Pendekatan yang dilakukan guru sangat berpengaruh terhadap peserta didik. Guru dapat membebaskan dan mencerahkan atau justru memadamkan pancaran semangat anak-anak didik.
Oleh
ANGGI AFRIANSYAH
·5 menit baca
Kompas
Didie SW
Di era kiwari guru-guru dituntut berbagai hal dengan standar tinggi. Pemerintah, seperti disebutkan dalam Buku Pegangan Pembelajaran Berorientasi pada Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi (Kemdikbud, 2018), berharap peserta didik bisa meraih ragam kompetensi, seperti berpikir kritis (criticial thinking), kreatif, dan inovatif, kemampuan berkomunikasi, kemampuan bekerja sama, dan kepercayaan diri. Semua itu merupakan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS).
Sementara, yang terbaru merujuk pada Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024, disebutkan bahwa agar peserta didik dapat berhasil di lingkungan kerja masa depan, ada enam profil Pelajar Pancasila yang harus ditumbuhkembangkan, yakni berkebinekaan global, bergotong royong, kreatif, bernalar kritis, mandiri, serta beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia.
Saifer (2018) pada buku HOT Skills: Developing Higher-Order Thinking in Young Learners mengemukakan setidaknya dua kapasitas yang perlu diinternalisasi oleh guru di ruang pendidikan. Pertama, critical thinking terkait dengsn kemampuan untuk berpikir jernih dan akurat, belajar untuk memahami, melihat melampaui penampilan permukaan, dan menentukan kebenaran informasi. Kedua, creative thinking yang terkait dengan kemampuan berimajinasi, menginterpretasikan/mensintesis, berteori, membingkai ulang gagasan, dan mencipta sesuatu.
Ada jarak terbentang antara situasi yang dihadapi di wilayah perkotaan dan perdesaan.
Akan tetapi, apakah itu mudah dioperasionalisasikan di ruang pendidikan? Tentu saja itulah tantangannya. Sebagai pihak yang ada di garda terdepan, gurulah yang sering diberi beban berlebih untuk mampu mencerdaskan anak-anak bangsa.
Padahal, ada ragam situasi yang mereka hadapi. Di Indonesia masih banyak daerah yang sulit dijangkau. Guru-guru yang ditempatkan di sejumlah lokasi di Indonesia, terutama di wilayah perdesaan, memiliki berbagai hambatan, baik secara struktural maupun kultural serta teknikal ataupun substansial. Ada jarak terbentang antara situasi yang dihadapi di wilayah perkotaan dan perdesaan. Hanya guru-guru tangguh yang memiliki mentalitas kokoh serta hati yang lapanglah yang akan bertahan.
Tantangan
Giroux (1988) dalam Teachers as Intellectuals: Toward a Critical Pedagogy of Learning sudah mengingatkan betapa para calon guru dan guru di sekolah terancam oleh pendekatan pendidikan yang lebih mengedepankan ideologi instrumental yang menekankan sisi teknokratis.
Padahal, menurut Giroux (1988), guru dapat menjadi intelektual transformatif. Dalam posisi ini guru harus mengambil tanggung jawab secara aktif untuk mengajukan pertanyaan kritis terkait dengan apa yang mereka ajarkan, bagaimana harus mengajar, dan apa tujuan besar yang mereka perjuangkan. Posisi yang membuat guru harus mengambil peran yang bertanggung jawab dalam membentuk tujuan pendidikan di sekolah.
Kondisi yang menyebabkan otonomi guru berkurang karena ada banyak standar yang perlu diraih dan penilaian yang perlu diukur. Perilaku guru perlu dikontrol dan dibuat konsisten agar yang terjadi di sekolah bisa diprediksi. Padahal, jiwa merdeka hanya bisa dikokohkan melalui pendidikan yang egaliter, dialogis, dan bebas dalam mengungkap aspirasi. Bukan pendidikan yang penuh kontrol dan serba patuh.
Pada posisi ini, Pranoto dan Ihsan (2020) dalam buku Berpikir Majemuk dalam Matematika menyebut guru berposisi sebagai pemandu belajar, mendampingi setiap siswa untuk mengembangkan sendiri talentanya. Guru bertugas memandu, membimbing, mendukung agar anak mengembangkan dan melahirkan pengetahuannya sendiri.
Latif (2020) menyatakan, fungsi guru tak hanya mengajar, tetapi juga menuntun untuk memantau potensi dan kecenderungan setiap siswa, mengembangkan potensi dan preferensi siswa, serta menghubungkan siswa dengan berbagai budaya, negara, pasar, dan masyarakat.
Tiga pertanyaan
Tantangan ini tentu tak boleh menjadikan guru patah semangat dalam menjalankan tugas mulia mencerdaskan anak bangsa. Agar gairah mendidik terus menyala, ada tiga pertanyaan yang perlu terus diajukan para guru.
Pertama apakah para guru terus berupaya untuk meningkatkan kapasitasnya di bidang pelajaran yang diampunya? Atau sudahkah guru jadi pembaca dan penulis yang tangguh? Tentu saja kondisi ini juga dipengaruhi oleh akses guru ke jurnal, buku, berita di bidang pelajaran yang diampu ataupun referensi lain. Selain juga pelatihan atau peningkatan kapasitas akademik yang berjalan reguler. Setelah memiliki akses, apakah mereka dapat memanfaatkan fasilitas yang ada tersebut dengan optimal?
Kedua, apakah guru sudah menjadi sosok yang reflektif? Merujuk pada buku Higher Order Thinking Skills in the Language Classroom: A Concise Guide (Ghanizadeh, Al Hoorie, dan Jahedizadeh, 2020) yang mengadaptasi dari Scales (2008), disebutkan bahwa seorang guru harus melakukan refleksi untuk meningkatkan kemampuan mengajar dan belajarnya.
Guru perlu melakukan refleksi, observasi diri, memonitor diri, bertanya mengenai apa yang sudah dipelajari, apa yang harus dilakukan dalam pembelajaran akan datang, hal baru apa yang ingin disampaikan, perlukah melakukan hal baru saat pembelajaran dilakukan.
Guru akan dikenang anak-anak sebagai sosok yang memberikan visi ke depan atau sekadar mentransfer pengetahuan di ruang kelas.
Ketiga, bagaimana pendekatan guru dalam mendidik? Apakah guru sudah melakukan pendekatan humanis dengan pendekatan egaliter dan dialogis? Apakah guru, menggunakan terminologi (2006) Romo Driyarkara, sudah menemani anak dengan sekuat hati? Apakah pendekatan guru juga memperhatikan aspek sosial kultural ketika mendidik anak-anak?
Pendekatan yang dilakukan guru sangat berpengaruh terhadap peserta didik di sekolah. Guru akan dikenang anak-anak sebagai sosok yang memberikan visi ke depan atau sekadar mentransfer pengetahuan di ruang kelas. Selain itu, apakah guru dapat membebaskan dan mencerahkan atau justru memadamkan pancaran semangat anak-anak didik.
Tiga pertanyaan ini perlu terus diajukan kepada guru ataupun calon guru dewasa ini. Sebab, dalam praktiknya, banyak kerumitan yang membuat guru terjebak pada berbagai situasi yang melemahkan gairah perjuangan mereka.
Ketika mereka ingin meningkatkan kapasitas, terdapat banyak benturan, seperti gaji yang minim dan ketidapastian sumber penghidupan (untuk guru honor dan kontrak), administrasi yang membebani, dan fasilitas yang kurang memadai. Atau juga terkait dengan dukungan orangtua, lingkungan sekolah, serta pemda dan pusat yang kurang memicu semangat guru.
Kompas
Anggi Afriansyah
Jihad guru untuk mencerdaskan anak bangsa (pada situasi normal atau pandemi) memang bukan jalan yang mudah ditempuh. Jalan penuh onak dan duri yang hanya bisa dilalui oleh para guru mulia.
Anggi AfriansyahPeneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN