Guru adalah tenaga pendidik profesional yang harus dikelola juga secara profesional. Perekrutan guru pegawai pemerintah dalam perjanjian kerja harus diikuti langkah-langkah lain untuk membenahi tata kelola guru.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Rencana pemerintah merekrut satu juta guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi skema ini dinilai menjadi jalan tengah untuk menyelesaikan persoalan guru honorer dan memenuhi kekurangan guru, tetapi di sisi lain memunculkan pertanyaan terkait tata kelola guru.
Perekrutan satu juta guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) diharapkan memenuhi kebutuhan sekolah negeri yang saat ini kekurangan 1.020.921 guru, sekaligus memberi kesempatan 742.459 guru honorer menjadi aparatur sipil negara (ASN). Peluang ini terbuka juga bagi lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang belum mengajar.
Jika prosesnya lancar, daerah mengusulkan formasi guru sesuai kebutuhan dan peserta memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan, keberadaan guru PPPK ini akan dapat mengisi kekosongan guru pegawai negeri sipil (PNS). Kekosongan guru selama ini diisi guru honorer dengan sistem perekrutan dan penggajian yang tidak ada standarnya.
Namun, hingga batas waktu pengusulan formasi guru PPPK yang telah diperpanjang sampai 31 Desember 2020, baru terdapat 553.926 usulan formasi guru PPPK, yaitu usulan resmi dari 407 daerah dan komitmen dari 58 daerah. Belum semua daerah mengusulkan, padahal semua daerah kekurangan guru.
Kementerian Keuangan telah memastikan anggaran gaji dan tunjangan guru PPPK yang akan direkrut mulai 2021 ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui alokasi 25 persen dana alokasi umum atau dana bagi hasil. Namun, Pasal 5 Ayat 2 Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan PPPK menyebutkan, gaji dan tunjangan PPPK yang bekerja di instansi daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Beban gaji dan tunjangan guru PPPK pada APBD itu pula yang menjadi kendala penetapan 34.954 guru honorer yang lulus seleksi PPPK 2019. Penetapan mereka menunggu usulan formasi dari pemerintah daerah (pemda), yang berarti kesanggupan pemda membayar gaji dan tunjangan mereka. Hingga kini, baru 865 orang yang mendapat surat keputusan sebagai guru PPPK.
Pemerintah telah mengalokasikan 20 persen APBN untuk pendidikan. Dari Rp 492,5 triliun anggaran pendidikan pada 2019, misalnya, sebanyak Rp 308,38 triliun (62,62 persen) ditransfer ke daerah. Namun, Neraca Pendidikan Daerah pada 2019 menunjukkan, dari 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi, baru 26 daerah yang mengalokasikan anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen atau lebih.
Respons daerah yang berbeda-beda tentang kebijakan pendidikan tersebut dikhawatirkan juga berdampak pada manajemen guru PPPK nanti. Meskipun pemerintah menyatakan guru PPPK tidak bisa dihentikan kontraknya sewaktu-waktu, menurut Koordinator Nasional Perhimpunan Guru dan Pendidikan (P2G) Satriwan Salim, pilkada membuat fokus kepala daerah terpilih akan berubah dari kepala daerah sebelumnya.
Belum banyak cerita tentang ”pembangunan sumber daya manusia yang berkelanjutan” di daerah-daerah. Masih adanya pemda yang belum mengajukan usulan formasi guru PPPK juga menunjukkan pemda belum memahami betul secara utuh dan komprehensif substansi mengenai guru PPPK ini baik secara regulasi maupun manajemennya.
Kaderisasi
Kemudian dari sisi kaderisasi, menurut Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Heru Purnomo, akan ada masalah jika perekrutan guru PPPK ini tidak diikuti perekrutan guru PNS. Setiap tahun, puluhan ribu guru PNS pensiun. Tahun ini sebanyak 69.757 guru PNS pensiun dan pada tahun 2022 sebanyak 77.124 guru, beberapa di antaranya menduduki jabatan struktural, seperti kepala sekolah.
Guru PPPK tidak akan bisa menduduki jabatan struktural di bidang pendidikan karena dalam struktur ASN posisi manajerial hanya bisa diisi PNS. Ada potensi diskriminasi di sini.
Karena itu, kalangan guru berharap perekrutan guru PPPK ini tidak permanen. Jaminan bahwa pemerintah tetap akan membuka peluang formasi calon PNS untuk guru guna memenuhi kebutuhan posisi manajerial juga harus memberi kesempatan guru PPPK mengikuti seleksi ini.
Ketua Badan Kepegawaian Nasional Bima Haria Wibisana pada 5 Januari 2021 mengatakan, perekrutan 1 juta guru PPPK ini lebih karena kebutuhan mendesak untuk mengisi kekosongan guru dan menyelesaikan masalah guru honorer. Perekrutan guru PPPK juga dinilai akan mempermudah manajemen guru dan dapat secara signifikan meningkatkan kualitas layanan pendidikan.
Perekrutan guru selama ini yang tidak fokus ke pemilihan tenaga didik profesional, berdasarkan studi kualitatif Akademi Ilmuwan Muda Indonesia melalui Program RISE di Indonesia pada tahun 2020, memang menjadi penyebab signifikan rendahnya kualitas guru selama ini. Proses perekrutan guru sebagai bagian dari proses perekrutan ASN pada umumnya tidak memperhatikan kecakapan kerja yang dibutuhkan seorang guru profesional.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan guru adalah pendidik profesional. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Pekerjaan rumah masih banyak untuk ini, guru juga harus dikelola secara profesional mulai dari pemetaan kebutuhan guru, pendidikan calon guru, hingga peningkatan kompetensinya.
Uji kompetensi guru menunjukkan kualitas guru masih rendah, selain faktor input guru, ini menunjukkan pelatihan guru belum secara signifikan meningkatkan kompetensi guru. Sertifikasi pendidik yang menjadi jalan bagi guru untuk membuktikan prefesionalitasnya juga masih terkendala karena ada kuota. Data Kemendikbud menunjukkan, perlu waktu paling tidak 14 tahun untuk menyelesaikan sertifikasi guru dalam jabatan.