Ujian bagi Hakim Mahkamah Konstitusi
Bisakah hakim MK keluar dari cangkang kepentingan pribadi dan membuat putusan menarik dan konseptual berkaitan dengan konsepsi konflik kepentingan ataupun bangunan UU yang dibutuhkan untuk mengawal tegaknya konstitusi.
Salah satu ujian yang paling menentukan bagi Mahkamah Konstitusi sebenarnya adalah pengujian atas UU Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
Dapat dikatakan, UU No 7/2020 tentang Perubahan Ketiga UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikeluarkan oleh pembentuk UU itu hanya merupakan UU ”hadiah” bagi hakim MK.
Dari 30 poin yang mengalami perubahan, 24 poin adalah sesuatu yang tak diperlukan karena merupakan pasal-pasal yang sudah dihilangkan oleh MK. Artinya, 80 persen isi UU itu tak diperlukan karena putusan MK telah menghilangkan pasal-pasal tersebut dan tidak dibutuhkan adanya proses pembuatan UU hanya untuk menyatakan dihilangkan karena sudah dicabut oleh MK.
Sisanya, 20 persen, adalah enam aturan baru yang hebatnya lagi tak ada korelasi dengan logika dan arah politik hukum yang diinginkan MK dalam putusan-putusan sebelumnya.
Enam hal baru itu: (1) perpanjangan masa jabatan menjadi hingga 70 tahun bagi hakim yang tengah menjabat; (2) peningkatan usia minimal syarat menjadi hakim dari 47 menjadi 55; (3) penghapusan periodisasi hakim sebagai konsekuensi masa jabatan yang diperpanjang; (4) perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua menjadi lima tahun; (5) penambahan unsur berlatar bidang hukum sebagai syarat sebagai anggota Majelis Kehormatan MK; (6) syarat calon hakim konstitusi dari Mahkamah Agung harus hakim tinggi atau hakim agung.
Namun, hebatnya, UU itu penuh kepentingan pribadi hakim MK semata.
Ujian bagi hakim
Dari enam itu, sama sekali tak menyentuh kebutuhan MK dalam penguatan kapasitasnya sebagai lembaga peradilan yang bekerja untuk menjaga hak konstitusional warga negara. Bandingkan dengan dokumen Rencana Strategis MK (2020-2024) yang sudah mencanangkan perihal kebutuhan-kebutuhan besar revisi UU MK berkaitan dengan hukum acara MK.
Juga dukungan lain dalam memperbaiki kinerja MK seperti penguatan peraturan MK (PMK) hingga penguatan dewan etik yang seharusnya dimasukkan dalam UU MK. Artinya, jauh panggang dari api. MK sendiri menyatakan ”tak membutuhkan” perbaikan legislasi ala UU MK terbaru itu jika dilihat dari dokumen rencana strategisnya. Namun, hebatnya, UU itu penuh kepentingan pribadi hakim MK semata.
Pada titik itulah, pengajuan pengujian formil dan materiil atas UU ini menjadi menarik, terkhusus untuk melihat seperti apa hakim MK akan bersikap di hadapan yang penuh kepentingan pribadi hakim MK tersebut. Apalagi, proses pembuatan UU ini juga mengalami problem yang tak kalah serius.
Itu yang membuat adanya pengujian formil atas UU ini. Dalam tulisan ”Uji Formil dan Senja Kala Legislasi” (Kompas, 31/8/2021), saya sampaikan betapa kikuk MK berhadapan dengan pengujian formil.
Baca juga : Uji Moralitas Hakim Konstitusi
Malah ada kecenderungan MK membuat pengujian formil menjadi kian mengalami ”senja kala”, padahal yang dibutuhkan adalah MK bertindak menjadi ”pelita” bagi pencari keadilan melalui pengujian formil. Apalagi di pengujian materiilnya, karena pasal-pasal yang diuji jelas-jelas merupakan pasal-pasal yang berkaitan dengan kepentingan hakim MK semata.
Tantangan formil dan materiil
Dari sekian banyak pengujian formil dan dalam kaitan dengan ketaatan pembentuk UU dalam membuat suatu UU, semuanya sudah pernah disampaikan, misalnya perihal UU sebagai berbasis pada kebutuhan masyarakat. UU yang seharusnya memenuhi prasyarat partisipasi. Kewajiban pembentuk UU untuk taat dan patuh pada pembatasan kekuasaan negara dan memperhatikan sungguh-sungguh keinginan publik.
Menariknya, dalam konteks UU MK, bukan hanya kehilangan hal aspirasi yang menjadi dasar dari pembentukan UU, melainkan juga kehilangan tujuan dari pengaturan suatu UU. Robert C Farrell (1992) membedakan antara tujuan (purpose) dan motif (motive) dari suatu UU. Tujuan ia bahasakan jadi ”the end at which a law is directed” atau semacam ”preferred future”, sedangkan motif hanyalah ”subjective motivations of individual legislators”.
Sering kali dalam pengujian suatu UU, kata Farrell, pengadilan gagal membangun pembedaannya secara jeli sehingga kabur dalam pemaknaan. Tentu yang paling penting ditemukan adalah maksud dari pembentukan UU yang tentu saja dibedakan dari motif yang subyektif. Dengan demikian, tujuan pembentukan UU tak bisa didapatkan hanya dari pendapat anggota legislator, tetapi ”actual impact of the law itself”.
Dalam logika normal, mudah sebenarnya untuk mengatakan bahwa UU MK lahir dari ketiadaan tujuan baik dari pembuatan suatu UU yang seharusnya mengharapkan dampak yang baik terhadap MK secara keseluruhan dan bukan hanya segelintir hakim MK. Dan ini seharusnya bisa terukur dari suatu format yang dibayangkan ke arah mana MK seharusnya dibawa. Sangat terlihat yang ada hanyalah motif pembentuk UU dan bukanlah tujuan dari pembentukan UU itu sendiri.
Pertanyaan menariknya, bagaimana mengukur tujuan konstitusional dari suatu UU? Ada beberapa pendekatan. Salah satunya, parameternya menurut Cass Sunstein adalah public virtue (1984). Pendekatan yang dalam pembacaan konstitusionalitas adalah menghitung apa yang terbaik untuk publik.
Sangat terlihat yang ada hanyalah motif pembentuk UU dan bukanlah tujuan dari pembentukan UU itu sendiri.
Dalam menganalisis politik hukum dari suatu UU, tentu saja ada lapisan-lapisan penting dalam melihat apa sebenarnya politik hukum yang merupakan arah kebijakan dari pembentukan UU itu. Pertama, tujuan umum pembangunan hukum dapat ditemukan secara interpretatif dari Pancasila, UUD, dan rencana pembangunan.
Kedua, dalam level yang lebih khusus secara tematis, yang merupakan turunan dari tujuan umum dalam sektor-sektor tertentu. Pada level ini, sering ada kekosongan. Semisal, seperti apa sebenarnya bangunan kekuasaan kehakiman yang dibayangkan negara yang akan dibentuk dalam berbagai UU yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sehingga memiliki paradigma yang searah.
Ketiga, politik hukum dalam bentuk naskah akademik yang merupakan pernyataan sosiologis, yuridis, dan filosofis UU.
Di tengah kegagalan menangkap kembali politik hukum dalam bingkai besar, setidaknya harus ada perhatian serius terhadap apa yang dicanangkan dalam naskah akademik. Karena akan memiliki fungsi sangat kuat dalam menyambung politik hukum negara, dikaitkan dengan ”public virtue” secara sosiologis, harmonisasi secara yuridis dan dibingkai dalam suatu konsep filosofis.
Baca juga : Soal Revisi UU MK
Karena itu, penting untuk menagih janji adanya suatu naskah akademik yang lebih baik dan menunjang parameter yang jelas dari suatu politik hukum yang dibayangkan. Terkait pembahasan yang terburu-buru dengan waktu yang singkat, Michelle Christina Whyman (2016) mempertanyakan mengapa suatu UU memiliki daya tahan yang lebih lama berlaku di masyarakat. Ia menganalisis 268.935 provisions yang dikeluarkan Pemerintah Federal AS tahun 1789-2012.
Ditemukan suatu UU memiliki daya tahan yang baik adalah tatkala ada pencarian informasi yang cukup, serta pembahasan yang memadai dalam konteks waktu untuk mencapai kesepakatan suatu UU. Dalam konteks ini, UU serupa revisi UU MK ini terlihat sangat rapuh karena ketiadaan waktu yang cukup dalam prinsip deliberasi dan penguatan gagasan.
Dalam hal materiil, tantangannya adalah UU hasil revisi ini tak memiliki banyak perdebatan interpretatif konstitusional, tetapi memiliki masalah utama, yakni rasionalitas kebijakan. Ini bisa diukur dari tujuan hukum yang jelas dan bukan hanya sekadar motif hukum.
Kebanyakan dari pasal itu bukan berasal dari prinsip konstitusionalitas, tapi merupakan tantangan sejauh mana doktrin open legal policy diterapkan. Karena itu, menilainya tentu berbasis apakah suatu open legal policy ini melanggar batasan yang pernah dibuat MK sendiri, yakni moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable (Putusan MK No 26/PUU-VII/2009).
Pertama, soal usia. Tentu saja dalam hal ini tak ada parameter yang jelas untuk terus menaikkan batas usia hakim konstitusi. Biasanya, ”jualan” menaikkan usia ini adalah supaya lebih matang dan tidak memiliki ”cita-cita” politik lagi setelah menjadi hakim konstitusi. Hal ini tentu tidak tepat.
Yang kita lihat, dalam langgam perpolitikan nasional, sangat banyak jabatan publik di tingkat kementerian bahkan wakil presiden diisi oleh mereka yang berusia di atas usia batas pensiun hakim MK. Apa yang akan membatasi hakim MK dari jabatan-jabatan setelah menjadi hakim MK? Tentu bukan usia, tetapi komitmen di dalam janji dan kenegarawanan ketika menjadi hakim MK.
Menaikkan batas usia hakim MK menjadi 47 dalam UU No 8/2011 juga tak mampu menahan laju keinginan seseorang menjadi politikus atau memiliki cita-cita lanjutan.
Apa sebenarnya masalah utama sehingga menaikkan usia persyaratan awal menjadi hakim konstitusi?
Lagi pula, menjadi berpotensi masalah ketika diterapkan untuk hakim saat ini, yakni hakim-hakim yang terpilih dengan batas usia 47, tetapi kemudian diperpanjang serta mengalami perubahan pada batas usia awal menjadi 55 dan batas akhir usia 70 tahun, atau dengan 15 tahun pengabdian. Tujuan di UU MK agar tidak memiliki keinginan politik setelah menjabat di MK malah menjadi hilang karena adanya ketentuan peralihan tentang batas 15 tahun pengabdian.
Apa sebenarnya masalah utama sehingga menaikkan usia persyaratan awal menjadi hakim konstitusi? Menurut Richard A Wasserstrom (1980), seharusnya yang dilihat kualifikasi individual hakim, yang tidak sekadar diukur dari usia atau lama berkecimpung di wilayah hukum, tetapi benar-benar negarawan yang memahami problem hukum, ketatanegaraan, dan kenegaraan.
Pun ketika ini menjadi suatu kebijakan yang baru, selayaknya itu diberlakukan secara prospektif. Berlaku ke depan atau untuk hakim rekrutan mendatang dan bukan untuk hakim yang ada saat ini. Apalagi, dalam konteks menghilangkan kemungkinan konflik kepentingan dengan menambah usia hakim.
Dengan memberlakukan sekarang, malah hanya akan menambah dan membuka kemungkinan konflik kepentingan. Bayangkan, ketika ada pasal khusus yang dibuat untuk ”menyelamatkan” satu hakim konstitusi dari perubahan mendadak atas persyaratan. Akan tercatat dalam sejarah, ketika ada pasal yang dibuat secara einmaligh atau sekali pakai.
Kedua, perihal limitasi pengajuan hakim konstitusi dari Mahkamah Agung, yakni hanya hakim agung dan hakim tinggi. Pada dasarnya UUD tidak menyatakan hakim harus berasal dari unsur yang mengajukan, karena UUD membahasakan ”yang diajukan masing-masing tiga oleh MA, tiga oleh DPR, dan tiga oleh Presiden”.
Jika dibatasi menjadi unsur MA harus dari para hakim, sangat mungkin juga dilakukan penafsiran serupa bahwa hakim dari Presiden juga adalah dalam lingkup pemerintahan dan yang dari DPR adalah dalam lingkup politisi.
Sebenarnya, tanpa perlu menyatakan secara tegas di dalam UU, itu dapat menjadi preferensi bagi lembaga masing-masing yang mengajukan sepanjang syarat-syarat transparan, partisipatif, obyektif, dan akuntabel itu terjaga.
Pertanyaan terakhir terpulang kepada hakim MK itu sendiri, dalam rangka membebaskan diri dari ujian kepentingan ini.
Bisakah hakim MK keluar dari cangkang kepentingan pribadinya dan membuat putusan yang menarik dan konseptual berkaitan dengan konsepsi konflik kepentingan ataupun bangunan UU yang dibutuhkan dalam rangka mengawal tegaknya konstitusi melalui peradilan konstitusi yang independen, imparsial, dan adil? Ataukah pada akhirnya MK hanya akan berlindung di balik alasan bahwa MK hanya melaksanakan UU yang telah dibuat oleh pembentuk UU dengan doktrin ala open legal policy?
Semoga hakim-hakim MK dapat menjadi pemberi alasan yang benar dan bukan hanya pencari alasan pembenar.
Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta