Pemerintah berkomitmen mendukung dan mendorong pengesahan RUU TPKS, dan rapat paripurna pertama 2022 akan menjadi pembuktian komitmen DPR. Ini harus dikawal, baik percepatan maupun penyempurnaan pembahasannya.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Dukungan Presiden Joko Widodo agar pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dipercepat menegaskan komitmen pemerintah untuk segera menyelesaikan pembahasan rancangan undang-undang yang berlangsung sejak 2016 ini.
Jika alasan pimpinan DPR belum membawa RUU TPKS ke Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang II DPR 2021/2022, 16 Desember lalu, hanya karena masalah teknis, maka dapat dipastikan pada pertengahan Januari ini RUU TPKS akan disetujui sebagai RUU inisiatif DPR. Sesuai janji Ketua DPR Puan Maharani waktu itu, DPR akan mengagendakan persetujuan RUU TPKS pada rapat paripurna pertama tahun 2022 (Kompas, 5/1/2022).
Pekerjaan rumah selanjutnya adalah mengawal pembahasan RUU TPKS agar dapat dilakukan dengan cepat dan segera disahkan. Keputusan Presiden menugaskan Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta gugus tugas pemerintah untuk mempercepat pembahasan RUU ini dengan DPR menunjukkan bahwa pengesahan RUU TPKS tak bisa ditunda lagi. Kekosongan hukum tidak bisa dibiarkan lagi.
Sejauh ini DPR pun sejalan dengan langkah pemerintah. Persetujuan tujuh dari sembilan fraksi membawa RUU TPKS ke rapat paripurna DPR untuk ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR dapat menjadi modal awal untuk mempercepat pembahasan RUU TPKS. Harapannya, dinamika politik di DPR pun kondusif mendukung upaya percepatan ini.
Menjadi tugas kita semua, masyarakat dan terutama para pihak terkait untuk mengawal pembahasan RUU TPKS tersebut. Mengawal agar pembahasan RUU tersebut tidak hanya cepat, tetapi juga mengakomodasi kebutuhan korban. RUU ini harus dapat menjadi payung hukum yang memadai untuk memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual.
Mengawal agar pembahasan RUU tersebut tidak hanya cepat, tetapi juga mengakomodasi kebutuhan korban.
Draf RUU TPKS terakhir yang disetujui Badan Legislasi DPR memang memuat sejumlah kemajuan, antara lain mengakomodasi hak korban dan keluarga, serta perluasan alat bukti, tetapi ada beberapa hal krusial yang masih harus diperjuangkan agar dapat diakomodasi dalam RUU TPKS.
Misalnya, hukum acara dalam draf RUU tak mencerminkan kekhususan dari kasus kekerasan seksual. Draf juga menghilangkan pasal pemerkosaan, pemaksaan pelacuran, dan aborsi. (Kompas, 10/12/2021). Ini harus dikawal agar bisa terakomodasi dalam RUU TPKS karena bisa berdampak pada upaya perlindungan korban dan pencegahan kekerasan seksual.
Karena kasus kekerasan seksual merupakan tindak kejahatan luar biasa, yang harus ditangani dengan cara luar biasa pula, maka penyempurnaan draf RUU TPKS menjadi kebutuhan. Mempercepat pembahasan tanpa meminggirkan partisipasi masyarakat akan menjadi langkah bijaksana pemerintah dan DPR dalam membahas RUU ini.
Komitmen pemerintah dan DPR, serta masyarakat untuk mengawalnya, akan menentukan apakah pembahasan RUU TPKS yang akan dipercepat ini, akan melahirkan undang-undang yang menjadi sistem pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang komprehensif, dari hulu ke hilir.