Unicorn Terus Marak, Persaingan Kian Sengit
Sepanjang 2021, aksi merger dan akuisisi pada perusahaan rintisan bidang teknologi meningkat pesat. Bisnis rintisan dengan inovasi baru marak bermekaran. Kompetisi pun makin menguat.
Dalam kurun 2-3 tahun terakhir, berdasar laporan riset Credit Suisse ”ASEAN Unicorns: Scaling New Heights”, Oktober 2021, jumlah perusahaan rintisan bidang teknologi yang bervaluasi 1 miliar dollar AS atau unicorn di Asia Tenggara telah lebih dari 30 perusahaan.
Singapura dan Indonesia paling banyak berkontribusi dalam total unicorn di kawasan ini. Perusahaan rintisan bidang teknologi berstatus unicorn itu antara lain Kopi Kenangan, Xendit, Akulaku, OVO, Traveloka, Carro, Lazada, Carsome, Ninja Van, PropertyGuru, dan Vietnam Payment Solutions.
Dilihat dari sisi sektor industri, unicorn berlatar teknologi finansial (tekfin) menjadi pemimpin, diikuti oleh perdagangan secara elektronik atau e-dagang, logistik, serta solusi teknologi. Sebagian besar unicorn di Asia Tenggara memiliki model bisnis ke konsumen (B2C). Sangat sedikit perusahaan yang bermain di segmen bisnis ke bisnis (B2B).
Sesuai laporan riset Mandiri Grup ”The Billion Dollar Moment: A Paradigm Shift for Indonesian IPO’s” (Desember 2021), selama kurun 2010-2020, kesepakatan merger dan akuisisi di perusahaan rintisan bidang teknologi (startup) yang ada di Asia Tenggara berjalan relatif konstan. Nilai rata-rata per tahun sekitar 20 miliar dollar AS.
Namun, pada 2021, kesepakatan merger dan akuisisi perusahaan rintisan bidang teknologi meningkat pesat. Nilainya mencapai sekitar 75 miliar dollar AS.
Apabila merger dan akuisisi dianggap sebagai salah satu cara exit strategy, maka unicorn adalah penggerak utamanya. Exit strategy adalah strategi yang direncanakan untuk mengakhiri investasi dengan cara yang akan memaksimalkan keuntungan atau meminimalkan kerugian.
Pada 2021, kesepakatan merger dan akuisisi perusahaan rintisan bidang teknologi meningkat pesat. Nilainya mencapai sekitar 75 miliar dollar AS.
Beberapa unicorn cenderung mengakuisisi guna mengoptimalkan dampak exit strategy, seperti Carsome Grup mengakuisisi iCar Asia senilai 200 juta dollar AS.
Dalam laporan yang sama, Grup Mandiri menyebutkan, startup mau tidak mau mengakuisisi perusahaan rintisan lebih kecil agar bisa menguatkan ekosistem produk mereka. Pada saat bersamaan, beredar kabar beberapa unicorn memilih melantai di bursa saham sebagai perwujudan exit strategy. Misalnya, Bukalapak, Grab, GoTo, dan Traveloka.
Populasi muda
Beberapa faktor mendukung pertumbuhan sehat unicorn di Asia Tenggara. Credit Suisse mencontohkan, populasi muda dengan tingkat penetrasi ponsel pintar yang tinggi, seperlima dari populasi penduduk memasuki angkatan kerja dalam 25 tahun ke depan. Ini disertai pula dengan peningkatan jumlah kelas menengah serta aktivitas pendanaan privat dan modal ventura.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro berpendapat, situasi di atas membuat perusahaan rintisan bidang teknologi tetap akan bermunculan di tahun-tahun mendatang. Masih banyak generasi muda yang diperkirakan tertarik membuat startup dengan inovasi baru.
Namun, Eddi tidak memungkiri bahwa selama pandemi Covid-19 sejumlah startup turut terdampak. Ini berkaitan dengan model bisnis dan kondisi makroekonomi. Sebagai gambaran, bisnis perabotan, barang mewah, dan plesir dianggap masyarakat bukan kebutuhan esensial selama pandemi. Startup di sektor-sektor itu pun terdampak.
”Sektor yang dibutuhkan masyarakat dan terbukti bertahan selama pandemi Covid-19, seperti pendidikan, kesehatan, dan makanan,” ujarnya.
Di Indonesia, Eddi memperkirakan terdapat sekitar 2.400 startup. Jumlah ini bisa terus bertambah meski sudah ada beberapa unicorn berikut aksi exit strategy mereka.
Perusahaan rintisan bidang teknologi tetap akan bermunculan di tahun-tahun mendatang. Masih banyak generasi muda yang diperkirakan tertarik membuat startup dengan inovasi baru.
Dari sisi startup, lanjut Eddi, mereka sebenarnya tetap butuh dukungan pendanaan, regulasi yang berpihak, konsumen yang teredukasi, fasilitas inkubasi bisnis, dan talenta yang memadai. Terkait dukungan pendanaan, suntikan investor privat ataupun modal ventura dia perkirakan masih akan tinggi. Akan tetapi, investor semakin jeli sebelum memutuskan mendanai startup baru.
”Apalagi yang menyangkut ’bakar uang’. Startup tetap didukung pendanaan di awal, tetapi setelah beberapa kali putaran pendanaan, perusahaan bersangkutan harus punya cara meraih keuntungan atau malah sudah profit,” katanya.
Dari total populasi penduduk di enam negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam), sekitar 33 persen berada dalam kelompok usia 5-24 tahun. Kurang dari 40 persen populasi penduduk di Indonesia, Thailand, dan Vietnam berusia 25 tahun ke atas telah menyelesaikan pendidikan menengah atas.
Sementara di Singapura, lebih dari 50 persen populasi penduduk berusia 25 tahun ke atas sudah menyelesaikan pendidikan pascasarjana.
Komitmen pemerintah di negara-negara itu terhadap pengeluaran pendidikan terus tumbuh seiring dengan digitalisasi. Euromonitor memperkirakan, belanja pemerintah di enam negara ASEAN tumbuh rata-rata 60 persen pada periode 2015-2020.
Selama pandemi, masing-masing pemerintah juga mengupayakan pembelajaran jarak jauh dengan sumber ajar digital sebagai pengganti pembelajaran luring.
Persaingan
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, saat dihubungi mengatakan, kebutuhan manusia yang semakin kompleks memicu inovasi teknologi untuk mengatasinya. Apalagi, penetrasi pengguna internet di Indonesia terus bertambah.
”Kemunculan startup baru akan selalu ada. Keberadaan mereka tetap diperlukan. Tantangan mereka akan masih berkutat pada literasi digital sebab sejumlah warga belum memiliki pemahaman literasi digital dengan baik,” ujarnya.
Tantangan lain yang akan dihadapi startup, imbuh Nailul, adalah persaingan yang semakin mengerucut. Ini terutama bakal terjadi jika mereka bersaing dengan perusahaan yang sudah lama bergelut di sektor industri yang sama.
Baca Juga: Setiap Hari Muncul Dua Unicorn Baru di Bumi
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mempunyai pandangan senada. Sektor yang dia anggap jenuh atau sudah matang adalah e-dagang, tekfin, perjalanan (travel), dan bisnis makanan-minuman.
Dalam laporan risetnya Credit Suisse mencatat, nilai ukuran barang dagangan (GMV) e-dagang di enam negara ASEAN sekitar 62 miliar dollar AS pada 2020. Nilai ini diperkirakan tumbuh 31 persen per tahun sehingga menjadi 238 miliar pada 2025.
Sementara menurut laporan ”e-Economy SEA 2021” yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company, e-dagang telah mendorong sebagian besar pertumbuhan pasar ekonomi internet pada 2021.
”Kecuali, ada pemain global masuk ke Indonesia, seperti eBay, Amazon, dan Meta, melalui produk tekfin. Hal itu mungkin akan mengubah peta persaingan,” ucap Bhima.
Bhima menambahkan, masih ada sektor atau ranah lain yang bisa digali oleh startup. Misalnya, teknologi kesehatan dan tekfin bidang asuransi. ”Ataupun sektor-sektor industri yang masuknya tidak harus pakai strategi bakar uang,” ujarnya.
Baca Juga: Inovasi Gojek Tetap Berpijak pada ”Ride Hailing”, sedangkan Bukalapak pada E-dagang