Diversifikasi Nonberas untuk Ketahanan Pangan
Dalam situasi sulit seperti pandemi Covid-19 dan bencana iklim, diversifikasi menjadi hal yang penting dalam ketahanan pangan. Sangat berbahaya jika hanya menggantungkan pada satu komoditas pangan, seperti beras.
Pola diversifikasi pangan diperlukan untuk memperkuat jaminan ketahanan pangan hingga tingkat lokal. Tantangan diversifikasi adalah mendorong konsumsi nonberas. Walau menunjukkan tren penurunan, ketergantungan masyarakat Indonesia pada konsumsi beras masih cukup tinggi.
Beras merupakan makanan pangan pokok mayoritas penduduk Indonesia. Konsumsi beras per kapita pada 2019 mencapai 94,9 kg per kapita per tahun. Sementara total pengeluaran untuk membeli beras rata-rata minimal Rp 1,3 juta per kapita per tahun. Secara global, konsumsi beras Indonesia termasuk yang terbesar di bawah China dan India.
Dibandingkan dengan bahan pangan lain, seperti sagu, jagung, kentang, dan ubi kayu, konsumsi beras masih dominan sebagai bahan pangan utama di Tanah Air. Meski demikian, konsumsi beras untuk pemenuhan kebutuhan pangan diproyeksikan terus menurun seiring target penambahan konsumsi nonberas tersebut.
Badan Ketahanan Pangan RI mencatat penurunan konsumsi beras 0,7 persen per tahun selama periode 2005 hingga 2019. Tren penurunan tersebut memang menjadi salah satu agenda nasional untuk ketahanan pangan. Konsumsi beras hingga 2024 ditargetkan dapat berkurang 10,4 persen. Besarnya penurunan tersebut setara dengan 1,8 juta ton.
Agenda nasional yang dimaksud adalah diversifikasi pangan. Pemerintah berusaha mendorong masyarakat mengurangi konsumsi beras, seiring ditingkatkannya promosi bahan pangan lain untuk memenuhi kebutuhan. Bahan pangan nonberas yang dimaksud adalah ubi kayu, jagung, sagu, kentang, pisang, dan talas.
Diversifikasi pangan dibutuhkan dalam upaya menjamin ketahanan pangan karena produksi, distribusi, dan akses makanan masyarakat belum tentu lancar setiap saat. Tak hanya itu, bahan pangan lokal lebih mudah ditanam dan didapatkan oleh masyarakat karena telah terbentuk kesesuaian lahan serta sosial budaya di lokasi tersebut.
Sebagai contoh, saat terjadi pandemi Covid-19 yang menekan tingkat konsumsi sebagian masyarakat, pangan lokal di daerah masing-masing dapat diandalkan untuk mencegah bahaya kelaparan.
Enam jenis bahan nonberas yang ditentukan sebagai pengganti beras dinilai mampu mengimbangi kebutuhan energi yang biasa didapatkan dari nasi. Sebagai perbandingan, satu porsi nasi 100 gram sebanding dengan 1,5 potong ubi kayu seberat 120 gram atau 125 gram satu buah talas.
Apabila ingin mengonsumsi kentang, maka dibutuhkan dua buah dengan berat 210 gram. Sedangkan porsi jagung harus sebanyak 3 buah ukuran sedang untuk satu porsi nasi 100 gram. Untuk pisang membutuhkan 210 gram (dua buah ukuran sedang) dan sagu hanya 50 gram agar setara dengan nasi.
Namun, hingga 2019 keenam komoditas pangan tersebut belum mencapai performa yang baik. Tingkat konsumsi masih sangat rendah dengan tren cenderung turun, khususnya sagu. Selama periode 2015-2019, konsumsi sagu turun 11,3 persen, diikuti pisang (1,2 persen), dan jagung (0,9 persen). Sementara kenaikan drastis diperlihatkan ubi kayu (12,1 persen), talas (10,9 persen), dan kentang (5,9 persen).
Karena itu, pemerintah masih menghadapi tantangan besar untuk mencapai target diversifikasi pangan nasional. Secara umum, target utamanya adalah masyarakat memiliki opsi bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan harian, tanpa bergantung pada nasi.
Prioritas nonberas
Agenda diversifikasi pangan nasional terus berlanjut dengan sejumlah target pada 2024. Ada satu hal yang sebenarnya menjadi priositas, yaitu menurunkan konsumsi beras dengan meningkatkan konsumsi bahan pangan nonberas (ubi kayu, jagung, sagu, kentang, pisang, dan talas).
Konsumsi beras tahun 2019 yang mencapai 94,9 kg per kapita per tahun akan terus ditekan hingga 85 kg per kapita per tahun pada 2024. Artinya, ada penurunan hingga 10 kg per kapita per tahun. Untuk mendukung program pengurangan beras, pemerintah membuat program Satu Hari Tanpa Nasi.
Seiring upaya menurunkan konsumsi beras, pemerintah mendorong konsumsi enam komoditas penggantinya. Bahan pangan ubi kayu yang dikonsumsi sebanyak 6,5 kg per kapita per tahun akan ditingkatkan hingga 3 kali lipat pada 2024, demikian pula kentang.
Tak hanya ubi kayu dan kentang, konsumsi jagung juga akan dinaikkan 2,3 kali, sementara pisang 1,2 kali. Peningkatan drastis yang diharapkan berada di sagu (4,6 kali lipat) dan talas (7,4 kali lipat). Untuk mencapai target peningkatan tersebut, pemerintah telah menetapkan provinsi prioritas untuk budidaya.
Jumlah provinsi prioritas beragam untuk setiap jenis bahan pangan, termasuk provinsi dengan target produksi tertingginya. Jumlah provinsi paling banyak adalah peningkatan produksi untuk ubi kayu, yaitu 17 provinsi. Sedangkan talas 14 provinsi, diikuti jagung dan sagu (masing-masing 7 provinsi), kentang (5 provinsi), dan pisang (4 provinsi).
Provinsi Jawa Barat menjadi target produksi terbesar ubi kayu pada 2022 dengan total 17.582 ton, disusul Jawa Tengah (9.359 ton) dan Sumatera Utara (4.146 ton). Untuk bahan pangan jagung, dua provinsi prioritas adalah Jawa Timur (4.921 ton) dan Nusa Tenggara Timur (3.812 ton). Sementara provinsi penghasil sagu didominasi wilayah Indonesia bagian timur (Maluku, Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Selatan).
Komoditas kentang difokuskan di Jawa Barat (28.370 ton) dan Sumatera Utara (10.904 ton), sedangkan pisang berada di Sulawesi Selatan dengan target 26.217 ton. Produksi bahan pangan talas turut ditingkatkan, utamanya berada di Papua, Jawa Barat, dan Papua Barat.
Tantangan pangan
Demi mencapai target diversifikasi pangan nasional, ada beberapa tantangan yang perlu segera diselesaikan oleh pemerintah. Tiga poin utama tantangan pengelolaan pangan adalah kualitas lingkungan, teknologi pertanian, dan kesiapan sumber daya manusia.
Tantangan dari aspek lingkungan masih terkait dengan anomali iklim dan pengelolaan lahan berkelanjutan. Terkait anomali iklim, saat ini dunia dihadapkan pada ketidakpastian faktor-faktor iklim, termasuk cuaca. Ketidakpastian tersebut dapat berupa pergeseran cuaca, hujan ekstrem, dan suhu panas.
Baca juga: Menjaga Ketahanan Pangan Nasional
Implikasi dari anomali cuaca adalah potensi kegagalan panen sehingga dapat mengganggu target produksi yang ditetapkan. Sementara untuk aspek pengelolaan lahan, tantangannya terletak di penggunaan pupuk dan pengolahan tanah. Apabila pengelolaan lahan tidak dilakukan dengan benar, kehilangan unsur hara tanah akan masif sehingga berdampak buruk pada produksi tanaman.
Tantangan aspek teknologi pertanian fokus pada penggunaan alat dan teknologi terkini selama proses produksi bahan pangan, mulai dari penanaman, panen, hingga distribusi. Apabila teknologi yang dipakai belum efisien, maka akan menambah jumlah bahan pangan yang hilang atau terbuang (food loss).
Sementara tantangan terakhir adalah kesiapan sumber daya manusia. Peran manusia untuk memahami kondisi iklim, lahan, hingga teknologi terbaru, adalah simpul penting untuk menjamin keberhasilan proses produksi bahan pangan.
Diversifikasi pangan merupakan inisiasi yang berpihak pada pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat hingga ke level daerah dan kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Apabila pangan lokal dilestarikan, maka akses masyarakat ke bahan pangan jauh lebih terbuka dan lebih banyak opsi, tidak sekadar beras.
Baca juga: Matahari ”Lockdown” bagi Ketahanan Pangan
Selain dari sisi ketahanan pangan, pelestarian pangan lokal juga termasuk budaya masyarakat yang telah berkembang sejak dahulu kala. Budaya tersebut bisa terdiri dari pola tanam, upacara selama proses tanam, hingga sistem pembagian hasil panen.
Sistem pemenuhan kebutuhan pangan tidak harus selalu dilihat dari skala yang besar, tetapi perlu dipertimbangkan sistem-sistem lokal yang terbentuk sudah lama. Kearifan lokal tersebut layaknya perisai yang menghalau kelaparan di lingkungan tempat tinggal mereka. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Menjaga Ketahanan Pangan dari Desa