Anggota Komisi Hukum DPR Arteria Dahlan mengatakan, polisi, jaksa, dan hakim semestinya tidak bisa ditangkap dalam operasi tangkap tangan karena mereka adalah simbol negara.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Operasi tangkap tangan yang kerap dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi mulai ditawar. Ada usulan agar ada pemberitahuan terlebih dahulu.
Ada juga usulan agar penegak hukum tidak dijadikan target operasi tangkap tangan (OTT) karena mereka simbol negara. Bupati Banyumas Achmad Husein, sebagaimana dikutip sejumlah media, meminta agar sebelum OTT dilakukan, seyogianya KPK memanggil pejabat yang jadi target operasi.
”Kalau ternyata dia berubah, ya sudah, lepas gitu lho. Tapi kalau kemudian tak berubah, baru ditangkap, Pak,” kata Husein.
Anggota Komisi Hukum DPR Arteria Dahlan mengatakan, polisi, jaksa, dan hakim semestinya tidak bisa ditangkap dalam operasi tangkap tangan karena mereka adalah simbol negara. Pernyataan Arteria itu kemudian diluruskan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto sebagai keseleo lidah.
Gagasan mengenai hakim, polisi, dan jaksa tak ditangkap dalam sebuah operasi tangkap tangan mengingkari prinsip kesamaan di muka hukum. Pasal 27 UUD 1945 menegaskan, setiap warga negara punya kedudukan yang sama di muka hukum. Bahkan, pernyataan bahwa polisi, jaksa, dan hakim adalah simbol negara rasanya juga kurang pas karena justru menempatkan mereka sebagai warga negara istimewa.
Sebelum Undang-Undang (UU) KPK direvisi, kewenangan KPK menyadap membuat banyak pihak gerah. Kewenangan menyadap diberikan DPR. Namun, ketika KPK menyadap anggota DPR, sejumlah wakil rakyat marah dan berniat mencabut pedang penyadapan. Dalam perkembangannya, UU KPK direvisi dan kewenangan menyadap serta melakukan OTT perlu mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK.
Gagasan memberikan ”imunitas” kepada penegak hukum serta permintaan pemberitahuan sebelum OTT merupakan langkah mundur pemberantas korupsi. Sejarah menunjukkan KPK didesakkan oleh kelompok antikorupsi setelah Orde Baru berakhir, karena maraknya korupsi dan belum bersihnya para penegak hukum. Itu adalah semangat reformasi.
Kini, perlawanan melawan korupsi mulai melemah. UU KPK direvisi. Dihadirkan Dewan Pengawas KPK. Sejumlah elite politik menghendaki agar KPK tidak agresif lagi menindak penyelenggara negara yang korup. Arah baru pemberantasan korupsi negeri ini menggunakan pendekatan baru, yakni pencegahan. KPK menjadi Komisi Pencegah Korupsi.
Gagasan mengenai hakim, polisi, dan jaksa tak ditangkap dalam sebuah operasi tangkap tangan mengingkari prinsip kesamaan di muka hukum.
Apa yang disampaikan Bupati Banyumas sebenarnya sudah dilakukan. Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dinyatakan bersalah oleh Dewan Pengawas KPK karena memberikan informasi kepada Wali Kota Tanjungbalai. Ketika korupsi menjadi endemi bangsa ini, justru perilaku dan ucapan elite kian permisif.
Boleh jadi benar apa yang ditulis Sindhunata dalam pengantar hukum Negara di Simpang Jalan (2021), bahwa korupsi telah bersarang dalam batin orang dan menjadi kegiatan bawah sadar yang tidak bisa dikontrol rasio. Pemahaman sejumlah elite seperti di atas jelas tidak menolong bangsa ini dalam perang melawan korupsi.