Peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak terlepas dari peran pendidikan dan guru memegang peran sentral dalam dunia pendidikan. Karena itu, guru harus ditata dan dikelola dengan baik serta dikuatkan perannya.
Oleh
CATUR NURROCHMAN OKTAVIAN
·5 menit baca
Pada 25 November ini, semua guru di Indonesia merayakan ”hari ulang tahunnya” yang ke-76. Mendasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, setiap tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Untuk mewujudkan penghormatan terhadap guru, tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional.
Penetapan hari ulang tahun PGRI sebagai Hari Guru Nasional merupakan bentuk pengakuan pemerintah terhadap pentingnya kedudukan dan peranan guru dalam pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya dalam pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak terlepas dari peran pendidikan dan guru memegang peran sentral dalam dunia pendidikan. Pendidikan sebagai ”eskalator sosial” yang mampu menaikkan mobilitas sosial ekonomi masyarakat. Melalui pendidikan, wawasan masyarakat terbuka, pengetahuan bertambah, dan lingkaran pergaulan semakin luas. Dampak turunannya, kualitas manusia semakin meningkat dan status sosial ekonomi mereka naik.
Mirisnya, keluhan masyarakat yang sering terdengar adalah mereka sulit mendapatkan akses pendidikan bermutu. Pendidikan semakin tinggi jenjangnya semakin mahal, daya tampung sedikit, dan aksesnya terbatas, khususnya bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Hingga kini masih banyak persoalan pendidikan yang harus dibenahi, termasuk tingginya angka putus sekolah. Berdasarkan data Kemendikbudristek, di jenjang SD, misalnya, pada 2019/2020 masih ada 59.443 siswa yang putus sekolah. Di jenjang SMP tercatat 38.464 siswa putus sekolah, di jenjang SMA 26.864 siswa, dan di SMK tercatat 32.395 siswa yang putus sekolah.
Angka tersebut merupakan fakta yang menunjukkan masih banyak anak bangsa yang belum menikmati pendidikan. Tidak tertutup kemungkinan, di masa pandemi tahun 2020-2021 angka tersebut dapat lebih besar lagi.
Tata kelola guru
Selain itu, ada permasalahan pendidikan yang prioritas untuk dibenahi, yaitu tata kelola guru. Masih karut-marutnya persoalan tata kelola guru akan berimbas pada permasalahan pendidikan yang lain. Dalam berbagai kesempatan, Muhadjir Effendy (mantan Mendikbud, kini Menko PMK) mengatakan bahwa 60 persen permasalahan pendidikan dapat terurai jika permasalahan tata kelola guru dapat dibenahi.
Permasalahan distribusi, kesejahteraan, kompetensi, dan perlindungan guru merupakan hal-hal pokok yang perlu menjadi fokus perhatian pemerintah untuk dibenahi. Selama ini distribusi guru tidak merata dan disparitas kualitas pendidikan melebar karena kuatnya desentralisasi. Peran pemerintah daerah sangat kuat sehingga pemerintah pusat tidak bisa memutasi guru antarkabupaten/kota, bahkan yang bertetangga sekalipun.
Desentralisasi pendidikan juga menyebabkan guru-guru profesional mau tidak mau dilibatkan dalam permasalahan politik lokal. Tidak sedikit guru yang ”terpaksa” menjadi tim sukses calon kepala daerah dan akhirnya terjerumus dalam pusaran konflik politik lokal yang sebenarnya bukan dunia mereka.
Mereka direkrut dan dilatih secara profesional untuk berdiri di depan kelas dan mengelola sekolah. Pelibatan guru dalam politik praktis dan persoalan politik lokal sebenarnya merugikan pemerintah karena guru-guru sudah dididik dan dilatih secara profesional dengan seleksi ketat dan tentu biaya mahal, kemudian oleh elite politik lokal dijadikan pejabat-pejabat struktural tidak berkaitan dengan kompetensi profesional mereka.
Pelibatan guru dalam politik praktis dan persoalan politik lokal sebenarnya merugikan pemerintah karena guru-guru sudah dididik dan dilatih secara profesional dengan seleksi ketat dan tentu biaya mahal.
Akibatnya, jumlah guru profesional di daerah tersebut menjadi berkurang. Guru yang menjadi tim sukses pasangan calon yang kalah nasibnya nelangsa. Kariernya terancam. Tidak jarang mereka dimutasi sesuka hati ke jabatan lain di daerah terpencil.
Kebijakan dunia pendidikan yang terus berubah-ubah juga menyulitkan guru di lapangan. Ada pemeo di kalangan guru, ”Ganti Menteri, Ganti Kebijakan”. Biasanya yang sering disoalkan para guru adalah kebijakan kurikulum yang terus berubah-ubah.
Memang, perubahan adalah keniscayaan, apalagi menghadapi tantangan zaman yang terus berubah. Namun, dalam sejarah perkembangannya, kurikulum tidak akan berubah jika guru tidak mengubah dirinya dalam pembelajaran.
Peran guru dalam melaksanakan kurikulum amat sentral. Secara esensi, tujuan kurikulum tidak akan tercapai apabila guru tidak berorientasi memperkuat kualitas proses pembelajaran. Pemerintah sebaiknya berfokus melatih guru mengembangkan metode pembelajaran agar kurikulum dapat diterjemahkan dengan baik dalam proses pembelajaran.
Kalau kurikulum masih dipandang sebagai satu-satunya acuan formal, akibatnya guru hanya menjadi ”pelaksana” kurikulum dan bukan sebagai ”pengembang” kurikulum. Aspek administrasi menjadi pekerjaan yang menonjol dibandingkan dengan aspek proses pembelajaran yang berkualitas.
Dengan pelaksanaan proses pembelajaran yang hanya mengacu pada tujuan dan bukan proses, sulit menghapus stigma bahwa pergantian kurikulum sekadar pergantian ”nama saja” atau pergantian dokumen kurikulum, bukan perubahan esensial dari suatu kurikulum.
Penguatan peran guru
Hal lain yang perlu menjadi perhatian ialah bahwa penguatan peran guru harus dimulai dari penguatan kembali LPTK (Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan) yang telah berubah dari IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu pendidikan) menjadi universitas, yang tampak redup identitas keguruannya dan lebih mengembangkan bidang ilmu nonkependidikan. Apabila Mendikbudristek ingin konsisten memuliakan peran guru, hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah melakukan penguatan LPTK selaku ”produsen” guru dan perbaikan mutu pendidikan profesi guru.
Kemudian, pemerintah perlu melibatkan organisasi profesi guru, seperti PGRI yang betul-betul memahami dan menjadi pelaku di bidang pendidikan dasar dan menengah dalam perencanaan dan pembuatan kurikulum, pelatihan metode pengajar, dan peningkatan kompetensi keprofesian berkelanjutan. Dengan demikian, kebijakan pemerintah yang diambil dapat dirasakan sebagai kebijakan ”memuliakan guru” dalam artian memahami keadaan nyata di lapangan.
Perlu terobosan yang tidak linear untuk menguatkan peran dan memuliakan guru.
Perlu terobosan yang tidak linear untuk menguatkan peran dan memuliakan guru sehingga dapat membangun kultur akademik di sekolah-sekolah melalui kegiatan-kegiatan yang menunjang keprofesian guru, seperti seminar, lokakarya, dan kegiatan kerja kolektif lainnya. Perbaiki kesejahteraan guru dan kurangi beban pekerjaan guru yang bersifat administratif.
Guru harus terjamin kesejahteraannya sehingga fokus untuk mengembangkan keprofesian secara berkelanjutan. Dengan kesejahteraan guru yang layak dan mencukupi kebutuhan minimumnya, mereka akan lebih tenang dalam menjalankan tugasnya yang mahaberat dalam mendidik anak bangsa.
Begitu pentingnya peran guru, tidak heran pada 1945, Hirohito, Kaisar Jepang, saat negaranya luluh lantak akibat bom atom sekutu, menanyakan berapa banyak guru yang masih hidup. Ungkapan Hirohito mengisyaratkan bahwa untuk membangun suatu bangsa diperlukan peran guru. Hirohito menyadari bahwa memuliakan guru akan memajukan bangsa.
Selamat Hari Ulang Tahun Ke-76 PGRI dan Hari Guru Nasional 2021.
Catur Nurrochman Oktavian, Guru SMP Negeri 1 Kemang, Kabupaten Bogor, Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Pengurus Besar PGRI