Menimbang Penerimaan Pajak di Tengah Pemulihan Ekonomi
Melalui RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pemerintah menggodok sejumlah skenario pemulihan ekonomi melalui strategi konsolidasi fiskal dengan fokus perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak.
Pandemi Covid-19 menambah tantangan bagi tercapainya target penerimaan pajak sebagai penopang utama pendapatan negara. Berbagai strategi ditempuh pemerintah untuk meningkatkan ruang fiskal. Momentum perbaikan ekonomi diharapkan tetap terjaga.
Merebaknya pandemi Covid-19 dalam 14 bulan terakhir di Tanah Air tak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat. Pandemi juga memberikan pukulan telak bagi perekonomian nasional. Sejak Maret 2020 lalu, aktivitas ekonomi terganggu sejalan dengan kebijakan pembatasan sosial di Indonesia.
Dampaknya, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020 menukik tajam hingga terkontraksi 2,07 persen. Padahal selama periode 2015-2019, laju pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata lima persen.
Bahkan hingga kuartal I-2021, laju pertumbuhan ekonomi nasional masih tumbuh negatif, sebesar minus 0,74 persen, kendati trennya mulai menipis. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sumber kontraksi perekonomian pada kuartal I-2021 ini berasal dari komponen konsumsi rumah tangga yang anjlok hingga 2,23 persen secara tahunan.
Setali tiga uang dengan laju pertumbuhan ekonomi, kinerja perpajakan selama pandemi juga menurun sejalan dengan aktivitas ekonomi nasional yang lesu. Sebab, besar atau kecilnya setoran pajak sangat bergantung dari kemampuan ekonomi, yaitu penghasilan dan daya beli pembayar pajak.
Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak sepanjang tahun 2020 anjlok hingga minus 19,7 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari Rp 1.332,7 triliun menjadi Rp 1.070 triliun. Dengan hasil itu, kekurangan pajak atau shortfall pada tahun lalu sebesar Rp 128,8 triliun atau 10,7 persen terhadap target.
Seluruh jenis penerimaan pajak tahun lalu mengalami kontraksi akibat pandemi Covid-19. Kinerja penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) badan paling terpukul, yakni anjlok hingga minus 37,8 persen (yoy). Sementara itu, kinerja Pajak Pertambahan Nilai (PPN) turun di kisaran minus 13,4 persen (yoy).
Untuk tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.229,58 triliun dalam APBN 2021. Dari target itu, penerimaan pajak sampai akhir April 2021 telah mencapai Rp 374,9 triliun atau 30,5 persen dari target dalam APBN 2021.
Meskipun secara keseluruhan masih terkontraksi, sejumlah segmen mulai menunjukkan pemulihan. Segmen yang mulai pulih itu, antara lain PPh badan dan PPN. PPh badan tumbuh 0,48 persen, sementara PPN dalam negeri tumbuh 0,8 persen.
Adapun perlemahan paling dalam adalah realisasi penerimaan pajak dari sektor perdagangan Rp 73,92 triliun atau turun 4,83 persen, serta sektor transportasi dan pergudangan Rp 16,97 triliun atau turun 2,95 persen.
Faktor penyebab
Seretnya kinerja penerimaan pajak tersebut tak lepas dari beragam sebab. Turunnya aktivitas ekonomi akibat pandemi Covid-19 dinilai paling berdampak pada turunnya potensi penerimaan pajak.
Pandemi membuat perekonomian dalam negeri dipenuhi ketidakpastian, sehingga turut mengganggu setoran pajak. Lebih lagi, pembatasan kontak fisik membatasi pula upaya pemerintah untuk melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak.
Begitu pula dengan berbagai insentif pajak yang diberikan pemerintah, turut memengaruhi kinerja penerimaan pajak dari tahun lalu hingga kuartal I-2021. Menurut data dari Kementerian Keuangan, insentif bagi dunia usaha dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada 2020 tercatat sebesar Rp 56,12 triliun.
Secara rinci, insentif perpajakan pada tahun lalu diberikan kepada Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan dunia usaha yang terimbas pandemi. Insentif diberikan dalam bentuk PPh Final UMKM dan PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), percepatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN), angsuran sebesar 50 persen PPh Pasal 25, dan pembebasan PPh 22 Impor. Pajak sebagai instrumen fiskal pada tahun ini lebih ditekankan pada fungsinya sebagai regulerend.
Selain insentif pajak bagi dunia usaha, pemerintah juga memberikan fasilitas pajak penghasilan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam rangka penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi melalui PP Nomor 29 Tahun 2020.
Melalui program yang sama tahun ini, pemerintah menganggarkan insentif bagi dunia usaha sebesar Rp 56,73 triliun. Dana tersebut dialokasikan untuk insentif PPh 21 dengan skema ditanggung pemerintah, PPh 22 Impor, pengurangan angsuran PPh 25, PPnBM, dan insentif lainnya. Dari pagu anggaran tersebut, anggaran sudah terealisasi hingga per 11 Juni 2021 sebesar Rp 41,37 triliun atau setara 72,9 persen.
Kendati pemberian insentif pajak bertujuan untuk memberikan tambahan likuiditas, produktivitas, serta daya beli para wajib pajak (WP), namun besarnya insentif yang digelontorkan itu akan menggerus penerimaan pajak.
Selain itu, turunnya penerimaan pajak dipengaruhi pula oleh turunnya rasio pajak. Pada 2020, rasio penerimaan pajak terhadap perekonomian nasional (tax ratio) hanya 8,3 persen. Sejak 2017, rasio pajak Indonesia di bawah 10 persen, lebih rendah dari rerata negara di kawasan Asia Tenggara sekitar 14 persen. Sementara untuk tahun ini, berdasarkan APBN 2021, rasio perpajakan dipatok di angka 8,18 persen.
Rasio pajak yang rendah ini menjadi catatan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Dalam laporan OECD Economic Outlook, December 2020, OECD menyebutkan, penerimaan pajak Indonesia yang masih rendah menghambat reaksi kebijakan fiskal pemerintah selama masa pandemi Covid-19.
Momentum pemulihan ekonomi
Kendati perekonomian masih terkontraksi, namun tren pemulihan ekonomi diyakini akan terus berlanjut. Berbagai indikator kondisi ekonomi menunjukkan sinyal perbaikan sekaligus harapan akan tumbuhnya penerimaan pajak.
Di sisi pengeluaran, seluruh komponen pertumbuhan ekonomi mulai menunjukkan tren penguatan. Di kuartal I-2021, konsumsi pemerintah tumbuh positif sebesar 2,96 persen, ekspor tumbuh 6,74 persen, dan impor tumbuh 5,27 persen.
Adapun konsumsi rumah tangga dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) masih terkontraksi kendati mulai membaik secara bertahap. Masing-masing tumbuh sebesar negatif 2,2 persen dan negatif 0,23 persen pada kuartal I-2021.
Pemulihan ekonomi juga berdampak pada terciptanya lapangan pekerjaan. Sedangkan tingkat pengangguran turun dari 7,07 persen di bulan Agustus 2020 menjadi 6,26 persen di bulan Februari 2021.
Purchasing Managers\' Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada April 2021 tercatat sebesar 54,6. Hal itu menunjukkan terjadinya ekspansi selama enam bulan berturut-turut dan merupakan rekor tertinggi baru selama dua bulan berturut-turut.
Peningkatan aktivitas manufaktur nasional itu didorong oleh adanya permintaan baru dan pada April 2021 permintaan dari luar negeri mulai pulih setelah dalam 17 bulan terakhir dalam zona kontraktif.
Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) pada April 2021 kembali ke level optimis, yakni sebesar 101,5. Hal itu tercermin dari jumlah frekuensi dan nilai yang ditransaksikan sehingga menandakan peningkatan ekspektasi konsumen kepada kondisi ekonomi ke depan yang optimistis.
Tak hanya itu, aktivitas investasi turut menunjukkan pemulihan, yaitu melalui indikasi meningkatnya impor bahan baku dan barang modal masing-masing 10,2 persen dan 11,5 persen pada kuartal I 2021 serta impor bahan baku dan barang modal yang sudah tumbuh positif.
Selaras dengan mulai pulihnya aktivitas ekonomi nasional tersebut, hal ini tentu menjadi sinyal positif bahwa penerimaan pajak diharapkan bakal tumbuh positif di akhir tahun ini.
Reformasi Perpajakan
Sejalan dengan pemulihan ekonomi tersebut, pemerintah berupaya mengoptimalkan penerimaan pajak dengan melakukan reformasi fiskal di bidang perpajakan. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani seperti dikutip dari Kompas (21/5/2021), reformasi dilakukan untuk menciptakan sistem perpajakan yang efektif sebagai instrumen kebijakan, optimal sebagai sumber pendapatan, serta adaptif dengan perubahan struktur dan dinamika perekonomian.
Reformasi perpajakan tersebut meliputi dua aspek, yaitu administratif dan kebijakan. Dari sisi administrasi, pemerintah akan melakukan penguatan institusi dan sumber daya manusia, integrasi sistem informasi dan basis data perpajakan, simplifikasi administrasi serta penajaman fungsi pengawasan untuk ekstensifikasi-intensifikasi perpajakan.
Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak sepanjang 2020 turun hingga minus 19,7 persen jika dibandingkan 2019
Sedangkan, untuk perbaikan kebijakan akan diarahkan untuk perluasan basis perpajakan dan mencari sumber baru penerimaan. Hal tersebut dilakukan dengan menyempurnakan pemungutan PPN dan mengurangi regresivitasnya, penguatan kebijakan pengenaan pajak penghasilan khususnya bagi orang pribadi, serta potensi pengenalan jenis pungutan baru khususnya terkait pemajakan eksternalitas terhadap lingkungan.
Untuk itu, pemerintah sedang mengajukan draf Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) sebagai perubahan kelima atas UU Nomor 6 Tahun 1983 yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Kendati dokumen ini belum resmi dibahas, namun sudah beredar luas di publik.
Baca juga: Simalakama Kebijakan Insentif Pajak
Dalam butir pertimbangan pada draf itu dijelaskan, skenario ini dilakukan demi pemulihan ekonomi melalui strategi konsolidasi fiskal dengan fokus perbaikan defisit anggaran dan peningkatan tax ratio. Peningkatan penerimaan pajak dirancang melalui sistem yang mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan, selain perbaikan administrasi yang konsolidatif serta peningkatan kepatuhan.
Segala upaya dan skenario meliputi perubahan tarif PPN, pungutan terkait lingkungan, pengurangan tarif PPh badan, PPN barang jasa, pajak penjualan atas barang mewah, UU Cukai, dan carbon tax merupakan langkah untuk mencapai target penerimaan pajak sebagai penopang utama pendapatan negara. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Pajak Terhambat Covid-19 dan Tekanan Ekonomi Global