Agenda Otonomi Daerah
Pengalaman lapangan dua dasawarsa ini menunjukkan betapa berat menangani otda di Indonesia yang luas, berpenduduk banyak, dan multikultural. Akibatnya capaian otonomi daerah tidak sesuai harapan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2F6ebf2cce-3e18-48f5-a4cb-2032d323ccbd_jpg.jpg)
Para peserta audiensi berfoto bersama setelah mengikuti rapat dengar pendapat umum dengan Komisi II DPR terkait pemekaran daerah otonomi baru di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2019). Dalam audiensi tersebut Komisi II menerima aspirasi terkait pemekaran daerah otonomi baru yaitu Kabupaten Bogoga dan Provinsi Papua Tengah serta tentang partai lokal Papua.
Perkembangan otonomi daerah atau otda yang merupakan amanah reformasi 1998 perlu dijaga terus, jangan sampai melenceng atau kebablasan.
Asa otda adalah untuk melibatkan daerah guna membantu pemerintah pusat mewujudkan kesejahteraan masyarakat dari Sabang sampai Merauke, memudahkan pelayanan publik hingga ke pelosok, dan memakmurkan demokrasi lokal sebagai fondasi demokrasi nasional. Peran daerah dalam sistem pemerintahan berubah dari pasif menunggu komando pusat menjadi aktif penuh prakarsa sesuai kewenangannya.
Pengalaman lapangan dua dasawarsa ini menunjukkan betapa berat menangani otda di Indonesia yang luas, berpenduduk banyak, dan multikultural. Ibarat ”menggenggam anak ayam”, dipegang terlalu ketat bisa lemas, tetapi dipegang terlalu longgar bisa lepas.
Pengendalian pemerintah pusat yang berlebihan dalam bentuk one policy fits for all terhadap pemda bisa mengganggu kelancaran jalannya roda otda. Sebaliknya, kontrol pemerintah pusat yang lemah membuat pemda bisa salah arah, bahkan menimbulkan ”raja-raja kecil”.
Akibatnya, capaian otda tak sesuai harapan, lain yang dicita lain pula yang tiba. Berbagai macam indeks pengukuran kemajuan telah membuktikannya, seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), indeks kemiskinan, indeks kemudahan berusaha, indeks rasio gini, dan indeks pertumbuhan ekonomi yang capaiannya rata-rata rendah.
Sebaliknya, kontrol pemerintah pusat yang lemah membuat pemda bisa salah arah, bahkan menimbulkan "raja-raja kecil."
Memang ada beberapa daerah yang tingkat kemajuannya kencang, tetapi sayang sedikit saja jumlahnya, padahal jumlah daerah kita 542 daerah. Sebutlah Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bantaeng, Kota Surabaya, Kota Surakarta, Kota Bandung, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Sulawesi Selatan, dan Provinsi DIY.
Dari observasi selama ini, faktor pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah melalui mekanisme pemberian pedoman, pembimbingan, fasilitasi, asistensi, pendampingan, supervisi, dan bahkan sanksi sangat diperlukan untuk mengawal kemajuan daerah. Setelah kewenangan ditransfer ke daerah, tak bisa pemerintah pusat taken for granted melepaskan begitu saja daerah menjalankan kewenangannya.
Misalnya, pusat wajib membuat norma, standar, pedoman, dan kriteria (NSPK). Dalam hubungan ini, tepat langkah Presiden Jokowi menginstruksikan kementerian/lembaga membuat NSPK terkait penerapan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, baik dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan presiden, maupun peraturan menteri.
Kendati demikian, menyimak keberhasilan yang signifikan di beberapa daerah tadi, kepemimpinan kepala daerah yang kompeten dan berintegritas serta tata kelola ala good local governance merupakan faktor kunci dalam menggenjot kemajuan daerah.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2FDSCF2955_1578989278.jpg)
Rapat Dengar Pendapat Komite I DPD dengan sejumlah pakar otonomi daerah di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/1/2020).
Maka, momentum perbaikan kebijakan otonomi daerah yang telah ditetapkan dalam Prolegnas 2021 terkait RUU Pemilu yang mengintegrasikan pilkada, RUU perubahan otsus Papua, RUU perubahan ASN, RUU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah merupakan pengganti UU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah No 33/2004, dan RUU Ibu Kota Negara (omnibus law) menjadi agenda utama 2021.
Perbaikan pilkada
Sejalan dengan perbaikan sistem pemilihan anggota legislatif seperti diusulkan dalam draf RUU Pemilu direncanakan akan mengadopsi sistem pemilihan proporsional dengan daftar calon tertutup yang lebih menjamin penguatan kelembagaan parpol (Akbar Tandjung, Kompas, 15/1/2021), hendaknya sistem pilkada simetrik secara langsung dan berpasangan diubah menjadi sistem pilkada asimetrik dan tak berpasangan yang bisa lebih menjamin sistem pemda yang efektif, tak koruptif, dan menutup peluang politisasi birokrasi.
Sistem pilkada asimetrik alias tak seragam adalah ada daerah yang dipilih langsung karena wewenangnya besar (provinsi, kecuali provinsi berstatus otsus/istimewa), tak langsung/DPRD (kabupaten dan kota) karena wewenangnya tak besar, dan cukup diangkat saja oleh pemerintah pusat (kabupaten/kota administratif dan kota-kota kecil yang tak penuhi syarat sebagai daerah otonom).
Selain itu, kiranya diperbaiki pula proses penyelenggaraan pilkada.
Variabel penentuan pemilihan secara asimetrik dengan demikian diukur dari besar kecilnya kewenangan daerah otonom, bukan dari indeks demokrasi yang penerapannya terlalu rumit atau dari pendapatan asli daerah yang berbelit-belit. Sementara untuk mekanisme pilkada diganti dari berpasangan menjadi tak berpasangan (tunggal/mono-eksekutif).
Ketika kepala daerah terpilih dilantik barulah diusulkan wakil kepala daerah yang bisa berasal dari parpol atau nonparpol ke pemerintah pusat untuk ditetapkan. Jumlah wakil kepala daerah tak perlu seragam, sesuai keadaan daerah masing-masing. Daerah kecil tak perlu wakil, daerah sedang satu wakil, dan daerah besar bisa lebih dari dua wakil.
Selain itu, kiranya diperbaiki pula proses penyelenggaraan pilkada. Misalnya, syarat ambang batas dukungan suara/kursi untuk pendaftaran dibuat batasan minimal dan maksimal, syarat pencalonan seperti pendidikan dan usia ditingkatkan, syarat bagi petahana yang kerabatnya maju, wajib cuti di luar tanggungan negara selama masa kampanye, perlu ada syarat berpengalaman di sektor publik minimal dua tahun, dilakukan uji publik pada calon, dan dana penyelenggaraan pilkada bukan dari APBD, melainkan dari APBN. Para calon kandidat kepala daerah agar diberi bantuan dana dari negara untuk membiayai alat peraga kampanye dan biaya saksi-saksi di TPS.

(dari kiri ke kanan depan) Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan, dan Aggota Bawaslu M Afifuddin menghadiri rapat dengar pendapat bersama Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/1/2021). Selain membahas evaluasi pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, rapat juga membicarakan masalah pemberhentian Arief Budiman sebagai KPU oleh DKPP.
Lama waktu kampanye perlu diperpendek, penghitungan suara menggunakan sistem teknologi informasi, dan pilkada serentak nasional sebaiknya dilakukan pada 2027, tidak 2024. Untuk menuju pilkada serentak nasional 2027, tahapan pilkada di 101 daerah tahun 2022 dan 171 daerah tahun 2023 pelaksanaannya disatukan di 2022 saja.
Perubahan otsus Papua
Terkait perubahan kebijakan otonomi khusus (otsus) Papua yang sudah dijalankan selama 20, tetapi tak cukup mampu mendongkrak percepatan pembangunan di tanah Papua, khususnya peningkatan kesejahteraan orang asli Papua (OAP). Pada 2022, dana otsus Papua berdasarkan UU Otsus No 21/2001 berakhir.
Dana otsus sebaiknya ditambah dari 2 persen jadi 3 persen plafon dana alokasi umum (DAU) nasional dan diperpanjang selama 20 tahun ke depan dengan pengaturan yang disempurnakan melalui mekanisme campuran specific grant dengan block grant, plus kewajiban membuat Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).
Selain itu, isu penting lain soal pilkada langsung yang terlalu maju tak sesuai kondisi sosial-kultural orang Papua perlu diubah jadi pilkada tak langsung melalui DPRP tingkat provinsi dan DPRD tingkat kabupaten/kota. Untuk penguatan demokrasi lokal sekaligus resolusi konflik, sebaiknya diatur pembentukan parpol lokal, seperti diberikan ”Jakarta” pada Aceh melalui UU PA No 11/2006.
Terkait masalah pemekaran daerah yang selalu mencuat di tanah Papua, yang sebelum ada UU Otsus Papua No 21/2001 terdiri dari 1 provinsi serta 12 kabupaten dan 2 kota, kini telah tumbuh jadi 2 provinsi, 40 kabupaten, dan 2 kota, baiknya ke depan diprioritaskan pemekaran provinsi saja berbasiskan pada tujuh wilayah adat yang telah hidup sejak zaman dahulu kala.
Pemerintah pusat dan pemerintahan Provinsi Papua, dan Papua Barat beserta segenap akademisi dan tokoh masyarakat, termasuk yang menolak otsus, sebaiknya duduk bersama berdialog untuk membangun konsensus terkait isu-isu penting di atas guna melapangkan jalan perubahan kebijakan otsus.
Untuk membangun daerah perlu penataan serius di tubuh birokrasi pemda selaku implementator kebijakan.
Penataan birokrasi pemda
Untuk membangun daerah perlu penataan serius di tubuh birokrasi pemda selaku implementator kebijakan. Kemajuan daerah tak akan terwujud tanpa peningkatan kualitas birokrasi SDM. Birokrasi pemda harus dibenahi untuk mewujudkan ASN unggul yang profesional, kompeten, dan berintegritas. Selama ini, meritokrasi di dalam birokrasi pemda belum berjalan baik. Merit system yang dilakukan atas dasar kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang tinggi belum sepenuhnya terwujud. Malah terjadi spoil system dalam promosi jabatan.
Tak hanya itu, terjadi pula pencopotan pejabat setiap saat karena dianggap tak loyal kepada kepala daerah gara-gara pilkada dan pemilu. Bahkan, pembentukan panitia seleksi kerap direkayasa sesuai selera user, dan terjadi praktik jual beli jabatan oleh kepala daerah sendiri dibantu staf khususnya.
Untuk mewujudkan manajemen ASN berbasis merit system, perlu dibuat talent pool di setiap pemda dengan menilai potensi dan kompetensi jabatan pimpinan tinggi (JPT) dan administrator untuk kebutuhan manajemen karier, seperti promosi/mutasi, tanpa lewat pansel seperti sekarang.
JPT pratama dan madya di pemda hendaknya dijadikan jabatan ASN nasional sehingga tak mudah dicopot kepala daerah dan bisa pindah ke daerah lain, bahkan ke pusat. Pejabat pembina kepegawaian baiknya tak lagi di tangan kepala daerah, tetapi dipercayakan kepada pejabat karier tertinggi di daerah, yakni sekretaris daerah, dengan pengawasan ketat pemerintah pusat.

Hubungan keuangan pusat-daerah
Pengelolaan keuangan daerah dalam muatan pengaturan hubungan keuangan pusat dan daerah haruslah dalam kerangka desentralisasi dan otda. Misalnya, pola pembagian dana bagi hasil (DBH) hendaknya memperhatikan keseimbangan urusan antara daerah provinsi dan kabupaten/kota.
DBH sumber daya alam bagi daerah yang memiliki tambang minyak yang semula dengan proporsi 84,5 persen pusat dan 15,5 persen daerah dinaikkan menjadi 30 persen daerah dan 70 persen pusat. Begitu pula dengan gas bumi, yang 69,5 persen untuk pusat dan 30,5 persen daerah, diubah menjadi 40 persen daerah dan 60 persen pusat.
DBH untuk perkebunan, seperti sawit, hendaknya diberikan dengan proporsi 30 persen daerah dan 70 persen pusat. Cara penyerahan DBH baiknya dikoreksi, tak boleh ditunda bayar oleh pusat.
Dalam hubungan keuangan pusat-daerah diatur agar tak terjadi konflik kewenangan antara Kemenkeu dan Kemendagri. Dalam kaitan dengan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemda, tugas utama Kemenkeu adalah selaku bendahara umum negara dan pengelola fiskal dalam menetapkan besaran alokasi dana perimbangan.
Terkait ikhwal teknis pelaksanaan pengelolaan dan pertanggungjawabannya, serta pemeriksaan dan pengawasannya, itu merupakan tanggung jawab Kemendagri selaku pembina daerah otonom.
Indonesia belum pernah memiliki UU yang mengatur khusus ibu kota negara (IKN)
Penetapan ibu kota negara
Indonesia belum pernah memiliki UU yang mengatur khusus ibu kota negara (IKN). Pengaturan IKN selama ini hanya secara sumir, terakhir melalui UU No 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI. Kini untuk pertama kali dengan adanya keputusan Presiden Joko Widodo yang akan memindahkan IKN dari Provinsi DKI ke wilayah Provinsi Kalimantan Timur, kita akan memiliki UU IKN lengkap.
Terlepas dari perdebatan panjang terkait penentuan lokasi ibu kota, rencana dan skema pembiayaan fisik ibu kota, tahapan-tahapan pemindahan ibu kota, dan nasib Jakarta sendiri, pada pembahasan RUU IKN antara pemerintah dan DPR pada 2021 ini terdapat isu penting terkait pilkada di provinsi IKN yang sebaiknya melalui sistem tak langsung/DPRD, dan tak berpasangan, cukup kepala daerahnya saja yang dipilih.
Dia dapat dibantu seorang wakil atau beberapa deputi yang diangkat oleh kepala daerah terpilih. Kabupaten dan kota yang masuk provinsi IKN agar bersifat administratif saja. Kepala daerahnya cukup ditunjuk gubernur. Urusan pemerintahannya pun dibuat lebih sederhana, yakni cukup mengatur urusan kelembagaan, tata ruang, pertanahan, perumahan dan pemukiman, serta pariwisata.
(Djohermansyah Djohan Guru Besar IPDN, Pendiri i-OTDA)