Kebanyakan Obat Tak Lebih Sehat
Obat ditujukan untuk meredakan ketidaknyamanan tubuh atau psikologis. Namun, minum obat secara tidak tepat memicu masalah kesehatan lain yang lebih berat.
Terlalu banyak minum obat tidak hanya memboroskan dana, tapi juga menyebabkan masalah kesehatan lain. Overmedikasi atau penggunaan obat secara berlebihan adalah ketika orang mengonsumsi lebih banyak obat dari yang dibutuhkan tubuh. Pengalaman penduduk di negara-negara maju perlu menjadi pelajaran.
Institut Nasional Penyalahgunaan Obat (NIDA) mencatat, warga Amerika Serikat menggunakan 75 persen obat resep dunia. Data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS, lebih dari sepertiga penduduk berusia 55 tahun ke atas minum lima jenis obat. Sembilan persen di antaranya mengonsumsi lebih dari 10 pil.
CDC dan Administrasi Makanan dan Obat-obatan (FDA) memperkirakan, pada 2014 hampir 1,3 juta orang masuk ruang gawat darurat di AS karena efek samping obat. Sekitar 124.000 di antaranya meninggal. Setengah dari kasus overmedikasi itu sebenarnya dapat dihindari.
Baca juga: Interaksi Obat Bisa Berdampak Positif ataupun Negatif, Pemantauan Diperlukan
Penggunaan obat resep berada pada titik tertinggi sepanjang sejarah Inggris. Meningkat 47 persen dalam dekade terakhir. Hampir setengah jumlah penduduk dewasa minum satu obat dan 25 persen penduduk setidaknya mengonsumsi tiga obat.
Di Kanada, menurut Canadian Institute for Health Information (CIHI), dua pertiga warga di atas 65 tahun minum lima atau lebih obat. Lebih dari 25 persen di antaranya mengonsumsi 10 obat atau lebih. Hampir 40 persen orang lanjut usia Kanada menggunakan obat-obatan yang berpotensi tidak tepat.
Sebagian besar obat ditujukan untuk mengobati dan mengelola gangguan kesehatan kronis kepada warga lansia. Namun, menurut Canada Safety Council, penggunaan beberapa obat secara simultan dapat menyebabkan efek samping merugikan dan interaksi yang tidak terduga. Apalagi, tubuh lansia memproses obat lebih lambat dan membutuhkan waktu lebih lama untuk membersihkan dari sistem.
Baca juga: Lansia Butuh Layanan Kesehatan Terintegrasi
Menurut Canadian Deprescribing Network, obat-obatan dianggap tidak tepat apabila potensi bahaya melebihi potensi manfaatnya.
Majalah Consumer Reports AS, 3 Agustus 2017, melaporkan bentuk-bentuk overmedikasi, antara lain, minum obat terlalu banyak seperti dialami Nicole Lamber dari Williamsburg, Virginia. Perempuan ini mengalami berbagai penyakit, termasuk ruam kulit, diare, gangguan lambung, kecemasan, akibat efek samping sejumlah obat, termasuk obat yang diresepkan untuk mengobati efek samping dari obat awal, yakni alprazolam yang diresepkan dokter saat mengalami stres dalam pekerjaan pertamanya.
Risiko efek samping meningkat secara eksponensial setelah seseorang minum empat atau lebih obat.
Dalam beberapa kasus, beberapa obat sepenuhnya sesuai. Tetapi, ketika jumlahnya menumpuk, harus hati-hati. ”Risiko efek samping meningkat secara eksponensial setelah seseorang minum empat atau lebih obat,” kata Michael Hochman dari Fakultas Kedokteran Universitas Southern California, AS.
Penyebab lain, minum obat yang tidak diperlukan. Contohnya, Jeff Goehring dari Waukesha, Wisconsin, menderita stroke setelah minum testosteron yang diresepkan dokter untuk mengatasi kelelahan.
Menurut Steven Woloshin, Guru Besar di Institut Kebijakan Kesehatan dan Praktik Klinis Dartmouth, pada kebanyakan pria, testosteron menurun secara alami seiring bertambahnya usia. ”Penelitian menunjukkan bahwa mengonsumsi obat-obatan sebagai kompensasi memiliki sedikit atau tidak ada manfaat, dan beberapa risiko serius,” katanya.
Obat testosteron disetujui oleh FDA hanya untuk pria dengan hipogonadisme (tingkat testosteron sangat rendah). Biasanya disebabkan oleh infeksi, cedera, atau masalah kesehatan lain.
Overmedikasi bisa juga karena minum obat sebelum waktunya. Seorang perawat, Diane McKenzie dari Alsip, Illinois, diare dan muntah akibat efek samping obat metformin yang diresepkan dokter untuk pradiabetes. McKenzie menghentikan konsumsi obat dan mengendalikan kadar gula darah tanpa obat dengan cara menurunkan berat badan serta olahraga teratur.
Gejala
Gejala overmedikasi sulit dikenali. Yang umum adalah kelelahan, kurang tenaga, perut kembung, nyeri tubuh, gangguan keseimbangan dan keterampilan motorik, ruam kulit, kenaikan atau penurunan berat badan tanpa sebab jelas, perubahan suasana hati, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, kebingungan, tidak mampu berpikir rasional, mengalami psikosis, halusinasi, delusi, mengalami gejala putus obat jika tidak minum.
Vinay Prasad, asisten Guru Besar di Oregon Health & Science University, menyatakan, banyak orang dan dokter di AS berpikir bahwa setiap gejala, setiap tanda penyakit, memerlukan obat.
Padahal, penelitian tahun 2015 di Lancet Diabetes & Endocrinology menyatakan, bagi orang-orang dengan pradiabetes, olahraga teratur ditambah diet rendah kalori dan rendah lemak mampu mengurangi kejadian diabetes tipe 2 sebesar 27 persen, sedangkan metformin hanya menurunkan 18 persen.
Karena itu, di AS, Inggris, dan negara-negara maju, mulai ada gerakan de-prescribing atau mengurangi peresepan obat dan mengganti dengan edukasi gaya hidup sehat. Seperti yang dilakukan Ranit Mishori, Guru Besar Kedokteran Keluarga Fakultas Kedokteran Universitas Georgetown di Washington DC, dan Victoria Sweet, dokter dan penulis buku Slow Medicine: The Way to Heal yang intinya, dokter perlu meluangkan waktu untuk memahami apa yang membuat orang sakit, termasuk obat-obatan dalam beberapa kasus, dan memberi kesempatan tubuh untuk sembuh.
American College of Physicians (ACP) menyarankan dokter untuk mencoba pendekatan nondrug (tanpa obat) terlebih dulu untuk kondisi tertentu. Misalnya, merekomendasikan pijat, terapi tulang belakang, atau pilihan tanpa obat lain untuk sakit punggung. Pengaturan pola makan dan olahraga untuk mengatasi pradiabetes.
Hal serupa dikemukakan Aseem Malhotra, konsultan ahli jantung Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris dan Guru Besar tamu Kedokteran Berbasis Bukti di Sekolah Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat Bahiana, Brasil, di the Guardian, 30 Agustus 2018.
Menurut dia, kebanyakan pasien tidak memperoleh perbaikan kesehatan dari obat. Dokter harus mengatasi akar penyebab penyakit dan mengedukasi perubahan gaya hidup. Hal ini tak hanya mengurangi risiko penyakit di masa depan, tapi juga berefek positif pada kualitas hidup. Penggunaan obat harus mengikuti prinsip-prinsip pengobatan berbasis bukti yang benar dan ketat.
Baca juga: Aplikasi untuk Mempermudah Manajemen Pasien Geriatri
Bagi awam, demikian laman Fakultas Kedokteran Universitas Calgary, Kanada, perlu proaktif untuk menghindari overmedikasi. Minta dokter atau apoteker meninjau daftar obat yang sedang dikonsumsi untuk menghindari duplikasi, kesalahan dosis, interaksi yang berpotensi berbahaya, dan resep yang tidak perlu. Setiap kali menerima resep baru, tanyakan apakah ada interaksi dengan obat lain yang sedang dikonsumsi.
Selain itu, mengadopsi gaya hidup sehat untuk mengurangi ketergantungan pada obat-obatan. Obat untuk diabetes, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi dan kondisi kesehatan mental, sering kali dapat dikurangi atau dihilangkan dengan pola makan sehat dan aktivitas fisik yang teratur.