya, kesadaran akan pentingnya mendapatkan keadilan serta jaminan hidup yang lebih manusiawi, kaum buruh berhimpun dan berjuang. Dalam ranah politik gerakan ini menjadi partai buruh, yang kemudian tumbuh di sejumlah negara Eropa. Sedangkan secara ideologis melahirkan paham sosialisme yang berbasis buku Das Kapital karya Karl Marx (5 Mei 1818-14 Maret 1883), seorang filsuf, ekonom, dan jurnalis kelahiran Jerman.
Pertanyaannya, mengapa Butet ngotot membawa para seniman, yang terdiri dari para pelukis dan penyair ke sebuah situs industri seperti Bontang? Dalam jawabannya yang sederhana, seniman serba bisa itu cuma berkata, ”Kalau semua industri melakukan ini, betapa indahnya negara kita. Kebudayaan benar-benar diperlakukan sebagai bagian integral dari proses industrialisasi itu,” katanya. Sebab, tambahnya, inti dari kebudayaan adalah merebaknya nilai-nilai humanisme universal. Pabrik sebagai situs industri terjinakkan oleh sentuhan kemanusiaan. Setidaknya, para pekerja (buruh) tidak diletakkan semata-mata sebagai mesin industri, tetapi lebih-lebih adalah sebuah makhluk yang memiliki pikiran, perasaan, hati, dan jalinan sosial bersama para sesamanya.
Baca juga: Butet Kartaredjasa, Muhibah Kebudayaan ke Bontang
Meski tampak benar, pernyataan ini justru mengundang pertanyaan berikutnya. Bagaimana caranya mengintegrasikan kebudayaan dalam satu sistem kerja yang mapan dan sophisticated seperti industri, dalam hal ini industri pupuk, misalnya? Kehadiran puluhan seniman di tengah-tengah deru mesin industri berskala besar dalam waktu singkat barangkali tidak banyak membawa dampak besar. Ketika pelukis seperti Bambang Herras, Putu Sutawijaya, Hari Budiono, serta para penyair seperti Hasan Aspahani, Inggit Putria Marga, Ni Made Purnama Sari, terbengong-bengong menyaksikan jelujuran pipa dan tangki-tangki raksasa, keterasingan itu semakin nyata.
Para seniman seperti dikutuk harus selalu bergelimang kesepian.
Aku melihat, para seniman yang ”mengemban” ideologi humanisme, secara historis sejak revolusi industri, telah terjauhkan dari deru mesin industri, yang mengutamakan produksi. Mereka seolah telah bekerja di wilayah berbeda. Para seniman seperti dikutuk harus selalu bergelimang kesepian (kalau tidak boleh dikatakan kemiskinan), justru untuk memperteguh nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Sedangkan di sisi lainnya, pabrik adalah wilayah banting tulang secara fisik, manusia adalah buruh-buruh yang ”terpaksa” bekerja keras atas nama ”ideologi” produksi. Semakin efisien kerja industri, tetapi bisa memproduksi barang dalam waktu singkat, semakin dihargai. Bukankah itu prinsip kapitalistik? Ujung-ujungnya, sebagian besar tenaga manusia tidak dibutuhkan ketika mesin-mesin (robot) siap menggantikannya.
Aku merasa perlu mengutip puisi terbaru karya Joko Pinurbo setelah berkunjung ke pabrik PT Pupuk Kaltim, Bontang, Kalimantan Timur. Puisi berjudul ”Kolam Ikan” itu berbunyi begini: //Tubuhmu yang lelah/meliuk-liuk di kolam hijau yang jernih/berkilau. Tubuh yang baru saja gajian/setelah sebulan dikejar kerja/Pabrik masih lembur/Suara mesin masih menggema/Dan tubuhmu masih meliuk-liuk/di kolam hijau yang jernih berkilau/Tubuhmu akan selalu/merindukan berkah air/biar hidup tetap cair dan mengalir//.
Aku beruntung bisa membaca puisi ini sebelum benar-benar dipublikasi nanti. Buruh seperti ikan dalam kolam dan air adalah medan kerja yang hijau. Ia jernih dan bisa membuat hidup tetap mengalir, tidak beku, dengan catatan tetap menjadi bagian dari sistem kerja pabrik yang sering kali lembur. Semuanya adalah soal: Kerja! Kerja! Kerja! Dan, semua kerja itu untuk mengejar jumlah produksi. Jelaslah, bahwa puisi yang tampak romantis ini, sebenarnya membawa ideologi kelas pekerja. Jika kau ingin hidupmu selalu cair, sekali lagi tidak beku, maka kau harus kerja, bila perlu lembur lagi. Kira-kira begitu Jokpin menangkap kinerja industri dari sebuah kolam ikan yang ada di bagian lobi pabrik Pupuk Kaltim.
Baca juga: Puisi dalam Tiga Langkah
Oleh sebab itu, kata ”muhibah” barangkali tepat diterakan pada ”kebudayaan”, walaupun harus berhenti di pabrik pupuk. Muhibah adalah sebuah perjalanan atau kunjungan yang dipenuhi oleh niat persahabatan yang tulus. Ini kali obyek kunjungan persahabatan itu sebuah kawasan industri yang telah dibangun dengan susah payah oleh negara sejak tahun 1977 silam. Sesungguhnya, sebuah kunjungan persahabatan tak cuma menawarkan keinginan menjalin kembali relasi yang telah merenggang, justru akibat kerja industri yang supercepat itu, ia juga membawa oleh-oleh. Oleh-oleh itu berupa ideologi humanisme. Pendekatan dari sisi kemanusiaan untuk meredam percepatan kerja mesin.
Para seniman diberi keleluasaan memasuki situs-situs terdalam dari pabrik pupuk urea terbesar di Asia Tenggara, tanpa prosedur yang rumit. Mereka, misalnya, memasuki ruang kontrol untuk mengetahui senyawa apa saja yang disinergikan untuk menciptakan komposisi kimia bernama pupuk urea. Di ruang kontrol ini, para seniman bisa mengetahui asal-usul amonia (NH3), yang jika disenyawakan dengan karbon dioksida (CO2), menghasilkan urea yang kaya akan unsur Nitrogen (N). Nitrogen tak lain adalah unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman, termasuk padi. Selain itu, di hulunya terdapat bahan baku gas alam yang kemudian diubah menjadi amonia.
Para seniman juga bisa melihat dari dekat proses pengantongan pupuk ke dalam karung-karung yang siap didistribusikan ke berbagai kota di dunia. Ada juga produksi pupuk urea curah, seperti dalam produksi minyak goreng. Pupuk curah akan langsung dikapalkan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia.
Dalam proses kerja mega-industri itu, apakah seorang seniman cukup merekam seluruh kerja itu menjadi sebuah karya? Cukup disalin ke dalam rupa atau kata-kata puisi sehingga menjadi sebuah dokumentasi? Buatku, pendokumentasian sebagaimana pernah dilakukan oleh seniman-seniman, seperti Srihadi Soedarsono, Batara Lubis, Popo Iskandar, Sudarso, Suparto, dan Sriyani Hudyonoto, atas undangan Pertamina tahun 1974, sebatas instrumen estetik utuk mendekati pabrik.
Rupanya menyadari hal ini, Butet ingin bahwa karya para pelukis nanti dipamerkan saat ulang tahun Pupuk Kaltim pada 7 Desember 2022 di Bontang. Karya puisi para penyair dibukukan dan dibacakan. Pameran lukisan dan pembacaan puisi mengandung pengertian menggemakan nilai-nilai keindahan ke dalam situs industri yang keras. Ini ibarat ”kerja” air yang menetes di atas batu. Air tidak boleh berhenti menetes, apabila ingin melubangi sebuah batu. Sebaliknya, batu pun bersedia menjadi tatakan dari sebuah proses kerja yang memakan waktu.
Baca juga: Seni Bisa Menjinakkan Industri
Intinya, kesabaran adalah senjata paling ”yahud” untuk menghadapi kekerasan. Dua kutub berbeda semangat itu, misalnya, bisa dipertemukan dalam sebuah museum atau setidaknya sebuah galeri. Untungnya, di pabrik Pupuk Kaltim yang dipimpin oleh Direktur Utama Rahmad Pribadi, telah tersedia sebuah galeri seni di lobi Hotel Equator Bontang. Harapannya, ruang ini akan menjadi situs estetik yang mendaur ulang kekerasan dan kelelahan kerja industri menjadi nilai-nilai humanisme transendental. Sudah pasti pertemuan keduanya akan melahirkan senyawa baru bernama: industri kebudayaan. Bukankah itu telah dimulai di negara-negara asal revolusi industri, seperti Eropa dan Amerika? Bukankah sekarang kau bisa menyaksikan kemegahan sekaligus kegunaan sebuah film di bioskop-bioskop atau jaringan streaming seperti Netflix?
Hanya satu contoh dari muhibah kebudayaan yang kemudian didorong oleh kerja industri estetik dengan sulur-sulur ekosistemnya yang sophisticated sekaligus menghibur. Syukur-syukur bisa membawa kebahagiaan. Jadi, jangan berhenti di pabrik pupuk, begitu kan @masbutet?