Pemerintah akan memberlakukan pengenaan pajak natura yang disediakan perusahaan kepada karyawannya. Kendati secara konseptual terjustifikasi, pemungutan pajak natura tak lepas dari sejumlah persoalan fundamental.
Oleh
HARYO KUNCORO
·4 menit baca
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah disahkan. Dari sekian banyak perubahan regulasi, pajak natura agaknya patut memperoleh perhatian tersendiri. Pasalnya, pemerintah akan memberlakukan pengenaan pajak natura yang disediakan perusahaan kepada karyawannya.
Sejauh ini, pemberian natura (dalam bentuk barang/jasa atau fasilitas) tak dianggap sebagai penghasilan karyawan sehingga tak ada standar besaran pajak yang berlaku. Demikian pula, natura pada prinsipnya juga tidak dapat diklaim sebagai komponen beban biaya bagi perusahaan.
Dengan kekosongan aturan itu, banyak praktik yang menyiasati tanpa bisa dicap sebagai pelanggaran. Perusahaan memberi berbagai macam natura yang diambil dari laba usaha. Laba usaha yang berkurang berefek pada pembayaran pajak usaha yang lebih rendah dari yang semestinya harus disetor ke negara.
Faktanya, perusahaan sudah banyak mengeluarkan natura dalam berbagai variasinya. Karyawan penerima juga memperoleh manfaat atas natura itu. Bahkan, karyawan penerima natura sangat boleh jadi mendapat tambahan kemampuan secara ekonomi. Intinya, ada kebutuhan pengakuan atas eksistensi penghasilan natura.
Alhasil, masuk akal apabila kemudian pemerintah akan memungut pajak atas natura yang disediakan perusahaan. Pemberian natura akan dihitung sebagai penghasilan karyawan atau dapat juga dibebankan sebagai biaya bagi perusahaan. Artinya, status yuridis penghasilan natura menjadi jelas.
Oleh karena itu, pemajakan natura bisa menjadi jalan tengah yang kompromistis. Penarikan pajak natura bisa meminimalkan perselisihan siapa wajib pajak (WP) akhir. Dengan atribut sebagai penghasilan, karyawan wajib pajak akan membayar sesuai dengan ketentuan. Beban biaya pajak perusahaan pun juga akan berkurang.
Persoalan fundamental
Kendati secara konseptual terjustifikasi, pemungutan pajak natura tak lepas dari sejumlah persoalan fundamental. Dalam perspektif teoretis, natura adalah salah satu bentuk penghasilan (fringe benefit). Bentuk fringe benefit yang diberikan secara universal kepada semua karyawan perusahaan adalah gaji/upah.
Dalam bentuk yang spesifik, fringe benefit dipahami sebagai tambahan kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan di luar gaji/upah. Komponen gaji/upah bagi karyawan kualifikasi tertentu dipandang sudah pada level yang ”tinggi” sehingga kompensasi tak melulu diberikan dalam bentuk uang.
Kompensasi barang/jasa atau fasilitas lain dikenal luas sebagai penghasilan natura tadi. Oleh karena itu, perusahaan pada umumnya memberikan natura hanya bagi karyawan di tingkat eksekutif, seperti asuransi, tunjangan kesehatan, bantuan pendidikan, fasilitas rumah, mobil, dan sejenisnya, bahkan opsi saham.
Alhasil, perusahaan menggunakan instrumen fringe benefit sebagai satu cara untuk memotivasi, meningkatkan kepuasan, mendorong produktivitas, dan mempertahankan orang-orang berkualitas tinggi di perusahaannya. Ringkasnya, fringe benefit ditujukan untuk menjaga loyalitas, alih-alih untuk menambah penghasilan.
Dalam konteks ini, klaim bahwa karyawan penerima natura mendapat tambahan kemampuan bisa diperdebatkan. Natura berwujud barang konsumsi tak memberikan aliran pendapatan dalam bentuk uang. Sementara pembayaran pajak natura tetap menggunakan uang. Artinya, beban finansial penerima natura malah bertambah.
Natura berwujud barang konsumsi tak memberikan aliran pendapatan dalam bentuk uang. Sementara pembayaran pajak natura tetap menggunakan uang.
Kalaupun pajak natura barang konsumsi ditanggung oleh perusahaan, persoalan tak berhenti sampai di sini. Problem frekuensi pemajakan akan muncul. Natura barang konsumsi yang diberikan dalam bentuk produk tak habis pakai, misalnya, semestinya dipajaki satu kali saat diberikan. Artinya, produk tak habis pakai tadi telah bergeser menjadi aset.
Cerita akan sedikit berbeda jika natura diberikan dalam bentuk barang modal. Natura tersebut bisa dipajaki pada saat diberikan. Pemajakan berikutnya secara periodik bisa dilakukan hanya terhadap aliran pendapatan yang dihasilkan dari barang modal, alih-alih terhadap barang modalnya itu sendiri.
Persoalan di sektor privat di atas agaknya bakal terjadi pula di sektor publik. Pengecualian pajak natura yang bersumber dari belanja APBN/APBD/APBDes niscaya menimbulkan standar ganda. Sementara pendapatan dalam bentuk uang terkena Pajak Penghasilan (PPh), natura justru tak dipajaki.
Keduanya toh memiliki sumber keuangan yang sama, yakni APBN/APBD/APBDes. Agar konsistensi terpelihara, natura (yang sejak awal akan diaku sebagai penghasilan) yang bersumber dari APBN/APBD/APBDes semestinya tetap terkena pajak, meski kemudian PPh uang dan PPh natura ditanggung pemerintah.
Terlepas dari sektor privat atau sektor publik, sudah merupakan kelaziman natura insidental diberikan sebagai imbalan prestasi. Untuk kasus penghargaan prestasi semacam ini, otoritas pajak harus bijak. Penyamarataan pajak natura tanpa mempertimbangkan asal mula natura diberikan akan berefek bumerang.
Penyamarataan pajak natura tanpa mempertimbangkan asal mula natura diberikan akan berefek bumerang.
Dengan konfigurasi problematika di atas, otoritas pajak perlu memberi batasan lugas atas natura yang menjadi obyek pajak. Kriteria barang konsumsi dan barang modal harus clear. Natura dalam bentuk hadiah atau tunjangan diperlakukan berbeda dengan natura yang berbentuk fasilitas. Alhasil, penghasilan natura tidak kehilangan fleksibilitas fungsi.
Jika obyek pajak sudah teridentifikasi, transparansi penghitungan pajak natura atas dasar harga pasar yang wajar (fair) mutlak menjadi acuan utama. Pajak ganda atas obyek yang sama harus dihindari agar dalam implementasinya tak menimbulkan perselisihan. Perselisihan pajak toh selalu berawal dari ketidakadilan.
Pada akhirnya, pemulihan penerimaan negara yang menjadi spirit UU HPP, termasuk pajak natura, mampu membawa perbaikan ekonomi ke depan. Alhasil, peningkatan penerimaan pemerintah bisa sejalan dengan penguatan fungsi alokasi, stabilisasi, dan distribusi yang diemban oleh belanja negara.
(Haryo Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic and Educational Business Institute) Jakarta, Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara ISEI Pusat)