Koruptor muda, sebagai pendatang baru, bisa semakin larut dan tenggelam dalam perbuatan yang tidak etis, yaitu korupsi sistemik. Mereka patut disalahkan atas tindakan dan pelanggaran sistemik yang mereka lakukan.
Oleh
NADIATUS SALAMA
·4 menit baca
Topik tentang koruptor muda yang sedang menjadi sorotan dalam berbagai pemberitaan nasional tampaknya menjadi hal yang paradoks tentang citra usia muda. Bagi sebagian orang, usia muda menjadi momentum periode emas perjalanan karir dan memulai petualangan membangun bisnis, namun tidak demikian dengan kasus koruptor muda yang sedang trending ini. NAB, di usianya yang baru 24 tahun, meski sudah dipercaya menjadi bendahara partai dan berada dalam lingkaran pejabat daerah, tetapi karier yang cemerlang ini justru diiringi dengan jeratan korupsi yang membuatnya berada dalam penjara.
Koruptor muda
Koruptor muda dipandang sebagai “pendatang baru” yang diperkenalkan ke dalam lingkungan dan perilaku yang jahat dan korup. Sebagai pendatang baru, mereka diharapkan menjadi pengikut yang setia karena memang begitulah cara kelompok tersebut dalam “menjalankan roda kehidupan.” Mereka diharapkan mempelajari pola dan ideologi kelompok yang sudah melekat sejak lama.
Koruptor muda lebih mudah dimanipulasi agar patuh pada aturan dan norma kelompok. Di sisi lain, mereka sendiri juga berusaha untuk mengidentifikasi secara sosial dan menjadi bagian dari kelompok dengan cara menyesuaikan diri dan mengikuti kultur kelompok. Penyesuaian diri oleh koruptor muda yang “baru belajar” adalah hal yang sangat penting agar bisa masuk dan diterima eksistensinya.
Bagi pendatang baru menolak untuk turut serta dalam kumparan korupsi dan menyerah pada tekanan kelompok maka ini dianggap “memalukan” dan membuat mereka dikucilkan. Sehingga, tanpa disadari, para koruptor muda telah terjebak dalam mentalitas “if you can’t beat them, join them” (jika kamu tidak bisa mengalahkan mereka, bergabunglah dengan mereka).
Korupsi sistemik
Kasus korupsi yang terjadi secara sistemik kerap dicirikan dengan adanya jaringan hubungan bersama yang menyimpang, saling menyandera, dan terhubung sedemikian rumit sehingga tidak mudah untuk membuktikan dan mengidentifikasi secara spesifik. Unsur kekompakan dan loyalitas kelompok bisa membuat korupsi sistemik makin tertanam kuat dan mengakar.
Pembahasan yang menarik, sekaligus meresahkan, adalah fakta bahwa standar kebenaran moral seseorang bisa berubah. Seseorang bisa saja yang mulanya menganggap bahwa suatu tindakan buruk sebagai hal yang tercela, namun kemudian pandangan tersebut bisa berubah dan justru mengikuti perilaku kelompok tersebut ketika seseorang sudah bergabung di dalamnya. Dalam hal ini, koruptor akan mengalami depersonalisasi, dimana mereka mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok dan menjadi individu yang berbeda dari sifat aslinya.
Sifat korupsi yang rahasia dan tersembunyi turut menyebabkan pelaku korupsi untuk mengabaikan kesalahannya karena “tidak ada yang melihat.” Apalagi, ketika korupsi sistemik tidak dianggap sebagai aktivitas individu, tetapi merupakan aktivitas kerja sama kelompok yang bersifat “gotong-royong”, membutuhkan interaksi, dan “tawar-menawar.”
Disengagement of moral agency (melepaskan diri secara moral) menjadi alat justifikasi bahwa pelaku korupsi tidak bekerja sendirian, tetapi “bekerja dalam tim.” Dalam kasus korupsi sistemik ini, seseorang bisa saja melakukan hal yang berlawanan dengan hukum karena tidak menganggap korupsi sebagai hal yang melanggar aturan negara. Tidak ada rasa bersalah saat melakukannya.
Bukan hal yang mengejutkankan jika ada pelaku korupsi yang mengatakan “Saya melakukan ini karena tugas.” Ada proses pembelaan, legitimasi diri, dan netralisasi secara psikologis. Mereka secara tidak sadar terdorong ke arah korupsi yang semakin serius. Terjadi bias yang, pelan tapi pasti, akan mengarahkan kepada kemunafikan moral.
Seseorang cenderung tidak lagi melihat perilaku korupsi sebagai tindakan yang tidak ilegal. Mereka telah mematikan hati nuraninya sendiri. Ditambah lagi, jika pemimpin organisasi juga turut mendukung, membiayai, dan melindungi kegiatan “gotong-royong” ini, makin lengkaplah pembenaran atas korupsi sistemik ini. Jadi, meskipun mereka telah jauh tenggelam dalam perilaku yang busuk, tetapi “permainan tetap harus jalan.”
Meskipun korupsi sistemik bukan merupakan tindak kejahatan individu, tetapi merupakan produk dari serangkaian kompleks kekuatan sosial yang berinteraksi dan menyebabkan individu berkomitmen dalam tindak kriminal, namun para koruptor muda yang terlibat dalam korupsi, tetaplah harus bertanggung jawab secara individu. Mereka patut disalahkan atas tindakan dan pelanggaran sistemik yang mereka lakukan. Sementara, para pimpinan korupsi tetaplah memikul tanggung jawab yang lebih besar karena atas inisiatifnyalah praktik korupsi ini merembes ke semua lapisan dan berbagai sektor masyarakat.
Nadiatus Salama, Pemerhati Perilaku Organisasi; Dosen di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang