Kemunduran Otonomi Daerah
Fenomena semakin sentralitisnya pemerintah dalam mengendalikan daerah terlihat dari banyaknya aturan untuk memastikan otonomi daerah bisa dilaksanakan. Sayangnya, ini justru berdampak buruk pada otonomi daerah.
Di Awal tahun 2022 ini perlu rasanya membincangkan kembali bagaimana praktik otonomi daerah yang semakin mengalami kemunduran. Banyak daerah mengeluhkan bagaimana sentralistisnya pemerintah mengatur dan mengendalikan pelaksanaan otonomi ini.
Daerah semakin tidak leluasa melaksanakan urusannya hanya karena terlalu banyaknya aturan yang dibuat pemerintah. Melalui aturan tersebut pemerintah sangat dominan mengarahkan ke mana otonomi daerah ditujukan, tetapi hanya bedasarkan logika pusat dan bukan daerah.
Menariknya pemerintah selalu beralasan bahwa tindakannya membuat aturan tersebut untuk memperkuat praktik otonomi daerah. Walaupun dalam pelaksanaannya, aturan tersebut justru bertentangan dengan harapan daerah melaksanakan urusannya.
Baca juga:Lubang Hitam Otonomi Daerah
Praktik negara kuat
Sebenarnya yang sedang dipraktikan pemerintah adalah sentralisasi otonomi yang merefleksikan keinginan pemerintah memperkuat posisinya di daerah. Sepertinya pemerintah berangkat dari logika bagaimana mungkin bisa mewujudkan tujuan bernegara, kalau negara tidak otonom terlebih dahulu.
Konsep otonomi negara inilah yang sedang diterapkan oleh pemerintah dengan memperkuat posisinya di depan masyarakat dan kekuatan politik yang ada (Skocpol, 1979). Dengan memanfaatkan kekuatan infrastruktur seperti melalui penggunaan aturan perundang-undangan, pemerintah dengan mudah mengarahkan otonomi daerah. Namun, tanpa disadari aturan yang dibuat pemerintah justru bertentangan dengan semangat demokrasi yang harusnya dikembangkan di daerah.
Baca juga:Agenda Otonomi Daerah
Pemerintah membuat aturan yang menyebabkan daerah tidak leluasa lagi melaksanakan kewenangan otonominya. Pemerintah selalu beralasan bahwa apa yang dilakukan ini adalah bagian dari upaya untuk menjadikan daerah maju. Namun, kenyataannya aturan yang dibuat justru mengembalikan dominasi pusat atas daerah dalam melaksanakan otonominya.
Semakin lama otonomi yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 semakin kehilangan rohnya karena pola sentralisasi yang diimplementasikan menyebabkan daerah semakin bergantung kepada pemerintah. Ketergantungan ini dapat dilihat dari konsultasi yang selalu dilakukan oleh pemerintah daerah ke Kementerian Dalam Negeri hanya untuk mendapat penjelasan mengenai aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah.
Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Bali menyerahkan hasil penilaian kepatuhan kepada pemerintah daerah dengan predikat kepatuhan tinggi standar pelayanan publik 2021 di Kantor Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Bali, Kota Denpasar, Selasa (11/1/2022).
Desain otonomi dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 memang menempatkan pemerintah pusat dominan karena adanya pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Dominasi ini memang konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang memberi keleluasaan pada pemerintah untuk menentukan kewenangan daerah. Pembagian inilah yang ditemukan dalam UU Pemerintahan Daerah, misalnya, kewenangan absolut dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan serta kewenangan konkuren yang dilaksanakan bersama pemerintah dan daerah.
Sayangnya, pemerintah tidak konsisten menggunakan kewenangan bersama ini dan cenderung mengintervensi segala sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan daerah tanpa harus melibatkan pemerintah pusat. Rezim otonomi daerah hari ini penuh dengan aturan yang justru membuat daerah tidak leluasa menggunakan hak otonominya. Ini memang menjadi paradoks dalam upaya memperkuat demokrasi lokal. Demokrasi memang membutuhkan aturan hukum (rule of law). Namun, kebanyakan aturan juga bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi tersebut.
Rezim otonomi daerah hari ini penuh dengan aturan yang justru membuat daerah tidak leluasa menggunakan hak otonominya.
Fakta ini bisa dilihat dari penyelenggaraan pemerintahan daerah hari ini yang justru memperlihatkan betapa aturan-aturan yang dibuat pemerintah pusat membuat daerah tidak berdaya mengembangkan potensi yang mereka miliki untuk memenuhi harapan masyarakat. Malah pelaksanaan asas desentralisasi ini tidak menjadikan daerah mandiri, sejahtera, dan berdaya saing sebagaimana yang menjadi tujuan otonomi daerah.
Menariknya, selama pelaksanaan otonomi daerah sejak reformasi, pemerintah belum pernah melakukan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Otonomi Daerah (EKPOD). Alasan pemerintah cukup sederhana karena melalui Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD) tidak menemukan daerah yang memiliki kinerja rendah selama tiga tahun berturut-turut. Padahal kinerja pemerintah daerah juga bisa dilihat dari apakah ada kemandirian daerah secara kewenangan dan bukan ekonomi semata.
Perspektif keliru
Pemerintah memiliki cara pandang yang keliru dalam melaksanakan otonomi daerah dengan memposisikan daerah harus selalu diatur. Pemberian norma, standar, pedoman, dan kriteria dalam pelaksanaan otonomi daerah justru menjadi kontra produktif dengan tujuan otonomi daerah. Alih-alih mengakui keberagaman daerah yang menjadi ciri kemajemukan Indonesia, pemerintah terjebak dengan keinginannya menyeragamkan kembali otonomi daerah melalui aturan yang dibuatnya. Padahal kebijakan ini tidak sesuai dengan realita daerah di Indonesia yang sangat plural.
Selain itu, tingginya kekhawatiran pemerintah terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan anggaran oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerah, juga terlihat berlebihan. Padahal implementasi kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang didukung anggaran yang memadai akan dapat mewujudkan tujuan pembangunan di daerah.
Untuk itu yang dibutuhkan adalah keleluasaan yang harus diberikan pemerintah kepada daerah untuk berkreasi dan berinovasi sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Sayangnya, pemerintah lebih gemar menerbitkan berbagai peraturan menteri yang justru menghambat bagaimana mewujudkan daerah yang mandiri.
Untuk itu yang dibutuhkan adalah keleluasaan yang harus diberikan pemerintah kepada daerah untuk berkreasi dan berinovasi sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Padahal dalam konteks otonomi daerah ini ada penyerahan kewenangan kepada daerah dengan harapan daerah dapat meningkatkan pelayanan publik secara efektif dan efisien, menstimulasi pertumbuhan ekonomi, memperkuat masyarakat sipil, dan yang terpenting bagaimana memperkuat demokrasi lokal (Manor, 1999). Walaupun begitu, itu semua sangat bergantung pada karakter rezim yang berkuasa apakah ingin mengendalikan semua sehingga terjebak pada sentralisasi atau memilih untuk melaksanakan desentralisasi. Jangan sampai keinginan Kementerian Dalam Negeri mengendalikan otonomi daerah dengan menerbitkan banyak aturan justru semakin memperkuat persepsi publik bahwa terjadi kemunduran demokrasi di Indonesia saat ini.
Otonomi daerah menjadi agenda penting reformasi yang sampai saat ini capaiannya masih belum optimal. Perlu ada langkah strategis yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri untuk memberi ruang dalam melaksanakan otonomi asimetris ketimbang menyeragamkan pelaksanaan otonomi sesuai dengan desain pemerintah. Karena faktanya Indonesia yang plural dari aspek ekonomi, sosial dan budaya adalah potensi yang perlu dikembangkan menjadi keunggulan masing-masing daerah.
Asrinaldi A, Dosen Politik dan Studi Kebijakan Universitas Andalas