Mengkaji Ulang Konsep Perang Melawan Teror
Paradigma penanggulangan dan penanganan terorisme hendaknya dilihat dari analisa rasional-struktural. Dengan demikian kebijakan pemerintah akan terukur karena akan langsung menyasar terget deradikalisasi secara obyektif.
Dalam beberapa pekan terakhir, isu mengenai radikalisme dan ancaman terorisme kian mencuat. Hal ini menyusul serangkaian penangkapan sejumlah tersangka yang berafiliasi dengan jaringan Jamaah Islamiyah dalam beberapa bulan terakhir.
Dari rangkaian penangkapan tersebut, yang paling banyak menuai polemik adalah penangkapan ZA, anggota Komisi Fatwa MUI Pusat. Menurut kepolisian, ZA terlibat ke dalam kelompok teroris jaringan Jamaah Islamiyah (JI). Posisinya di dalam organisasi teror tersebut adalah sebagai Dewan Syuro JI dan Ketua Dewan Syariah LAZ BM Abdurrahman Bin Auf.
Tak pelak, hal tersebut membuat mata publik terbelalak. Bagaimana mungkin Komisi Fatwa MUI bisa diisi oleh sosok dengan latar belakang ideologi ekstremisme yang mengarah pada terorisme?
Uniknya, keterkejutan publik ini kemudian melahirkan dua kesimpulan yang sama ekstrem di media sosial. Mereka yang menerima tuduhan itu sebagai kebenaran, umumnya berspekulasi untuk membubarkan MUI. Sedang mereka yang ragu, justru menuduh upaya penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 tersebut sebagai bentuk ”kriminalisasi terhadap ulama”.
Baca juga: Penjelmaan Baru Jamaah Islamiyah
Sebenarnya, para elite negara dan ulama sudah menklarifikasi masalah ini, yang intinya, tidak akan ada pembubaran MUI, dan apa yang dilakukan oleh Densus 88 merupakan sebuah mekanisme normatif negara dalam rangka upaya penanggulangan terorisme.
Namun alih-alih mereda, polemik yang terjadi justru berkembang dengan eskalasi yang lebih tinggi. Sejak penangkapan ZA dan dua orang lainnya di Bekasi pada 16 November 2021, tagar yang bernada antipati dan mengandung unsur agitatif nyaris tak pernah absen dari media sosial twitter.
Sejumlah kebijakan dan tindakan yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi ancaman terorisme, justru menjadi amunis bagi kelompok-kelompok radikal untuk meraup simpati, serta menaikkan narasi ideologi mereka.
Ini tentu sebuah anomali yang mencemaskan. Mengingat selama hampir dua dekade Indonesia melakukan perang melawan teror, tak sekali pun ideologi radikal bisa mendapat simpati dari publik. Namun, kini, alih-alih semakin efektif dalam mendukung upaya deradikalisasi, sejumlah kebijakan dan tindakan yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi ancaman terorisme, justru menjadi amunis bagi kelompok-kelompok radikal untuk meraup simpati, serta menaikkan narasi ideologi mereka.
Hal ini tentu saja jadi persoalan yang perlu dipecahkan oleh pemerintah. Jangan-jangan, benar apa yang dikatakan Pof Haidar Bagir dalam salah satu cuitannya di media sosial Twitter, bahwa dikhawatirkan ”Presiden Jokowi dan timnya tak terlalu paham bahwa ini (radikalisme) soal yang rumit (complicated) dan halus (delicate), yang harus di-handle dengan penuh kebijaksanaan, kecermatan dan kehati-hatian.”
Keterjebakan paradigma
Dalam kerangka ini, kita perlu berkaca pada fenomena ”perang melawan terorisme” (global war on terrorism) yang dideklarasikan Amerika Serikat dan sekutunya hampir dua dekade yang lalu. Ketika itu, muncul setidaknya dua paradigma dalam menilai terorisme sebagai sebuah ideologi gerakan radikal.
Paradigma pertama, adalah paradigma kultural; yang memandang terorisme sebagai penjelmaan dari nilai, sistem kepercayaan, atau ideologi. Dalam paradigma ini, terorisme dianalisis dari hubungan antara nilai atau ideologi dengan pelaku teror, atau dengan cara mencari sebab terjadinya aksi teror dengan ideologi dan nilai yang dianut oleh para teroris. Dengan kata lain, kerangka kerja ini mencoba memahami interpretasi nilai terhadap aksi (AC Manulang: 2006).
Sebagaimana yang terjadi kemudian, pada umumnya paradigma ini hanya mencapai dua kesimpulan. Pertama, aksi terorisme adalah produk dari nilai-nilai yang dianut, sehingga nilai-nilai tersebut harus diberantas dan diperangi. Kedua, aksi terorisme hanyalah efek dari kepribadian yang menyimpang, atau merupakan bentuk dari gejala psikologis biasa, sehingga subyeknya harus dijerat oleh pasal hukum.
Baca juga: Terorisme dan Agama dalam Pendidikan
Pascaperistiwa 9/11, paradigma inilah yang mendominasi wacana terorisme di seluruh dunia, sehingga banyak menimbulkan pro dan kontra. Sebagai akibat dari paradigma ini, terjadi stigmatisasi negatif terhadap ajaran agama dan etnis tertentu di seluruh dunia.
Dalam dunia akademis, paradigma ini banyak memberikan sumbangan yang berarti, terutama dalam mengurai psikologi dan perkembangan watak manusia modern. Namun, dalam hal menentukan kebijakan penanganan, kerangka berpikir seperti ini justru menyebabkan terjadinya keterjebakan paradigma dalam memahami dan memecahkan masalah terorisme.
Jangan-jangan, paradigma inilah yang digunakan oleh pemerintah dalam upaya deradikalisasi sekarang. Sehingga tindakan pemerintah bisa dengan mudah di-framing sebagai ”kriminalisasi terhadap ulama”, dan ”anti-Islam”. Sehingga tak ayal melahirkan protes dari banyak pihak, bahkan ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah. Apabila paradigma ini terus dipakai, bukan tidak mungkin akan menuai kekecewaan yang lebih luas dari agama tertentu dan upaya deradikalisasi di Indonesia akan mengalami nasib yang sama dengan upaya perang global melawan terorisme.
Adapun paradigma kedua, adalah paradigma rasional; yang melihat terorisme sebagai hasil dialektika strategis antara suprastruktur dengan infrastruktur (konflik struktural). Dalam perspektif ini, terorisme dinilai sebagai produk interaksi politik, bukan produk independen suatu ideologi apalagi agama. Ia lahir dari hasil interaksi strategis antara dua kekuatan yang bertikai dalam skema pertarungan yang tidak seimbang (asymmetric conflict).
Dalam perspektif ini, teror adalah sebuah pilihan strategis dan sebuah aksi yang sudah dirancang dengan sangat rasional, bukan tindakan yang irasional, apalagi ekpresi dari kepribadian yang menyimpang.
Apabila paradigma penanggulangan dan penanganan terorisme dilihat dari analisa rasional-struktural, pertanyaan yang akan muncul adalah; mengapa para kelompok radikal, fundamentalis, dan sejenisnya, memilih metodologi teror sebagai jalan untuk mencapai tujuan politiknya?
Jangan-jangan ada kanal aspirasi yang tertutup sehingga mereka tidak memiliki metode lain untuk mengekspresikan kehendak politiknya selain melakukan aksi teror; atau mungkin ada kebijakan yang kurang mengakomodir aspirasi mereka; atau bisa jadi kebijakan yang dikeluarkan selama ini dianggap oleh satu kelompok membahayakan mereka secara eksistensial.
Baca juga: Memberantas Terorisme
Kelebihan lain dari paradigma rasional ini, kebijakan pemerintah akan terukur. Karena akan secara langsung menyasar terget deradikalisasi secara obyektif. Sebab, analisis ini akan menggunakan perspektif manajemen konflik.
Artinya, paradigma rasional membuka proses deleberasi, yang memungkinkan pemerintah menilai persoalan ini secara obyektif. Dengan demikian, munculnya terorisme dan juga radikalisme tidak dipahami sebagai produk dari satu faktor tunggal, tetapi muncul dari multiplikasi faktor—yang bisa jadi—beberapa di antara faktor tersebut justru ada pada kebijakan supra-struktur (pemerintah) sendiri.
Munculnya terorisme dan juga radikalisme tidak dipahami sebagai produk dari satu faktor tunggal, tetapi muncul dari multiplikasi faktor.
Menurut Michael E Brown (1997), konflik terdiri dari dua varibel, yaitu yang bersifat fundamental, dan yang bersifat katalis.
Adapun beberapa faktor fundamental yang berperan sebagai inisiator konflik, yaitu faktor struktural yang terkait dengan proses pembentukan negara-bangsa; faktor politik yang bersumber dari cara negara dikelola; faktor ekonomi dan sosial yang dibentuk dari kemampuan masyarakat dan negara untuk membentuk suatu struktur yang menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar (basic human needs) masyarakat; dan faktor budaya yang melihat sejauh mana proses pembentukan identitas kultural berpengaruh dalam interaksi antar kelompok sosial.
Adapun beberapa variabel katalis (proximate causes) yang menyebabkan terjadi konflik adalah: tipe kepemimpinan politik lokal–nasional yang buruk, politisasi massa, dan atau intervensi asing.
Untuk kasus radikalisme yang sedang kita hadapi sekarang, kita tidak tahu apa saja varibel fundamental dan katalisnya. Namun, akan lebih baik kiranya apabila pemerintah membangun kerangka analisis yang bersifat rasional dan komprehensif, daripada sekadar mengadopsi paradigma kultural yang jelas-jelas sudah mengalami kegagalan di banyak wilayah. Wallahu’alam bi shawab.
(Wim Tohari Daniealdi, Dosen di FISIP, Unikom, Bandung)