Maling, Korupsi, dan Penyintas
Pada praktiknya koruptor mencuri dan merampok uang rakyat. Jika penyebutan maling atau rampok sekalipun dipakai mengganti kosakata koruptor, sah saja. Hanya jangan memengaruhi pertimbangan hakim memperingan hukuman.
”Diduga Maling Dana Bencana, KPK Cecar Bupati Kolaka Timur Nonaktif Andy Merya”, demikian judul berita sebuah media daring.
Ada yang baru dalam judul berita ini. Media ini memilih diksi maling daripada korupsi untuk menggambarkan sang terduga yang tengah diperiksa KPK.
Tepatkah penggunaan istilah ini? Mengapa jurnalis memilih kata maling daripada korupsi? Di sisi lain, lembaga antirasuah menyatakan bekas narapidana korupsi merupakan penyintas yang dapat membantu kampanye antikorupsi.
Sepertinya penggunaan kata maling oleh jurnalis untuk mengganti kata korupsi atau koruptor mewakili ekspresi kekecewaan dan kemarahan terhadap penanganan korupsi. Sementara penggunaan istilah penyintas buat narapidana korupsi seolah mewakili ekspresi ”berdamai” dengan pelaku.
Maling dan koruptor
Kata maling dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai ’orang yang mengambil milik orang lain secara sembunyi-sembunyi’. Dalam pendekatan hukum pidana, maling dirumuskan sebagai ”barang siapa mengambil seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”. Lalu, korupsi di KBBI dirumuskan sebagai ”penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain”.
Rasanya, tak ada perbedaan antara maling dan korupsi. Intinya menguasai harta benda bukan miliknya dengan cara melawan hukum.
Sementara dalam pendekatan hukum pidana, korupsi ialah secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Rasanya, tak ada perbedaan antara maling dan korupsi. Intinya menguasai harta benda bukan miliknya dengan cara melawan hukum.
Lalu, apa beda maling dan korupsi? Tipologinya sebagai berikut.
Maling umumnya dilakukan oleh orang miskin yang terdesak kebutuhan ekonomi, mengambil jalan pintas untuk menyambung hidup. Korupsi hanya bisa terjadi antara pihak yang memiliki kekuasaan (aparatur negara) dan orang (badan hukum) yang berkepentingan yang berada di posisi ekonomi kelas menengah atas. Artinya, pelaku korupsi umumnya yang beruang, bukan kaum papa.
Maling hanya mengambil seperlunya, sebatas kemampuan fisiknya untuk menguasai harta milik orang lain. Berbeda dengan korupsi yang daya raupnya melampaui keterbatasan fisik. Karena harta tak lagi selalu terbatas genggaman tangan.
Uang dalam tas, transfer antarrekening, mobil mewah, saham, dan segala harta benda lain yang dibungkus kata ”hibah” bisa diperoleh dengan mudah dari persekutuan jahat ini, bahkan kadang seks jadi salah satu pemanisnya. Daya keruk koruptor dalam hal ini jauh melampaui imajinasi seorang maling.
Maling hanya akan menimbulkan kerugian seseorang atau satu keluarga yang kehilangan harta benda. Kecuali pencurian benda purba yang tak ternilai harganya, tetapi ini pun jarang terdengar.
Koruptor merugikan banyak pihak, masyarakat dan negara. Proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga Nasional seluas 32 hektar di Hambalang, Jawa Barat, menjadi salah satu monumennya. Dan kita masih memiliki daftar panjang proyek lainnya.
Pada November 2019, Polda Jawa Timur mendalami dugaan korupsi dalam peristiwa robohnya gedung SDN Gentong di Pasuruan. Bagaimana jika jatuh korban jiwa akibat dari peristiwa itu. Bayangkan wajah anak-anak polos yang kesakitan atau merenggang nyawa akibat ulah para koruptor itu.
Seorang maling berisiko mati karena penganiayaan warga atau kekerasan yang terjadi di tempat penahanan. Sejauh ini tak terdengar ada koruptor yang mati karena dikeroyok warga atau disiksa aparat.
Jika tak tertangkap tangan, seorang koruptor akan dipanggil baik- baik ke hadapan penyidik dalam ruangan dingin serta konsumsi tersaji. Diperlakukan sopan dan ramah, serta didampingi advokat ternama yang mahal jasanya.
Seorang maling tak mungkin lagi tersenyum di hadapan kamera jurnalis, mukanya tak lagi rata. Untuk mengaduh kesakitan atas kekerasan yang dialaminya saja mereka sudah kehilangan suara.
Baca juga : Alex Noerdin: Dana Hibah Masjid Sriwijaya Umpan demi Bantuan Asing
Koruptor tampil necis di hadapan pers, mengumbar senyum dan berdalih formal, ”Semua keterangan sudah disampaikan kepada penyidik. Terkait pokok perkara, tanyakan saja kepada penyidik.”
Tak tampak luka, tak tampak resah. Mereka seperti memiliki sejumlah jurus rahasia untuk membuat kasus berjalan lambat, memindahkan beban kesalahan kepada orang lain atau mengarahkan agar kasus dihentikan.
Mantan maling akan hidup dalam stigma sosial yang akan menyulitkan diri mereka untuk menjalani hidupnya. Mereka hidup layaknya pendosa yang tanda di wajahnya seperti tak lekang.
Berbeda dengan para koruptor, bekas koruptor hidup mewah di dalam dan di luar penjara. Eks koruptor (politisi) dengan mudah kembali menjadi penguasa.
Ada yang bekas panitia pemilu yang menjadi pejabat legislator, ada yang berpindah jadi legislator partai lain, ada yang selepas jeruji besi menjabat sebagai komisaris BUMN.
Kalkulator yang dimiliki para koruptor jauh lebih mutakhir daripada buatan negara maju. Bahkan Albert Einstein pernah berkata, ”Politik lebih susah daripada fisika.”
Maling dalam empirisnya merupakan pelaku kejahatan terhadap harta benda kalangan menengah ke bawah, sedangkan koruptor pelaku kejahatan terhadap harta benda kalangan menengah atas. Dari perbuatannya sebagai pencuri, bisa disimpulkan bahwa keduanya setali tiga uang.
”Penyintas”
Lalu bagaimana wacana penerapan kata penyintas untuk menyebut bekas narapidana korupsi?
Pada akhir Maret 2021, di hadapan narapidana Lapas Sukamiskin, Bandung, Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana menyebut narapidana korupsi sebagai penyintas. Istilah penyintas yang dilontarkan Wawan langsung mendapat reaksi di media massa.
Kata penyintas merupakan terjemahan dari survivor. Istilah survive (yang berarti ’bertahan’) berasal dari istilah Latin, supervivere. Secara harfiah, kata itu berarti ’hidup melampaui kemampuan’. To survive berarti ’tetap hidup menghadapi rintangan’. Istilah ini memberi kesan adanya kemampuan untuk bertahan.
Pada umumnya dipahami, penyintas merupakan metamorfosis dari korban, baik korban kekerasan, korban bencana alam, maupun sekarang melekat juga pada korban Covid-19 yang mampu bertahan hidup. Penyintas ialah orang yang telah mengalami pengalaman luar biasa, tetapi mampu bertahan untuk tetap hidup.
Penyintas adalah korban. Banyak pengertian korban yang telah dirumuskan dalam undang-undang. Salah satunya UU Perlindungan Saksi dan Korban (PSK). Di dalam undang-undang itu korban diartikan sebagai orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Jika kita sematkan koruptor sebagai penyintas, pertanyaan yang muncul ialah para koruptor itu korban dari apa? Mereka mengalami penderitaan apa? Jika para koruptor itu korban yang mampu bertahan hidup, lalu siapa pelakunya? Lalu bagaimana dengan jembatan yang roboh, gedung sekolah yang ambruk, dan bantuan sosial masyarakat terdampak pandemi Covid-19 yang digelembungkan (mark-up) koruptor, siapa korbannya?
Baca juga : BUMN di Pusaran Kasus Korupsi
Jika koruptor adalah korban, selayaknya kita tak memidana mereka, tetapi melakukan rehabilitasi sebagaimana pencandu narkotika. Mungkinkah kita tak perlu lagi menggunakan frasa pemberantasan korupsi, dan menggantinya dengan rehabilitasi koruptor. Ataukah perlu dibuat lembaga untuk merehabilitasi mereka?
Apabila merujuk UU PSK, korban tindak pidana berhak mendapat rehabilitasi medis, psikologis, dan psikososial. Seandainya dimaknai narapidana korupsi adalah penyintas dan penyintas adalah korban, maka narapidana korupsi juga bisa jadi berhak untuk mendapatkan rehabilitasi itu. Tepatkah?
Menyatakan koruptor sebagai penyintas seolah menutup mata dari penderitaan warga dari akibat ulah para koruptor. Ini mengidentifikasikan sense of crisis terhadap bahaya korupsi belum optimal terlihat dari berbagai kebijakan pemerintah dan lembaga yang menggawanginya.
Padahal, dalam praktiknya, korupsi mengancam keberlangsungan negara. Hukuman bagi koruptor pun tak menciptakan efek jera. Bahkan beberapa putusan hukuman mereka setara maling ayam.
Menyatakan koruptor sebagai penyintas seolah menutup mata dari penderitaan warga dari akibat ulah para koruptor.
Hukuman finansial yang dijatuhkan relatif rendah (maksimal Rp 1 miliar) dibandingkan dengan kerugian negara dan biaya sosial korupsi. Penindakan korupsi justru dilakukan seolah korupsi adalah kejahatan biasa. Di sisi lain, sebagian masyarakat masih memberikan apresiasi kepada tokoh yang korup sepanjang yang bersangkutan memberikan banyak bantuan, tanpa melihat asal uang yang dipakai untuk berderma.
Keberlangsungan bangsa ini hanya dapat selamat jika kita memiliki komitmen bersama untuk melawan korupsi. Lalu, apakah penanggulangan korupsi yang kita lakukan hanya merupakan unsur keterpaksaan, mengingat alternatif untuk tidak memberantas korupsi adalah munculnya bahaya yang tidak terbayangkan.
Akhir kata, apabila penyebutan maling atau rampok sekalipun digunakan untuk mengganti kosakata koruptor, sah saja. Karena pada praktiknya koruptor mencuri dan merampok uang rakyat. Ini sekaligus bagian dari hukuman sosial.
Hanya saja, jangan sampai penggunaan istilah itu menjadi pertimbangan hakim untuk memperingan hukuman koruptor dengan dalih terdakwa mengalami perundungan, sebagaimana putusan pidana eks Menteri Sosial Juliari Batubara.
Edwin Partogi Pasaribu, Wakil Ketua LPSK