Tembang-tembang dolanan bocah, dalam karya Hardjasoebrata yang rajin menggubah tembang dolanan bocah, bukan sekadar tembang, melainkan juga memuat pengajaran merawat alam dan berbagi.
Oleh
BANDUNG MAWARDI
·5 menit baca
Sekian hari lalu, gamelan menjadi tema besar gara-gara UNESCO. Para seniman berbahagia dengan pemuliaan gamelan di dunia. Para pejabat menambahi omongan agar teranggap berperan besar dalam pelestarian dan pemuliaan gamelan. Pelbagai pihak mulai turut menjadi penjelas atas gamelan berkaitan seni, pendidikan, dakwah, sosial, dan lain-lain.
Di buku lama jarang terbaca, tercantum lirik tembang berjudul Sri Yesus Mustikeng Manis gubahan RC Hardjasoebrata (1905-1986). Tembang terbaca akhir tahun itu bermisi religius: Sri Yesus mustikeng manis/ Sabda Dalem tuhu adi/ Ananging paring Dalem sih/ Anglangkungi sae malih. Singkat, tetapi digubah dalam pergumulan iman dan pengabdian dalam karawitan dalam waktu lama.
Hardjasoebrata, tokoh dilahirkan di Yogyakarta tetapi puluhan tahun mengabdi dalam pendidikan, seni, dan dakwah di Solo. Ia menekuni karawitan dan rajin menggubah tembang dolanan bocah. Tembang-tembang untuk gereja pun dibuat dengan kesungguhan dalam babak-babak seni karawitan masuk gereja.
Di Solo dan Yogyakarta, ia berperan besar melalui ketekunan, sejak masa 1920-an. Ia mengajar di sekolah-sekolah Kanisius (Solo), bergaul dengan para seniman, berhubungan dengan para pembesar dan pendakwah Katolik.
Nama pernah tenar, tetapi lama tak terbincangkan berkaitan lakon mutakhir lagu anak-anak, gamelan, pendidikan seni di sekolah, dan dakwah secara kultural. Hardjasoebrata teringat lagi berbekal tiga buku lama masih bisa terperoleh. Dua buku warisan terpenting: Ajo Pada Nembang I dan Ajo Pada Nembang II. Buku diterbitkan oleh Noordhoff-Kolff NV pada masa 1950-an. Dua buku dengan garapan apik dan memukau. Di tiap halaman memuat tembang dilengkapi ilustrasi-ilustrasi buatan B Margana.
Semua tembang dalam buku bukan gubahan Hardjasoebrata. Ia kadang memberi lirik atau gubahan terdahulu oleh para seniman tak semua tercatat nama. Pengakuan dalam bahasa Jawa: ”Boten sadaja lelagon ingkan kamot ing boekoe poenika damelan koela pijambak, saweneh namoeng piridan saking sesekaran ingkang sampoen wonten, ladjeng koela damelaken tetemboengan ingkang gampil dipoen ngretosi ing lare.”
Semua siasat dan kebijakan bahasa diharapkan mudah dipelajari bocah. Hardjasoebrata ingin tembang-tembang itu termiliki dan disenandungkan keseharian, tak cuma bagian dari pelajaran di sekolah.
Hardjasoebrata ingin tembang-tembang itu termiliki dan disenandungkan keseharian, tak cuma bagian dari pelajaran di sekolah.
Tembang-tembang tak mengharuskan dimuati pesan-pesan serius dan menggurui. Kita simak tembang berjudul ”Notoek Ketoek Kleroe Kenong”. Hardajsubrata berbagi lucu: Noetoek ketoek kleroe kenong/ Denma Petroek kantong bolong/ Esoek-esoek plompang plompong/ Mata ngantoek weteng kotong// Nanggap topeng nanggap wajang/ Denma Gareng sangga oewang/ Amentengkreng kreng ngarep lawang/ Menglang-mengleng ngleng mata abang// Kembang mawa kembang djagoeng/ Kjai Semar kemoel saroeng/ Linggoeh nglatar tar sanding loeroeng/ Golek bigar gar ati bingoeng. Bocah-bocah mengerti para tokoh itu lucu, dikenali sebagai Punakawan: menghibur dengan kelucuan, tapi kadang memberi ajakan bijak.
Tembang sederhana memang diperlukan bocah-bocah dalam mengenali beragam hal, termasuk flora-fauna. Tembang kondang gubahan Hardjasoebrata berjudul ”Koepoe Koewi” dimuat dalam buku Ajo Pada Nembang I. Kita diajak bersenandung sambil bergerak ingin menangkap kupu-kupu.
Tembang itu menggembirakan bocah: Koepoe koewi tak tjekele/ Moeng aboere ngewoehake/ Ngalor ngidoel ngoelon bali ngetan/ Mrana-mrana ing saparan-paran/ Mentas mentjok tjegrok bandjoer maboer bleber. Bocah terpikat dan bahagia saat melihat kupu-kupu terbang di halaman rumah atau kebun. Tembang itu bisa mengiringi adengan berlari atau berjalan mengikuti kupu-kupu.
Kita beralih ke buku berjudul Ajo Pada Nembang II. Hardjasoebrata teringat memberi lagu berjudul ”Rambutanku”. Pada akhir 2021, kita melihat pohon-pohon rambutan tampak menggiurkan. Di pinggir jalan, para pedagang menawarkan rambutan dengan harga terjangkau.
Musim rambutan mengajak kita mengingat tembang berbahasa Jawa, disenandungkan bocah-bocah masa lalu. Kita simak: Rambutanku wis ganep wolu godonge/ Mbesuk mesti ngepang tjawang-tjawang angrembujung/ Pirang-pirang abang-abang wohe/ Katon dedompolan pang-pange nganti tumijung/ Mbesuk tak unduhi, simbok tak bagehi// Bapak, simbah, mbakju, kakang, sapa-sapa tak wenehi.
Tembang memuat pengajaran merawat tanaman dan berbagi. Bocah dalam tembang itu belum berpikiran menjadikan rambutan adalah dagangan. Ia memilih berbagi dan berbahagia, ”imbalan” dari kesabaran merawat pohon rambutan.
Kini, sekian tembang tak lagi terdengar dari mulut para bocah. Guru-guru dan para orangtua mungkin lupa. Situasi zaman berubah.
Kini, sekian tembang tak lagi terdengar dari mulut para bocah. Guru-guru dan para orangtua mungkin lupa. Situasi zaman berubah. Lagu-lagu baru dalam bahasa Indonesia dan asing terus bermunculan meski tembang-tembang berbahasa Jawa tetap ada.
Di pelbagai pentas atau industri musik, tembang-tembang berbahasa Jawa sering laris, tetapi bercerita asmara. Lagu-lagu itu campursari, pop, atau dangdut untuk kaum dewasa. Bocah-bocah belum terpikirkan dibuatkan lagu-lagu sederhana, gembira, lucu, dan enteng.
Kita kembali ingin mengingat dan menghormati Hardjasoebrata. Pengabdian tak boleh terabaikan. Pada 1927, Hardjasoebrata mengikuti lomba seni suara diadakan Jong Java dengan prakarsa Mangkunagoro VII. Ia menggubah ”Sinom Buru”. Pemenang pertama tak ada. Hardjasoebrata meraih juara II, mendapat hadiah uang sebesar f 50 (50 gulden, mata uang Belanda). Hadiah disertai dokumen resmi bertanda tangan para pengurus Jong Java.
Informasi itu tercantum dalam buku berjudul RC Hardjasoebrata: Hasil dan Karyanya (1982) susunan Sagimun MD. Buku tipis tak lengkap, tetapi mencatat sekian pengalaman, peristiwa, dan pengakuan penting. Hardjasoebrata membagi cerita hidup selama tinggal di Solo (1926-1950) dan Yogyakarta, memenuhi sekian panggilan dalam seni, pendidikan, dan agama. Ia terus ingin memberi dari hal-hal termiliki.
Tembang itu persembahan mulia dari hari-hari terasakan indah, bahagia, dan rukun. Ia menggubah tembang-tembang serius, tapi berpihak pula mengajak bocah-bocah bersenandung, selain mereka sudah mendapat pengajaran lagu-lagu anak dan lagu-lagu kebangsaan berbahasa Indonesia.
Pada saat menua dan pensiun, Hardjasoebrata belum selesai dalam pengabdian seni-seni di Jawa. Ia mengajar sebagai dosen tidak tetap di ASTI Yogyakarta dan ASKI Solo dalam perkuliahan karawitan. Pada masa 1970-an, Hardjasoebrata rutin menjadi juri dalam Lomba Tembang Macapat. Ia tetap menekuni seni, tak ada istirahat atau selesai sebelum embusan napas terakhir.
Pada abad XXI, kita mengenang sambil kebingungan dan kerepotan dalam memikirkan tembang-tembang berbahasa Jawa untuk bocah-bocah. Di rumah dan sekolah, bocah-bocah sudah terlalu mengerti lagu-lagu mutakhir Indonesia dan dunia. Begitu.
(Bandung Mawardi, Penulis dan Kuncen di Bilik Literasi)