Kalau DPR dan pemerintah hanya mengotak-atik soal masa jabatan dan usia pensiun hakim konstitusi, dugaan publik bahwa ada transaksi di balik itu bisa menemukan kebenarannya. Revisi UU MK menjadi tidak solutif.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
Sebuah undang-undang adalah kesepakatan politik para pembuatnya, yakni pemerintah dan DPR. Atas dasar itu, revisi sebuah UU bisa saja dilakukan.
Tiada UU yang tidak bisa direvisi, termasuk juga revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK) yang sekarang sedang dibahas secara diam-diam oleh DPR dan pemerintah. Pembahasan secara tertutup inilah yang mengingkari prinsip keterbukaan, prinsip kedaulatan rakyat, dan prinsip pedoman penyusunan perundang-undangan.
Pembuatan UU harus melibatkan publik. Harus ada proses konsultasi publik untuk mendengarkan masukan. Begitu juga halnya dengan UU MK. UU MK memang harus direvisi. Masih banyak lubang pada UU MK yang harus diselesaikan dalam proses penyempurnaan UU.
Sebut saja soal standardisasi seleksi hakim konstitusi. Hakim konstitusi berasal dari DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung. Masalahnya, tidak ada standar pola perekrutan hakim konstitusi dari ketiga lembaga itu. Apakah merupakan hak prerogatif dari pimpinan lembaga itu, dan publik hanya menerima begitu saja? Bagaimana tiba-tiba ada hakim konstitusi yang belum diyakini publik sebagai ”negarawan yang menguasai konstitusi” tiba-tiba diusulkan sebagai hakim konstitusi? Bagaimana merekrutnya pun tidak pernah jelas.
Kompas/Wawan H Prabowo
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Aswanto bersiap memimpin sidang di Ruang Sidang Pleno, Gedung MK, Jakarta, 15 Juli 2020.
Hal inilah salah satu masalah yang harus dibenahi dalam revisi UU MK. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengeluarkan perppu soal ”penyelamatan MK”, yang antara lain mengatur soal batasan waktu tujuh tahun politisi bisa menjadi hakim MK dan adanya panel ahli untuk menyeleksi hakim MK. Namun, perppu itu kandas di MK itu sendiri.
Isu lain adalah soal pengawasan hakim konstitusi. Sejak terjadi ”kecelakaan” hakim konstitusi Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, belum tampak ada perubahan soal mekanisme pengawasan hakim MK. Meskipun dikonstruksikan sebagai negarawan yang menguasai konstitusi, hakim konstitusi adalah manusia biasa, yang rawan terhadap godaan yang bisa memengaruhi putusannya. Bagaimana pengawasannya?
Posisi hakim konstitusi secara konstitusional begitu luhur sebagai ”negarawan yang menguasai konstitusi” seharusnya tak bisa dipandang sebagai division of labour semata. Posisi hakim konstitusi sebagai the guardian of constitution, the guardian on state ideology adalah orang-orang yang benar- benar terpilih dan tidak boleh diragukan integritasnya.
Meskipun dikonstruksikan sebagai negarawan yang menguasai konstitusi, hakim konstitusi adalah manusia biasa, yang rawan terhadap godaan.
Isu sentral lain adalah mekanisme hukum acara di MK. Jadi, revisi UU MK memang dibutuhkan. Tim MK sebetulnya sudah mempersiapkan draf revisi yang lebih komprehensif. Namun, adalah sebuah kenyataan politik inisiatif DPR hanya membatasi revisi UU MK pada usia pensiun hakim konstitusi dan mengotak-atik batas minimal usia hakim konstitusi.
Kalau memang DPR dan pemerintah hanya mengotak-atik soal masa jabatan hakim konstitusi dan usia pensiun hakim konstitusi, dugaan publik bahwa ada transaksi di balik itu bisa menemukan kebenarannya. Revisi UU MK itu menjadi tidak solutif bagi kebutuhan tata kelola kehidupan bernegara dan berkonstitusi.