Berbagai kekerasan seksual pada beberapa bulan terakhir menunjukkan kemendesakan adanya peraturan yang khusus mengatur pencegahannya. Peraturan yang ada, termasuk KUHP, tak mampu menangkap kompleksitas kekerasan seksual.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Tertundanya pengesahan tingkat kedua draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi ironi di tengah tingginya kejadian kekerasan seksual.
Harapan masyarakat sangat tinggi agar draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) mendapat persetujuan tingkat kedua dalam rapat paripurna penutupan masa sidang kedua DPR, Kamis (16/12/2021). Dengan demikian, pembahasan bersama pemerintah dapat segera dimulai untuk pengesahan menjadi undang-undang.
Sebelumnya draf RUU TPKS mendapat persetujuan tingkat pertama di Badan Legislatif (Baleg) DPR pada 8 Desember 2021. Persetujuan diberikan tujuh dari sembilan fraksi di dalam paniti kerja.
Fraksi yang mendukung ialah Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP. Fraksi Partai Golkar menunda karena masih ingin mendengar masukan publik, sedangkan Fraksi PKS menolak.
Ironisnya, tertundanya pengesahan RUU TPKS di rapat paripurna, Kamis kemarin, disebabkan masalah administrasi. Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas kepada Kompas menyatakan lalai meminta lebih awal kepada Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk memasukkan pengesahan tingkat kedua RUU dalam rapat paripurna.
Tugas Bamus DPR, antara lain, ialah menetapkan agenda DPR untuk satu tahun sidang atau satu masa persidangan, termasuk pembahasan RUU. Rapat terakhir Bamus berlangsung sebelum Baleg mengesahkan draf RUU TPKS.
Berbagai tindak kekerasan seksual yang muncul dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan kemendesakan adanya peraturan yang khusus mengatur pencegahan kekerasan tersebut. Peraturan yang ada, termasuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tidak memadai dalam menangkap kompleksitas kekerasan seksual, terutama dari sisi korban.
Hal yang luput dari peraturan yang tersedia saat ini adalah adanya relasi kuasa tidak seimbang antara pelaku dan korban. Banyak korban tidak mengungkap, apalagi melaporkan, kekerasan yang dialami karena takut kepada pelaku, menyalahkan diri sendiri, atau malu diketahui masyarakat.
Draf RUU TPKS yang disetujui Baleg DPR mengatur pencegahan segala bentuk TPKS, penindakan pelaku, serta penanganan, perlindungan, dan pemulihan hak korban dalam tiap tahapan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
RUU ini memberi perhatian besar pada penderitaan korban dengan memberikan restitusi bagi korban, jaminan keamanan, dan pemulihan korban. RUU juga memerintahkan pelibatan masyarakat dalam pencegahan TPKS.
Ketua Baleg DPR menyebut, surat sudah dilayangkan kepada Bamus, meminta draf RUU TPKS masuk dalam jadwal pembahasan rapat paripurna pembukaan masa sidang 2022 pada awal Januari.
Dengan suara mayoritas sudah menyetujui draf RUU di Baleg, diyakini draf akan mendapat pengesahan tingkat kedua. Walakin, masyarakat harus ikut mengawal agar RUU ini segera disahkan untuk mencegah berulangnya kekerasan seksual.