ASEAN menjadi pasar bagi berbagai perusahaan teknologi, mulai dari perhotelan, transportasi, perdagangan, hingga kuliner. Sejumlah perusahaan dari sejumlah negara berinvestasi dan menjual produk di Asia Tenggara.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Asia Tenggara jadi kawasan yang menarik bagi perusahaan teknologi. Pasar yang besar, ketersediaan sumber daya manusia, kemudahan investasi pun menjadi daya tarik.
Namun, ASEAN masih perlu mengamankan dirinya. Dalam kurun dua-tiga tahun terakhir, berdasarkan laporan riset Credit Suisse, ”ASEAN Unicorns: Scaling New Heights”, Oktober 2021, jumlah rintisan bidang teknologi yang bervaluasi 1 miliar dollar AS atau unicorn di Asia Tenggara lebih dari 30 perusahaan (Kompas, 25/1/2022).
Singapura dan Indonesia paling banyak berkontribusi dalam total unicorn di kawasan ini. Perusahaan rintisan bidang teknologi berstatus unicorn itu, antara lain, Kopi Kenangan, Xendit, Akulaku, OVO, Traveloka, Carro, Lazada, Carsome, Ninja Van, PropertyGuru, dan Vietnam Payment Solutions.
Dilihat dari sisi sektor industri, unicorn berlatar teknologi finansial (tekfin) menjadi pemimpin, diikuti oleh perdagangan secara elektronik atau e-dagang, logistik, serta solusi teknologi. Sebagian besar unicorn di Asia Tenggara memiliki model bisnis ke konsumen (B2C). Sangat sedikit perusahaan yang bermain di segmen bisnis ke bisnis (B2B).
Menjadi pertanyaan, apakah ASEAN perlu mengamankan dirinya? Kita melihat kenyataan rezim atau semacam rezim teknologi ada di AS, China, dan Uni Eropa dengan ciri masing- masing. China dan AS dengan sejumlah perusahaan teknologinya cenderung agresif di pasar global. Uni Eropa bertahan dengan berbagai aturan, mulai perpajakan hingga data.
ASEAN dengan segala daya tariknya perlu membangun semacam rezim sebab kawasan ini merupakan pasar teknologi yang sangat besar dan memiliki sejumlah keunggulan. Laporan Google, Temasek, dan Baik Company (2021) menyebutkan, total pengguna internet berkembang dari 360 juta pada 2019 menjadi 440 juta pengguna pada 2021. Sebagai perbandingan, pengguna internet di Jepang sebanyak 119 juta, India 755 juta pengguna, dan China 989 juta pengguna.
Kawasan ini juga memiliki pertumbuhan yang tinggi dalam investasi perusahaan teknologi berbasis digital atau start up. Tahun 2015 pendanaan hanya 7,86 miliar dollar AS, tetapi pada 2021 sampai triwulan kedua mencapai 124,8 miliar dollar AS. ASEAN juga menjadi pasar bagi berbagai perusahaan teknologi, mulai dari perhotelan, transportasi, perdagangan, hingga kuliner. Sejumlah perusahaan dari sejumlah negara berinvestasi dan juga melakukan penjualan produk di ASEAN.
Rezim teknologi ASEAN setidaknya bisa mengatasi masalah persaingan internal di antara beberapa perusahaan teknologi. Kerja sama kawasan ini juga bisa digunakan untuk membendung agresivitas perusahaan teknologi dari banyak negara. Seperti Uni Eropa, mereka melihat bahwa pengambilan data warganya oleh perusahaan teknologi dari luar telah merugikan mereka. Mereka kemudian bisa membuat aturan perlindungan data pribadi dan juga perpajakan. ASEAN juga perlu membangun rezim yang memungkinkan kerja sama di bidang teknologi dan sumber daya manusia teknologi.