Membaca UU HPP setebal 224 halaman itu, dan terdiri dari 9 bab dan 59 pasal, terasa kehendak pemerintah untuk semakin mengoptimalkan pendapatan dari pajak mulai tahun 2022.
Oleh
REDAKSI
Β·3 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menunduk memberi hormat kepada anggota DPR seusai menyampaikan pandangan pemerintah mengenai disahkannya RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10/2021).
Pemerintah dan DPR pada 7 Oktober lalu menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. RUU itu juga telah diundangkan.
Juga tanpa kegaduhan, RUU itu diundangkan oleh Presiden Joko Widodo pada 29 Oktober 2021, menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Penyusunan UU HPP memakai mekanisme omnibus law, yakni pengaturan kembali sejumlah undang-undang melalui satu undang-undang, seperti yang terjadi pada UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Membaca UU HPP setebal 224 halaman itu, dan terdiri dari 9 bab dan 59 pasal, terasa kehendak pemerintah untuk semakin mengoptimalkan pendapatan dari pajak mulai tahun 2022. UU ini berisikan ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), program pengungkapan sukarela, pajak karbon, dan cukai.
Publik cenderung membiarkan pembahasan UU ini karena lebih dari 1,5 tahun terakhir bergulat dengan pandemi Covid- 19. Mungkin juga tak peduli sebab UU HPP lebih mengarah pada optimalisasi pendapatan pajak, terutama pada warga yang mapan secara ekonomi, atau yang kurang patuh melaksanakan kewajiban perpajakannya. Untuk warga berpenghasilan rendah dan menengah, yang terkena tarif PPh terendah 5 persen dinaikkan dari penghasilan setelah bebas pajak Rp 50 juta per tahun menjadi Rp 60 juta. Penghasilan tak kena pajak tetap. Warga dengan penghasilan Rp 5 miliar per tahun atau lebih pada tahun depan dikenai PPh sebesar 35 persen.
Pemerintah dan Dewan juga sepakat dalam UU HPP tak ada perubahan tarif PPh badan usaha tetap atau perusahaan, dan tetap sebesar 22 persen. Angka ini sesungguhnya lebih rendah daripada rata-rata PPh badan usaha di negara anggota ASEAN atau di negara maju lainnya. Warga atau badan usaha di dalam negeri yang tak mematuhi kewajiban pajak itu mulai tahun depan akan diburu dan dipaksa membayar.
Seperti diberitakan, Indonesia menjalin kerja sama dengan otoritas pajak 13 negara untuk menagih tunggakan pajak orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Ketiga belas negara itu ialah Aljazair, Amerika Serikat, Armenia, Belanda, Belgia, Filipina, India, Laos, Mesir, Suriname, Jordania, Venezuela, dan Vietnam.
Kesepakatan dengan ke-13 negara itu merupakan bagian dari program asistensi penagihan pajak global. Otoritas negara itu akan membantu menagih (Kompas, 8/11/2021). Sebagian besar negara itu bukanlah tujuan utama pelarian pelaku kejahatan ekonomi di negeri ini, termasuk penghindar pajak.
Kementerian Keuangan memproyeksikan pendapatan negara mencapai Rp 1.846,1 triliun pada tahun 2022, yang terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 1.510 triliun dan penerimaan negara bukan pajak Rp 335,6 triliun. Defisit anggaran 3 persen. Untuk mencapai target itu, Menteri Keuangan dalam UU HPP itu dimungkinkan meminta kepada Jaksa Agung untuk menghentikan penyidikan atas wajib pajak yang akhirnya patuh.
Aroma yang penting pendapatan negara dari pajak meningkat terasa dalam UU HPP. Hukum bisa dikompromikan.