Penegakan dan pemenuhan hak azasi perempuan, terutama terhadap perempuan korban yang rentan masih karut marut. Karena itu perlu kebijakan yang berpihak terhadap korban, dan membangun budaya empati terhadap korban.
Oleh
AYUB WAHYUDIN
·5 menit baca
“Sudah jatuh tertimpa tangga”, ungkapan tersebut sangat tepat menggambarkan kondisi karut-marut penegakan dan pemenuhan hak asasi perempuan, terutama terhadap perempuan korban yang rentan. Ada beberapa kasus di pertengahan November 2021, antara lain seorang ibu rumah tangga melaporkan pelecehan seksual terhadap anaknya ke kepolisian tetapi diabaikan, diminta mengejar dan menangkap sendiri pelakunya, serta mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari kepolisian.
Adapula, seorang ibu rumah tangga yang divonis satu tahun penjara karena memarahi suaminya yang mabuk. Padahal, si suami juga telah menelantarkan istri dan anaknya. Belum lagi, peristiwa di penghujung tahun tak kalah populernya, yaitu tragedi pemerkosaan para santri putri oleh seorang ustadz yang seharusnya menjadi teladan, mengayomi santri dan berperilaku baik. Perbuatan keji tersebut dilakukan selama bertahun-tahun, karena korban dalam ancaman. Belum lagi kasus pelecehan yang dilakukan oleh dosen, maupun pejabat publik serta masih banyak lagi.
Rasa ketidakadilan dalam penegakan hukum bagi korban seolah menjadi luka yang tak tergantikan dengan pemenjaraan pelaku. Luka tersebut harus pula dijahit oleh korban karena kebijakan tak berpihak selalu hadir di tengah diskriminasi tersebut. Misalnya, hukum positif mengatur berbagai sanksi untuk tindak kekerasan seksual, tetapi istilah kekerasan seksual hanya dikenal dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU Perlindungan Anak. Di KUHP hanya dikenal istilah kejahatan terhadap kesusilaan.
Implikasinya selalu diukur soal moralitas. Indikator tentang moralitas sangatlah berbahaya karena akan menimbulkan stigma perempuan “kotor”. Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, tahun 2020 menyebutkan terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan. Data pengaduan kasus kekerasan ke Komnas Perempuan meningkat drastis, 60 persen, dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020.
Artinya, korban semakin banyak dan tak ada efek jera bagi para pelaku. Keberulangan merupakan bukti nyata tentang situasi penangan serius aparat penegak hukum dan pemerintah bagi korban “jauh panggang dari api”, terlebih lagi korban tak mampu berbuat banyak ketika berhadapan hukum. Piihan yang ada lebih baik diam dan tidak melaporkan kasusnya, hal itu bertujuan untuk memproteksi diri dari segala stigma negatif dari masyarakat sebagai perempuan “kotor” atau perempuan hina, karena kehilangan kehormatannya.
Keberulangan merupakan bukti nyata tentang situasi penangan serius aparat penegak hukum dan pemerintah bagi korban “jauh panggang dari api”.
Buruknya situasi tersebut, memaksa para defender (pembela) mendorong pemerintah dan aparat penegak hukum serta masyarakat untuk ikut serta melakukan penyadaran terhadap kebijakan yang ramah terhadap korban, pembelaan terhadap korban serta menyingkirkan budaya intimidasi, perundungan terhadap korban.
Membangun budaya empati
Selain kebijakan yang berpihak terhadap korban, penting untuk membangun budaya empati terhadap korban. Dalam beberapa temuan dari Komnas Perempuan, banyak korban memilih untuk penyelesaian masalah kekerasan yang dihadapinya dengan mekanisme adat dengan jalan kekeluargaan atau menikahkan dengan pelaku. Hal ini, pada praktiknya melukai korban, selain masih dalam kondisi traumatik, ia pun kehilangan masa depannya, kehilangan harga dirinya.
Pemerkosaan dan kekerasan yang dilakukan pelaku tentu membuat korban terluka dan menyisakan benci yang dalam terhadap pelaku. Dengan demikian, menikah dengan pelaku sama artinya menikah dengan orang yang dibencinya, orang yang telah menjatuhkan harga dirinya.
Pernikahannya dengan pelaku hanya dimaksudkan untuk memenuhi keinginan keluarga agar “tak tercemar”. Pretensi perempuan korban seharusnya tidak mendapatkan stigma tersebut. Sebetulnya, jika manusia mau dan ikut merasakan bagaimana jika salah satu keluarganya menjadi korban, maka stigma negatif terhadap korban tidak terjadi.
Tentang moralitas yang bicara soal “ketidaksucian”, pemberlakuan bukan pada korban tetapi kepada pelaku. Sangat tidak etis jika tindakan dan perlakuan warga yang kehilangan empatinya terhadap orang lain dengan menempatkan moralitas yang bukan pada tempatnya. Seharusnya, secara bersama-sama kita membangun empati, serta membantu menghilangkan traumatik pada perempuan korban, memberi dukungan dan semangat serta tidak menyalahkannya.
Tulisan ini berdasarkan fakta yang terjadi pada Februari 2020, tentang perempuan SMK korban perkosaan oleh tujuh orang pelaku yang merupakan kakak kelasnya, sementara korban malah di-bully (dirundung). Banyak kasus yang seolah tak berhenti menyalahkan korban.
Budaya menyalahkan perempuan korban bertentangan upaya pemenuhan hak korban pelanggaran atas empat pilar, yakni hak atas keadilan, hak atas kebenaran, hak atas pemulihan, dan jaminan tidak ada keberulangan.
Budaya menyalahkan perempuan korban bertentangan upaya pemenuhan hak korban pelanggaran atas empat pilar, yakni hak atas keadilan, hak atas kebenaran, hak atas pemulihan, dan jaminan tidak ada keberulangan. Hal itu juga mencakup pemenuhan hak korban atas restitusi, kompensasi, rehabilitasi, serta satisfaction yang telah diatur oleh hukum internasional. Membangun empati terhadap korban harus menjadi kewajiban bersama, maka pemerintah juga penting untuk mendorong akademisi, civil society, publik figur dan aparat penegak hukum bersinergi membangun pribadi yang ramah terhadap perempuan korban.
Legalitas akses keadilan korban
Pendidikan HAM berbasis jender sudah lama terintegrasi dengan kampus dan sekolah, tetapi keterbatasan jangkauan lembaga hak asasi perempuan, mandat tersebut diemban oleh Komnas Perempuan, saat ini sangat terbatas. Bahkan seringkali penanganan kekerasan terhadap perempuan dari 2012 baru masuk menjadi prioritas tahun 2020, tetapi banyak penolakan dari beberapa kalangan dan dibenturkan dengan ajaran agama dan budaya ketimuran. Tugas lembaga hak asasi perempuan memberi pemahaman yang utuh tentang Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ( RUU TPKS) yang di dalamnya memuat akses keadilan bagi korban, serta perlindungan terhadap korban.
Perlu melibatkan orang yang memiliki pandangan kritis atau penolakan terhadap apa yang ada dalam rancangan tersebut, menjelaskan apakah betul RUU TPKS berpotensi untuk melegalkan hubungan sesama jenis? Sebenarnya sudah terdapat sanggahan oleh Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan pada pertengahan 2021, serta ulama kontemporer lainnya, bahwa RUU tersebut sama sekali tidak untuk melegalkan praktik hubungan sesama jenis. Unsur-unsur yang disangkakan tersebut dinilai berlebihan, karena semangat RUU tersebut untuk melindungi perempuan.
Bukan hanya kalangan agamawan yang tidak memiliki rasa keinginan untuk perwujuan perlindungan korban kekerasan, bahkan anggota DPR masih banyak yang beralibi untuk mencegah RUU tersebut mendapatkan tempatnya dalam kebijakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Sebut saja, dagelan politik yang tak pernah lekang oleh zaman
Sebagai upaya agar memiliki kepentingan yang sama dalam mewujudkan keadilan terhadap korban. Selain itu, tokoh-tokoh publik seperti ulama, dosen, pejabat daerah dan pusat, serta aparat penegak hukum (polisi, TNI, jaksa) dan lain sebagainya sehinga dapat menyuarakan atau sebagai aktor yang berperan penting untuk keadilan bagi perempuan korban. Sehingga, tarik-ulur di masyarakat dapat segera terselesaikan. Masuk kembalinya, RUU TPKS tahun 2021 dapat segera terwujud, serta akses perempuan korban terpenuhi.
Ayub Wahyudin, Direktur Pusat Studi Anti Korupsi dan Hak Azasi Manusia dan Ketua Prodi Akhlak Tasawuf Institut Studi Islam Fahmina Cirebon