Koruptor Semakin Muda
Politik kaum muda sedang di persimpangan jalan. Di tengah hiruk-pikuk menuju Pemilu 2019, semua partai politik begitu antusias menggunakan isu kelompok muda sebagai cara meraup suara.
Di sisi lain, begitu banyak kasus korupsi yang melibatkan politisi berusia muda. Ini memperkuat asumsi bahwa segregasi umur bukanlah faktor yang menentukan integritas.
Tulisan ini tentu bukan ditujukan untuk mengecilkan harapan kita kepada kelompok muda untuk ikut terlibat dalam mengurus negara, tetapi menjadi bagian dari refleksi untuk menempatkan isu dan kelompok muda secara benar.
Secara hukum, regulasi secara tidak langsung telah memberikan afirmasi yang begitu besar bagi keterlibatan kelompok muda dalam proses politik. Sebut saja syarat usia dalam pencalonan jabatan politik, calon presiden/wakil presiden minimal berusia 40 tahun, calon gubernur/wakil gubernur minimal 30 tahun, calon bupati/wali kota/wakilnya minimal 25 tahun, calon anggota DPR, DPD, dan DPRD minimal 21 tahun, dan anggota partai politik minimal berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin (sama dengan syarat usia untuk menggunakan hak pilih).
Dari sisi pemilih, berdasarkan daftar pemilih tetap yang dirilis Komisi Pemilihan Umum, lebih dari 40 persen pemilih dikategorikan ke dalam kelompok muda/milenial (17-35 tahun). Bagi partai politik, ini tentu menjadi peluang untuk memperkuat isu dan strategi dalam rangka meraup suara dalam Pemilu 2019.
Dalam konteks kasus, tak dapat dimungkiri bahwa fakta menunjukkan pelaku korupsi semakin berusia muda. Sebut saja kasus korupsi yang melibatkan eks Gubernur Jambi Zumi Zola, usia 38 tahun. Ia dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta, subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, hakim juga mencabut hak politik Zumi Zola selama 5 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.
Dalam berbagai kesempatan, Komisi Pemberantasan Korupsi juga mengakui ada semacam kecenderungan pelaku korupsi dilakoni politisi muda, sulit
untuk tidak mengatakan memang terjadi regenerasi. Fakta ini berbanding terbalik dengan semangat bahwa keterlibatan kelompok muda seharusnya menjadi bagian dari upaya untuk mereformasi sistem politik.
Jika merujuk pada Indeks Perilaku Anti Korupsi yang dirilis Badan Pusat Statistik sejak 2012 hingga 2018 (minus 2016), masyarakat yang berusia di bawah 40 tahun sedikit lebih permisif terhadap korupsi ketimbang yang berusia 40-59 tahun. Dan, jika dilihat pada tahun 2018, tingkat permisivitas kelompok muda terhadap korupsi juga meningkat ketimbang pada tahun 2017.
Fenomena ini tentu perlu menjadi bahan evaluasi bagi partai politik ataupun kelompok pemilih muda dalam konteks pemilu. Apakah ini menunjukkan bahwa problem korupsi (integritas) tidak lagi menjadi bagian dari pertimbangan dalam memberikan menyalurkan hak politik (memilih dan dipilih)?
Tantangan
Di sisi lain, hasil jajak pendapat Kompas (30/10/2018)bisa menjadi harapan sekaligus tantangan. Bahwa mayoritas publik menilai masih banyak kelompok muda yang memiliki integritas yang tinggi. Ada harapan yang begitu besar bahwa kepemimpinan nasional mendatang harus diisi tokoh-tokoh muda.
Secara kuantitas, mungkin sudah mulai bermunculan tokoh-tokoh muda yang memegang tampuk kekuasaan dalam struktur partai politik ataupun di lembaga-lembaga legislatif. Tetapi, ada tantangan besar yang selama ini mengungkung terjadinya reformasi di internal partai politik, yaitu bagaimana meruntuhkan kekuasaan oligarkis yang dikendalikan segelintir elite. Kekuasaan semacam inilah yang menyebabkan partai politik terlihat sangat sentralistis, di mana keputusan-keputusan strategis hanya menjadi kewenangan elite-elite partai.
Sekalipun peluang kelompok muda terbuka lebar, mereka akan dihadapkan pada pola perekrutan yang lebih menciptakan kader ”instan”, lebih mengutamakan popularitas dengan disokong finansial yang kuat ketimbang membangun basis konstituen di akar rumput. Belum lagi bicara soal minimnya kapasitas politisi muda yang terkait dengan urusan-urusan publik.
Tantangan ini tentu harus diatasi sembari membangun basis politik yang kuat. Gerakan politisi muda berintegritas harus menjadi gerakan sosial yang melampaui sekat ideologi partai politik tertentu, bukan sekadar jargon politik untuk kepentingan kampanye.
Gerakan ini juga mesti melepaskan beban politik bawaan yang berpotensi menjadi hambatan, misalnya hubungan kekerabatan dengan elite tertentu di partai politik. Dalam banyak hal, dinasti politik justru banyak terbukti menciptakan kader-kader yang berwatak korup.
Deklarasi konflik kepentingan perlu dilakukan untuk menilai sejauh mana aktivitas dan kepentingan pribadi berelasi atau tidak dengan kepentingan publik dan negara. Konflik kepentingan dapat berelasi dalam banyak hal,
sebut saja relasi dengan kelompok politik tertentu, aktivitas bisnis, hingga hubungan yang bersifat pribadi (kekerabatan/pertemanan). Sebab, dalam banyak kasus korupsi, relasi ini terbukti menjadi faktor yang dominan.
Dari sisi eksternal, gerakan ini mesti melibatkan publik. Basis-basis dukungan perlu diarahkan untuk terlibat bersama. Selain bertujuan untuk memperkuat basis dan posisi politik, peran publik juga menjadi bagian dari pengawasan terhadap kinerja wakilnya di institusi politik. Kanal-kanal pengawasan, termasuk di institusi penegak hukum yang dipercaya (whistleblower), juga perlu dimanfaatkan untuk mengatrol perubahan.
Semua catatan ini tentu menjadi bagian dari refleksi bagaimana kelompok muda yang berkecimpung di dunia politik turut membawa angin segar perubahan di tengah situasi politik yang sarat dengan perilaku koruptif. Ketika kaum muda justru banyak terlibat dalam kasus korupsi, kepada siapa lagi nasib bangsa ini akan ditumpangkan?
Reza Syawawi Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia