”Cenkblonk”, Graffiti, dan Pemberontakan Rakyat
Jika ingin mendekatkan semesta wayang dengan kehidupan keseharian, harus diciptakan tokoh-tokoh pemberontak sejati, yang tak punya ikatan secara struktural dengan penguasa, sehingga ia memiliki kebebasan berkata-kata
Sebelum Orde Baru benar-benar jatuh, dalang I Wayan Nardayana (56) menciptakan tokoh Nang Klencenk dan Nang Ceblonk. Nang Klencenk memiliki mulut seperti buaya, rambut cepak, serta kaki yang senantiasa bergerak. Gaya bicara cepat, tetapi gagap seperti selalu ada yang memburu hidupnya. Sementara Nang Ceblonk bermulut lebar, kepala botak, perut buncit, dengan gaya bicara yang lebih pelan dan tertata. Meski berlawanan dalam bentuk fisik, keduanya memiliki mulut yang ”tajam”, dengan kritikan-kritikan yang seolah bebas dari ”kontrol” penguasa.
Keduanya, menurut Nardayana dalam obrolan denganku beberapa tahun lalu, ia ciptakan sebagai representasi rakyat tertindas. ”Apa yang tidak bisa disuarakan oleh rakyat, Klencenk dan Ceblonk, siap menyuarakannya,” kata dalang asal Desa Belayu, Marga, Tabanan, itu.
Ia, misalnya, mengkritik tentang kuasa adat yang berlebihan di Bali, padahal setiap keputusannya selalu diwarnai oleh sentimen pribadi. Selama pemerintahan Orde Baru, sangat sering terjadi kasus-kasus kesepekang (pengucilan) terhadap warga, bahkan pelarangan penguburan jenazah di kuburan desa. ”Memang kalau enggak dikubur di kuburan, mau ditambus lalu ditaruh di atas genteng?” kata tokoh Klencenk dengan suara cepat. Ditambus maksudnya dikremasi dan kemudian abunya ditebar di atas genteng rumah. ”Itu justru akan membuat desa menjadi leteh, cemar, malah nanti harus bikin upacara lebih besar lagi…” tambahnya Klencenk nyerocos.
Menurut Klencenk, ada banyak kasus adat diwarnai oleh dendam pribadi. Urusan bertetangga yang sering kali diwarnai saling iri hati, berlanjut ke ranah adat dan bahkan menggunakan aturan adat sebagai alat menindas. ”Itu sering terjadi pada masa Orba. Nah, kira-kira ini jadi ilustrasinya,” kata Nardayana.
Oleh sebab itulah Klencenk dan Ceblonk adalah representasi kemerdekaan rakyat untuk bersuara. Ketika saluran-saluran kebebasan bersuara dibungkam secara sistemastis lewat kebijakan pemerintah, termasuk penguasa adat, seni selalu menemukan cara untuk merdeka. Sudah lama wayang berada dalam bayang-bayang penguasa, terutama para ksatria ”berbudi”, yang dalam kisah-kisah klasik selalu berurusan dengan peperangan.
Ketika saluran-saluran kebebasan bersuara dibungkam secara sistemastis lewat kebijakan pemerintah, termasuk penguasa adat, seni selalu menemukan cara untuk merdeka.
Sesungguhnya Klencenk dan Ceblonk, simbol dari pemberontakan terhadap kemapanan yang diam-diam membekukan semesta wayang. Wayang tak kunjung beranjak menjadi tontonan populer, justru karena pakem-pakem yang dianut secara ”membabi-buta” oleh dalang sendiri sebagai sutradara, aktor, dan penulis skenario, dan bahkan menjadi produsernya sekalian. Ketika Nardayana mendengar kelompok seni wayangnya yang bernama Gita Loka, disebut sebagai Wayang Ceng Blong, oleh rakyat penontonnya, secara spontan kemudian ia mengganti nama kelompoknya menjadi Wayang Cenkblonk.
Mengapa menggunakan ”cenkblonk” dan bukan ”cengblong”?
”Saya penggemar grup musik Iron Maiden. Jadi kalau orang metal menulis ”cengblong” itu menjadi ”cenkblonk”, biar terasa metalnya dan kekinian,” kata Nardayana.
Penggunaan huruf ”nk” untuk mengganti bunyi ”ng” menggiring kita pada asosiasi graffiti yang banyak terdapat pada tembok-tembok di kawasan Shoreditch di jantung kota London. Jika di kawasan lain graffiti termasuk juga mural dicap sebagai vandalisme, di Shoreditch, seperti tulisan jurnalis Kompas Denty Piawai Nastitie, Minggu (28/11/2021), dirawat sebagai akomodasi terhadap kebebasan berekspresi. Sejarah dan keberadaan graffiti dan mural itu bahkan diceritakan berulang-ulang oleh para pemandu wisata dengan penuh perasaan takjub dan bangga.
Baca: Merayakan Karya Seni Jalanan di Shoreditch, London
Di negara kita, mural apalagi graffiti, selalu dicap sebagai tindakan vandalistik. Fasilitas publik, seperti tembok-tembok kota, seharusnya dipelihara dengan membiarkannya tetap bersih, bukan justru mencorat-coretnya dengan kata-kata yang bahkan ”tidak pantas”.
Ada sajak yang menjadi pengetahun wajib para pembuat mural dan graffiti di Tanah Air dari penyair Wiji Thukul yang berbunyi begini:
Jika kami adalah bunga
engkau adalah tembok itu
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan kenyakinan engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di mana pun –tirani harus tumbang!
(Bunga dan Tembok, Wiji Thukul—1987-1988)
Sajak ini menganggap, jika seluruh saluran aspirasi dibungkam, termasuk pelarangan dan pembreidelan terhadap media, maka tembok-tembok menjadi dinding alternatif untuk bersuara. Di dinding-dinding tembok, kita bisa menebar biji-biji yang akan tumbuh menjadi benih-benih untuk melawan tirani. Jadi tembok kota telah lahir menjadi media ekspresi kebebasan berpendapat. Kritik-kritik terhadap prilaku para pejabat yang korup, serta pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat, bisa disalurkan lewat tembok. Lantaran kritik-kritik yang hampir selalu pedas itulah mungkin, graffiti dan juga mural, pada akhirnya selalu dicap vandalistik dan subversif.
Nardayana berbeda. Karena ia seorang dalang, maka ia memilih menciptakan tokoh wayang seperti Nang Klencenk dan Nang Ceblonk. Kedua tokoh ini adalah representasi perwajahan rakyat yang selalu dicap buruk rupa, liar, tetapi berhati bersih. Selalu mengutamakan kepentingan rakyat banyak dengan tak segan-segan mengkritik kebijakan penguasa. Nang Klencenk dan Nang Ceblonk yang mengemban misi kebebasan bersuara, tidak mungkin diserahkan kepada tokoh-tokoh punakawan, seperti Tualen, Merdah, Sangut, dan Delem di Bali atau kepada Semar, Gareng, Petruk, Bagong di Jawa atau Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng di Sunda.
Baca: Polemik Grafiti hingga Ruang Publik yang Terkunci
Jika, kau masih ingat, tahun 1981 TVRI mulai menayangkan siaran Ria Jenaka, satu acara dagelan yang menampilkan tokoh Semar (Sampan Hismanto), Gareng (Slamet Harto), Petruk (Iskak), dan Bagong (Ateng). Acara ini tidaklah sepenuhnya dagelan, sebagaimana selama ini diperankan oleh Iskak dan Ateng, yang berprofesi sebagai pelawak. Ria Jenaka, justru dikritik oleh banyak pemirsa, karena semakin lama semakin terlihat membawa propaganda pemerintah yang sedang berkuasa, yakni Orde Baru. Dagelan yang disuguhkan tidak lagi gurih karena kritis terhadap kebijakan pemerintah, tetapi menjadi garing karena kebanyakan meneruskan pesan-pesan penguasa.
Punakawan dalam pandangan Nardayana, tak lebih dari kepanjangan tangan penguasa, yakni para ksatria dalam semesta wayang. Tak jarang bahkan punawakan hanya menjadi penerjemah kebijakan para penguasa. ”Walau pada awalnya punawakan dianggap mewakili suara rakyat, tetapi dalam banyak kisah dia justru hanya jadi kepanjangan tangan penguasa, selalu menurut apa kata penguasa,” kata Nardayana. Kenyataan semacam itu, katanya, justru mengungkung kebebasan seorang dalang sebagai seseorang yang bisa melakukan pengkritisan terhadap pemerintah berkuasa.
Punakawan dalam pandangan Nardayana, tak lebih dari kepanjangan tangan penguasa, yakni para ksatria dalam semesta wayang.
Oleh sebab itulah, jika ingin mendekatkan semesta wayang dengan kehidupan keseharian, harus diciptakan tokoh-tokoh ”pemberontak” sejati, tokoh yang tidak punya ikatan secara struktural dengan penguasa, sehingga ia memiliki kebebasan dalam berkata-kata dan bertindak. Selain itu, kata Nardayana, kedua tokoh ini harus mengikuti isu-isu sosial, politik, kebudayaan, dan ekonomi, yang terjadi di masyarakat. ”Saya selalu mencari tahu isu aktual di mana saya akan mendalang,” katanya.
Baca: Mural, Ekspresi Seni di Pinggir Jalan
Dengan cara ini, Nardayana seolah memiliki pengetahuan yang melampaui para dalang lain. Ia otentik di dalam mengangkat kembali citra wayang, sebagai sesuatu yang antik dan klasik, menjadi artefak budaya yang kembali bersuara. Bahkan, suara itu melampaui batasan-batasan di dalam dirinya sebagaimana dahulu diciptakan oleh para leluhur Nusantara.
Sejak tahun 1995, ketika ia memutuskan mengusung nama Cenkblonk, sebagai ”brand”, pentas wayangnya tak pernah berhenti. Kalender Bali yang tergantung di rumah Nardayana sudah penuh dengan coretan dalam masa setahun. Tak jarang ia harus naik panggung sebanyak dua kali dalam semalam. Padahal dengan kru sebanyak 50 orang, ongkos pentasnya terbilang mahal dibanding dalang lainnya. Setidaknya sekali pentas pada pertengahan tahun 2000-an, ia meminta honorarium sebesar Rp 15.000.000 sampai Rp 17.000.000. Ongkos pentas sejumlah ini termasuk ”mahal” untuk pertunjukan wayang kulit berdurasi 1,5–2 jam di Bali.
Coba kita dengar percakapan Nang Klenceng dan Nang Ceblong berikut ini:
”Kamu dengan suara monyet itu?” kata Klencenk.
”Kenapa memang?” Ceblonk balik bertanya.
”Saya tidak habis pikir…”
”Jangan terlalu berpikir kamu, Cenk. Nikmati saja hidup ini sebagai rakyat.”
”Sampai monyet saja bisa diperintah untuk meset-set, mereka mau berperang habis-habisan demi Rama melawan Rahwana…”
”Itu kan memang tugas prajurit.”
”Memang monyet tak pernah bisa mikir, apa akibat dari perang itu kan ya, Blonk?”
”Oh benar juga kamu, Cenk.”
”Ujungnya, rakyat kecil juga yang jadi korban. Semuanya rusak akibat perang para monyet itu.."
Kritik yang tajam dan keras kepada bangsawan seperti Rama dan Rahwana, tidak akan mungkin muncul dari mulut punakawan seperti Tualen, Merdah, atau Sangut dan Delem. Keempat punakawan ini sangsat menghormati dan menjunjung tinggi kebijakan perang yang dikobarkan oleh Rama dan Rahwana untuk memperebutkan Sita.
Penyamaan Rama sebagai monyet yang tak pernah mikir akibat perang terhadap rakyatnya sendiri, termasuk kritik pedas bagi seorang raja. Lewat Cenk dan Blonk, Nardayana bisa mendapatkan ruang yang lebih leluasa untuk menyuarakan hati nurani rakyat secara obyektif. Ilustrasi semacam ini sudah cukup mampu menjadi inspirasi bagi para penonton untuk mencari kebijakan-kebijakan penguasa yang pada akhirnya merugikan rakyat kecil.
Itulah tugas seorang seniman, menciptakan ruang kebebasan, dari kelir wayang sampai tembok-tembok kota sehingga suara rakyat tidak tersumbat oleh propaganda politik penguasa, yang tak jarang merugikan. Jika pada akhirnya kau bertemu dengan graffiti, cobalah pula menemukan ruang kebebasan niscaya kau akan menemukan keindahan tersembunyi di dalamnya. Keindahan tidak hanya muncul dari keteraturan, tetapi lebih-lebih dari keliaran imajinasi yang hanya kau bisa temukan dari orang-orang bebas seperti Nang Klencenk dan Nang Ceblonk. Ada rasa metal yang orisinal pada tubuh mereka berdua.