Pangan lokal mempunyai peran penting, baik sebagai sumber keragaman pangan untuk pencapaian ketahanan pangan dan gizi keluarga, katup pengaman dalam menjaga pasokan pangan, maupun penggerak ekonomi daerah.
Oleh
ALI KHOMSAN
·4 menit baca
Kompas
Supriyanto
Pekerjaan rumah bangsa Indonesia untuk memperbaiki gizi anak tidak pernah kunjung selesai. Saat ini pemerintah berfokus pada pencegahan dan penanganan tengkes (stunting/anak pendek), namun sejatinya problem gizi kurang dan gizi buruk juga masih memerlukan perhatian.
Kesenjangan (gap) tinggi badan anak laki Indonesia berusia 18 sentimeter (cm) dan anak perempuan 9,8 cm. Hal ini menunjukkan sangat intensnya problem tengkes yang dihadapi anak Indonesia sejak lahir, anak-anak, hingga remaja.
Apabila kita mengacu skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang menunjukkan derajat keberagaman konsumsi pangan masyarakat Indonesia, tren skor PPH dari tahun ke tahun selalu menunjukkan kenaikan dan di tahun 2019 angkanya adalah 90,8 dari skor maksimal 100. Ini artinya konsumsi pangan kita sudah mendekati keberagaman yang baik. Namun, capaian konsumsi pangan untuk berbagai komoditi masih menunjukkan angka yang rendah, terutama untuk pangan hewani, kacang-kacangan, umbi-umbian, dan sayuran/buah.
Sasaran perbaikan gizi untuk RPJMN 2024 dengan skenario optimistik adalah tengkes turun dari 27,7 persen menjadi 14,0 persen dan anemia ibu hamil turun dari 48,9 persen menjadi kurang dari 20 persen. Skenario ini tentu dibuat sebelum Indonesia dan negara-negara lain di dunia ditimpa pandemi Covid-19.
Pertanyaannya, apakah pemerintah akan merevisi angka-angka sasaran atau tidak. Pandemi menyebabkan perubahan dan realokasi anggaran berbagai program karena banyaknya sumber daya yang dialihkan untuk mengatasi dampak pandemi. Oleh sebab itu, program-program gizi juga pasti mengalami kontraksi dalam implementasinya di lapangan.
Memutus mata rantai tengkes dapat dilakukan dengan tiga hal, yaitu memberikan bantuan subsidi pangan, perbaikan sanitasi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukti empiris menunjukkan bahwa negara-negara yang maju dan sejahtera tidak mempunyai problem tengkes sebagaimana dialami oleh negara-negara sedang berkembang. Studi Ianotti et al (2017) membuktikan bahwa pemberian telur sehari selama enam bulan dapat mengurangi prevalensi tengkes sebesar 47 persen.
Pada tahun 1950-an, peran pangan nonberas sebagai sumber karbohidrat masih sangat menonjol, jagung berkontribusi 18,9 persen, umbi-umbian 28,3 persen, dan beras 53,5 persen. Namun, kini dominasi beras semakin tinggi dan disusul di peringkat kedua adalah terigu. Oleh sebab itu, upaya mendongkrak pangan lokal sumber karbohidrat sebagai bagian konsumsi masyarakat memerlukan edukasi dan keterjaminan produksi sehingga masyarakat bisa mengakses dengan mudah pangan-pangan lokal yang kini dianggap inferior.
Indonesia adalah negara dengan kekayaan sumber daya keanekaragaman hayati luar biasa. Kita memiliki 77 jenis pangan sumber karbohidrat, 389 jenis buah, 228 jenis sayuran, 75 jenis pangan sumber protein, 26 jenis kacang-kacangan, dan 110 jenis rempah/bumbu. Sejauh mana sebenarnya jajaran pertanian sudah mengelola produksi beragam jenis pangan tersebut dengan membantu para petani dalam berproduksi dan memasarkan hasil pertaniannya?
Pangan-pangan sumber karbohidrat banyak di antaranya yang memiliki indeks glisemik rendah yang cocok untuk penderita diabetes. Sayuran, buah, dan rempah banyak yang mengandung antioksidan dan ini sangat bermanfaat untuk mendukung kesehatan masyarakat agar terhindar dari penyakit tidak menular (PTM).
Sangat disayangkan konsumsi pangan lokal sumber karbohidrat dari tahun ke tahun tidak ada peningkatan yang berarti, diversifikasi pangan pokok tidak berhasil.
Sangat disayangkan konsumsi pangan lokal sumber karbohidrat dari tahun ke tahun tidak ada peningkatan yang berarti, diversifikasi pangan pokok tidak berhasil. Sebagai contoh, konsumsi singkong di tahun 2020 hanya 8,6 kilogram per kapita per tahun, ubi jalar 3,2 kg, kentang 2,5 kg, dan sagu 0,3 kg. Konsumsi jagung hanya tinggi di Gorontalo (15,9 kg per kapita per tahun) dan NTT (7,0 kg per kapita per tahun), sementara sebagian besar provinsi di Indonesia konsumsi jagungnya kurang dari 1 kg per kapita per tahun.
Pangan lokal adalah pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai potensi, kearifan, dan budaya masyarakat setempat. Mungkin karena kurangnya perhatian dari sisi produksi, pangan lokal semakin langka dan menjadi neglected and forgotten foods (pangan terabaikan dan terlupakan).
Pangan lokal mempunyai peran penting. Pertama, sebagai sumber keragaman pangan untuk pencapaian ketahanan pangan dan gizi keluarga. Kedua, sebagai katup pengaman dalam menjaga pasokan pangan bagi masyarakat di perdesaan pada saat terjadi guncangan (shock) terhadap ketersediaan pangan. Ketiga, sebagai pencipta kesempatan kerja dan tambahan pendapatan rumah tangga serta penggerak ekonomi daerah.
Berbagai studi tentang pangan lokal, khususnya kacang-kacangan, menunjukkan perannya yang signifikan untuk perbaikan gizi anak balita.
Berbagai studi tentang pangan lokal, khususnya kacang-kacangan, menunjukkan perannya yang signifikan untuk perbaikan gizi balita. Pemanfaatan kacang hijau, kacang merah, dan kacang kedelai yang andal sebagai sumber protein dapat memperbaiki performa berat badan dan tinggi badan anak balita.
Ubi ungu bahkan kini telah ditangkap oleh industri pangan menjadi makanan pendamping ASI yang kaya antioksidan antisoanin. Antosianin pada ubi ungu bermanfaat untuk meningkatkan proliferasi bakteri Bifidobacterium dan Lactobacillus/Enterococcus spp. Kedua jenis bakteri ini merupakan probiotik yang baik untuk kesehatan saluran cerna.
Promosi pangan lokal untuk konsumsi masyarakat harus dilakukan pada berbagai tingkatan dan berbagai kesempatan. Sejak di posyandu, anak-anak balita harus sudah mulai diperkenalkan dengan makanan lokal, demikian pula ketika anak berada di PAUD/TK, SD sampai SMA. Introduksi pangan lokal sejak usia dini akan membangkitkan kebanggaan pada setiap anak Indonesia bahwa pangan lokal mempunyai cita rasa dan citra yang unggul sebagai salah satu pilihan pangan kita.
Ali Khomsan
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB University