”Tul Jaenak”, ”Kolam Susu”, dan Yok Koeswoyo
Tembang Jawa yang dulu menjadi hiburan rakyat di kampung dan desa, lalu bertransformasi ke dalam lagu pop. Sebuah fenomena budaya yang menarik ketika menembang hidup kembali dalam versi pop pada era 1970-an.
Ingat lagu ”Tul Jaenak”, ”Pring Gading”, atau ”Kolam Susu”? Itulah lagu-lagu karya Yok Koeswoyo yang dipengaruhi oleh tembang dolanan Jawa.
Tembang Jawa yang dulu menjadi hiburan rakyat di kampung dan perdesaan itu bertransformasi ke dalam lagu pop. Sebuah fenomena budaya menarik ketika menembang hidup kembali dalam versi pop pada era 1970-an dan pemicunya adalah industri musik di negeri ini.
Kita nyanyikan dulu lagu ”Tul Jaenak” ciptaan Koesroyo alias Yok Koeswoyo dalam album Koes Plus Pop Jawa Volume 1 rilisan Remaco 1972.
Gula jawa rasane legi
Kripik mlinjo dipangan asu
Arep mulyo kudu marsudi
Buto ijo ojo digugu
Refrein
Tul jaenak
Jae jatul jaeji
Kuntul jare banyak
Ndoge bajul kari siji
Abang-abang gendero londo
Wetan sithik kuburan mayit
Klambi abang nggo tondo moto
Wedhak pupur nggo golek dhuwit
Syair atau lirik lagu disusun Yok Koeswoyo dengan pola parikan atau pantun. Parikan pada lagu ini menggunakan guru lagu atau pengulangan bunyi pada akhir larik dengan pola A-B-A-B. Dua baris pertama merupakan sampiran dan dua larik berikutnya merupakan isi.
Lagu terdiri dari dua bait dengan selingan refrain antar bait. Model parikan dan kesederhanaan struktur lirik mengingatkan pada gaya tembang dolanan Jawa yang sederhana, ringkas, dan mudah dihapal. Adanya refrain merupakan struktur khas lagu pop.
Baca juga : Merdeka Bernyanyi, Indah Bersimfoni
Makna lagu terbungkus kata-kata yang memerlukan pengupasan. Isinya berupa nasihat atau boleh saja disebut sebagai sindiran sosial. Isi bait pertama misalnya merupakan pesan atau nasihat agar orang marsudi atau berupaya sungguh-sungguh untuk mendapatkan hasil demi kemuliaan hidup.
Ditekankan pula agar orang tidak menggunakan jalan pintas. Kita kutip, ”Arep mulyo kudu marsudi/Buto Ijo ojo digugu….” Artinya, kalau ingin hidup mulia, haruslah bekerja keras. Buto Ijo (raksasa hijau) jangan dipercaya.
Dalam mitologi Jawa dikenal sosok Buto Ijo atau raksasa hijau yang bisa memberikan kekayaan secara instan kepada mereka yang memintanya dengan syarat tertentu. Yok, lewat lagu itu, sebenarnya bicara tentang korupsi atau upaya orang untuk mencari materi dengan cara yang tidak terpuji.
Baca juga : Rock, Kebingunan Budaya, dan Kompor Meleduk
Nasihat itu diperkuat dalam refrain yang menyebut burung kuntul dan angsa (banyak), ”Kuntul jare banyak…” Dalam sebuah perbincangan, Yok memberi penjelasan bahwa burung kuntul itu secara fisik berpostur kecil, tetapi mengaku sebagai banyak atau angsa yang berbadan lebih besar.
Yok mempersilakan orang memberi pemaknaan. Yok sendiri dalam sebuah obrolan mengatakan soal kuntul dan banyak itu semacam upaya pembesaran ukuran atau jumlah alias mark up.
Di masyarakat bermunculan tafsir atas isi lagu. Itulah salah satu yang menarik dari tembang yang terbuka untuk pemaknaan. Setiap orang bebas mengupas makna. Seperti ”wedhak pupur nggo golek dhuwit” yang artinya bedak untuk mencari uang. Ada yang menafsirkan hal itu sebagai upaya mencapai tujuan dengan berbagai cara.
Wangsalan
Yok Koeswoyo juga menggunakan wangsalan dalam lagu ”Pring Gading” yang dimuat dalam album Koes Bersaudara Pop Jawa Volume 1, keluaran Remaco, 1977. Wangsalan adalah permainan kata-kata. Ada sebentuk kata-kata atau kalimat yang bermuatan makna.
Orang harus mengupas, menafsir, atau menebak-nebak makna yang tersembunyi di balik kata-kata. Makna yang tersembunyi dalam wangsalan tersebut kemudian dikaitkan dengan isi tembang atau lagu. Atau bisa juga dikatakan, wangsalan itu semacam teka-teki pada sampiran, yang kemudian dijawab dalam isi tembang atau lagu.
Kita kutip salah satu wangsalan dalam bait lagu ”Pring Gading” yang dinyanyikan Yok: ”Carang wrekso, wrekso wilis tanpo potro/Ora gampang wong urip ing alam ndonya...”. Dalam hal ini Carang wreksa adalah cabang pohon atau pang dalam bahasa Jawa.
Baca juga : Nyanyian Penuh Harapan
Kemudian wrekso wilis tanpo potro artinya pohon hijau tanpa daun yang bisa diartikan sebagai kayu urip ataukayu hidup. Ada dua ”kata kunci” yang tertangkap dalam wangsalan tersebut, yaitu pang dan urip.
Kata pang kemudian mewujud menjadi gampang, dan urip tetap sebagai urip. Kedua kata kunci ini kemudian menjadi inti dari isi yang terkalimatkan menjadi ”Ora gampang wong urip ing ngalam donya (tidak mudah orang hidup di dunia).
Dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat Jawa, wangsalan digunakan untuk bercanda atau saling menyindir. Misalnya, ada kawan yang jarang sekali mengunjungi sahabatnya.
Tuan rumah kemudian menyambut dengan sindiran akrab, ”Wah njanur Gurung, dengaren rawuh...” (Wah janur gunung, tumben datang). Janur gunung adalah janur yang tumbuh di pegunungan yang artinya pohon daun aren. Kata aren mewujud dalam kata kadingaren atau tumben.
Wangsalan jugadigunakan dalam nasihat, sambutan, atau wejangan. Pada penutup perbincangan atau sambutan, misalnya, kadang digunakan wangsalan yang sangat lazim. Misalnya, jenang sela, wader kali sesondheran.
Ada dua makna yang terbungkus dalam wangsalan tersebut. Jenang sela adalah bubur batu yang dalam bahasa Jawa disebut apu. Kemudian, wader pari sesonderan adalah ikan kali yang mempunyai sungut panjang, yaitu ikan sepat. Ada dua kata kunci, yaitu apu dan sepat. Dua kata itu membentuk kalimat ”Apuranto menawi wonten lepat kawula” (Maafkan jika ada kesalahan saya).
Wangsalan banyak digunakan dalam parikan (pantun), geguritan (puisi), juga dalam tembang Jawa. Ketika tembang Jawa bertransformasi menjadi Langgam Jawa, maka wangsalan juga dibawa dan menyusup dalam lirik langgam jawa. Salah satunya yang terkenal adalah lagu ”Jenang Gula” ciptaan Slamet.
Kalimat awal langgam jawa itu berbunyi ”Jenang gula, kowe ojo lali marang aku iki…(Jenang gula, kamu jangan lupa padaku”. Jenang gula yang dimaksud adalah glali atau gulali. Kata glali kemudian menjelma menjadi ojo lali, atau jangan lupa. Begitu pula ketika lagu pop Jawa mulai ramai, Yok membawa wangsalan dalam karyanya.
”Kolam Susu”
”Kolam Susu” karya Yok Koeswoyo memang bukan lagu berbahasa Jawa. Akan tetapi, lagu yang dinyanyikan Yok pada album Koes Plus Volume 8 (1972) ini ada pengaruh tembang dolanan Jawa pada syair dan cara penyampaian. Bentuknya mirip tembang dolanan yang sederhana, dengan syair ringkas, repetitif, mudah diingat, dan gampang dinyanyikan.
Isi lagu sebenarnya merupakan semacam sindirian sosial, tetapi disampaikan secara halus dengan cara menyenangkan dan menghibur. Lagu ini menggambarkan ironi negeri subur makmur yang dalam pewayangan disebut sebagai gemah ripah loh jinawi.
Kita ingat liriknya ”Bukan lautan hanya kolam susu/Kail dan jala cukup menghidupimu/Tiada badai, tiada topan kau temui/Ikan dan udang menghampiri dirimu...”. Betapa nyaman negeri dalam lagu itu.
Isi lagu sebenarnya merupakan semacam sindirian sosial, tetapi disampaikan secara halus dengan cara menyenangkan dan menghibur.
Dalam refrain ditekankan juga tentang kesuburan negeri secara simbolik, ”Togkat kayu dan batu jadi tanaman”. Sebelum kalimat tersebut, ada pernyataan yang bisa dibaca sebagai pertanyaan,yaitu ”Orang bilang tanah kita tanah surga...”
Seperti ada pertanyaan yang tak tertulis. ”Protes” yang tak disampaikan secara verbal, tapi sembunyi-sembunyi di antara baris-baris lirik. Pertanyaan itu disampaikan Yok dalam buku Yok Koeswoyo–Pesan dalam Lagu (Grasindo, 2016).
”Memang alam kita kaya raya, namun mengapa di negeri ini pembangunan tidak merata…. Masih terdengar orang sakit susah mendapatkan perawatan. Masih banyak masyarakat yang menganggap sekolah merupakan barang mewah….” Yok menyampaikan catatannya itu tanpa menyalahkan siapa pun.
Lingkungan budaya Jawa
Yok lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga dengan budaya Jawa yang pekat. Ia lahir sebagai anak ke-7 dari 9 bersaudara anak pasangan Koeswoyo-Atmini di Tuban, Jawa Timur, 3 September 1943.
Pada tahun 1952, keluarga Koeswoyo berpindah ke Jakarta. Meski secara geografis ia sudah bergeser dari Jawa Timur ke Jakarta, Yok dan keluarga besar Koeswoyo tidak tercerabut dari akar budaya Jawa. Keluarga Koeswoyo sehari-hari menggunakan bahasa Jawa.
Baca juga: Elly Kasim dan Lagu Minang yang Mengindonesia
Tinggal di Tuban sampai usia 9 tahun, Yok banyak menyerap tembang Jawa. Ia memahami tembang, mulai dari tembang macapat yang ”serius” sampai tembang dolanan.
Ia hapal tembang macapat Dandhang Gula terkenal, ”Kidung Rumeksa ing Wengi”, yang konon ditulis oleh Sunan Kalijaga. Yok juga memahami unggah-ungguh atau etika pergaulan Jawa. Termasuk dalam berbicara dan menyampaikan pikiran, meski lewat lagu.
Ia menyampaikan dengan cara bersahabat, tidak menyakiti, tapi justru menghibur. Pengaruh budaya Jawa Yok itu menyusup ke dalam pop culture, budaya massa dalam bentuk lagu pop.
Karya Yok seperti ”Kolam Susu”, ”Tul Jaenak”, dan ”Pring Gading” sampai hari ini masih terdengar dalam pergelaran lagu-lagu Koes Plus. Orang bersukaria di balik lagu-lagu yang syarat makna.