Alex Noerdin: Dana Hibah Masjid Sriwijaya Umpan demi Bantuan Asing
Bekas Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin mengaku dana hibah sebesar Rp 130 miliar digunakan sebagai umpan untuk mendapatkan bantuan lebih besar lagi dari negara di Timur Tengah.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Bekas Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin mengaku dana hibah sebesar Rp 130 miliar yang digelontorkan untuk pembangunan Masjid Raya Sriwijaya, Palembang, digunakan sebagai umpan agar kemudian mendapatkan bantuan dari negara-negara di Timur Tengah. Dia pun menilai semua proses penyaluran dana hibah sudah sesuai prosedur.
Hal ini disampaikan Alex saat menjadi saksi dalam sidang dugaan korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang, Selasa (28/9/2021). Dia menjadi satu dari lima saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Tinggi Sumsel dengan empat terdakwa.
Para terdakwa itu adalah Eddy Hermanto selalu bekas Ketua Panitia Pembangunan Masjid Raya Sriwijaya dan Dwi Kridayani selaku kuasa kerja sama operasi (KSO) PT Brantas Abipraya-PT Yodya Karya, pemenang tender pembangunan masjid. Selain itu, ada pula Syarifudin selaku ketua panitia lelang pembangunan masjid dan Yudi Arminto, Project Manager PT Brantas Abipraya-PT Yodya Karya.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sahlan Effendi itu, Alex yang bersaksi secara virtual menjelaskan, dana hibah tersebut dikeluarkan sebagai modal awal pembangunan Masjid Raya Sriwijaya. Pencairan dana pun dilakukan secara bertahap, yakni Rp 50 miliar pada tahun 2015 dan Rp 80 miliar pada 2017.
Jumlah tersebut masih jauh dari dana yang dibutuhkan karena berdasarkan perhitungan konsultan, biaya pembangunan Masjid Raya Sriwijaya dan Islamic Center mencapai Rp 668 miliar. Kisaran biaya itu pun sudah dituangkan dalam rancangan anggaran biaya (RAB).
”Masjid yang akan kami bangun ini bukan masjid sembarang. Akan menjadi salah satu masjid terbesar di Indonesia,” ucap Alex. Bahkan dalam perhitungan awal, biaya yang dibutuhkan untuk membangun proyek ini mencapai Rp 1,1 triliun.
Awal mula pembangunan Masjid Sriwijaya dan Islamic Center ini muncul dari saran sejumlah tokoh nasional asal Sumsel yang memiliki keinginan agar Sumsel memiliki masjid yang bisa menjadi ikon daerah.
Awal mula pembangunan Masjid Sriwijaya dan Islamic Center ini muncul dari saran sejumlah tokoh nasional asal Sumsel yang memiliki keinginan agar Sumsel memiliki masjid yang bisa menjadi ikon daerah. Mereka antara lain mendiang Taufiq Kiemas dan Jimly Asshiddiqie.
Apalagi sudah ada penderma, yakni keluarga Hatim Lutfi yang menghibahkan 10 hektar lahan sebagai lokasi pembangunan Masjid Raya Sriwijaya dan Islamic Center, tepatnya di Jalan Bypass Soekarno-Hatta, Palembang. Hanya saja, kata Alex, jika dibangun di lokasi itu, diperkirakan tidak akan banyak umat yang datang karena tempatnya berada di pinggir Kota Palembang.
Alex pun menyarankan agar Masjid Raya Sriwijaya dibangun di kawasan Jakabaring. Oleh karena itu, lanjut Alex, dirinya meminta jajarannya untuk memeriksa apakah ada lahan milik pemprov yang bisa digunakan sebagai lokasi pembangunan masjid. ”Ternyata ada. Lokasinya persis di depan Kampus Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang,” ujarnya. Lokasi itu juga tidak jauh dari Kompleks Olahraga Jakabaring, Palembang.
Status lahan seluas 15 hektar itu pun diteliti lebih lanjut dan dinyatakan clean and clear atau bersih tanpa masalah. Namun, seiring dengan waktu, ada warga yang mengklaim bahwa terdapat lahan mereka di lokasi tersebut.
Akibatnya, sekitar 6 hektar lahan kemudian berstatus sengketa. Dengan begitu, lahan yang semula direncanakan 15 hektar menjadi hanya 9 hektar. ”Sebenarnya, saya ingin memperkarakan kasus ini ke PTUN. Jika harus mengganti rugi, pemprov akan melakukannya,” ucap Alex.
Agar penyaluran dana hibah ini memiliki payung hukum, ungkap Alex, telah diterbitkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumsel Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pembangunan Masjid Sriwijaya. Dalam perda tersebut tertuang mengenai sumber dana pembangunan masjid yang bisa diperoleh dari APBN, pihak ketiga, dan APBD.
Menurut Alex, berdasarkan kabar dari Jimly, jika pembangunan ini berjalan, akan ada bantuan dari sejumlah negara di Timur Tengah, salah satunya Arab Saudi yang akan ikut berkontribusi. Namun, supaya bisa mendapatkan bantuan tersebut, harus ada bentuk bangunannya dulu. ”Itulah sebabnya dana hibah dari APBD Sumsel itu dicairkan,” paparnya.
Agar pengelolaan dananya jelas, ungkap Alex, dibentuklah Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya. Selanjutnya, dana hibah itu dicairkan melalui Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Sumsel. Proses pencairan dana hibah baru bisa terlaksana setelah ada proposal dari Yayasan Wakaf Sriwijaya.
”Saya memang menyetujui pencairan tersebut. Tetapi dana hibah itu bisa dicairkan setelah proses verifikasinya tuntas,” ujar Alex.
Dia juga menyarankan agar disediakan dana sekitar Rp 100 miliar setiap tahun agar pembangunan masjid berjalan lancar. ”Namun, itu hanya saran yang tentu harus disesuaikan dengan kemampuan daerah dan melalui prosedur yang tepat,” lanjutnya.
Bendahara Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Muddai Maddang mengakui, pihaknya menerima dana hibah tersebut secara bertahap, yakni pada 2015 sebesar Rp 50 miliar. Dana itu digunakan untuk uang muka pembangunan masjid sebesar 10 persen dari total biaya yang dibutuhkan dan biaya konsultan.
Dana tersebut dikirimkan kepada pihak KSO PT Brantas Abipraya-PT Yodya Karya sebesar Rp 48,5 miliar. ”Sisanya sebesar Rp 1,5 miliar tetap berada di rekening yayasan,” ucapnya.
Hanya saja, Muddai yang pernah menjabat Ketua Komite Olimpiade Indonesia tidak mengetahui aliran dana hibah tahap kedua pada tahun 2017 sebesar Rp 80 miliar. ”Karena ketika dana tersebut disalurkan, saya tidak lagi menjadi bendahara, tetapi menjadi Wakil Ketua Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya,” ujarnya.
Ketua Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Marwah M Diah mengungkapkan, dalam proses pembangunan masjid, pihaknya membentuk Panitia Pembangunan Masjid Raya Sriwijaya dengan ketua Eddy Hermanto, yang kala itu menjabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya Sumsel. ”Kami yang berada di yayasan tidak memiliki kecakapan perihal teknis pembangunan. Karena itu, kami membentuk panitia pembangunan,” katanya.
Marwah pun mengaku tidak terlibat terlalu jauh dalam proses lelang hingga penetapan kontrak. ”Saya tahu dana yang dibutukan setelah proses kontrak selesai,” ucapnya. Namun, terkait alasan proyek Masjid Raya Sriwijaya mangkrak, Marwah menyebut hal itu disebabkan tidak adanya dana.
Kekeliruan yang paling tampak ialah dana hibah diberikan kepada yayasan yang berdomisili di luar Sumsel, tepatnya di rumah Muddai Maddang di Kebayoran Baru, Jakarta.
Dalam persidangan tersebut, jaksa penuntut umum dari Kejati Sumsel, Roy Riyadi, menanyakan kabar adanya dana yang mengalir ke kantong Alex Noerdin. Berdasarkan keterangan dari sejumlah saksi, ada aliran dana sebesar Rp 4,93 miliar dari orang bernama Erwan dan KP, yang mengacu pada Kantor Pusat PT Brantas Abipraya, serta dana untuk menyewa helikopter sebesar Rp 300 juta.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Alex menyanggah tegas. Bahkan dia mengaku tidak mengenal Erwan yang disebut-sebut sebagai pemberi dana tersebut. ”Uang dari siapa untuk apa,” ujarnya.