Melalui karya sastra, seniman ataupun sastrawan berupaya mengetuk hati masyarakat bahwa hal yang paling dibutuhkan para penderita delusi kejiwaan adalah pengakuan sebagai warga negara yang punya hak dan kewajiban sama.
Oleh
EENG NURHAENI
·5 menit baca
Anggota Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor pernah menyatakan bahwa penderita skizofrenia sangat membutuhkan dukungan orang terdekat mereka, baik keluarga maupun teman sejawat. Kehadiran dan perhatian keluarga penting sekali bagi penderita skozofrenia. Mereka diharapkan sabar dan teguh mendampinginya (Kompas, 30 Oktober 2021).
Hal ini mengingatkan kita kepada tokoh utama dalam novel Pikiran Orang Indonesia, Haris, yang kemudian mengalami proses penyembuhan berkat dukungan keluarga yang secara intensif mendampinginya. Adapun dukungan paling mudah yang bisa diberikan publik ialah dengan memandangnya sebagai manusia normal dan tidak menganggapnya sebagai penderita delusi kejiwaan. Selain itu, penderita harus juga diberi keyakinan bahwa penyakitnya dapat disembuhkan.
Pada 2018, Kementerian Kesehatan menyampaikan rilis mengenai riset dasar kesehatan warga negara Indonesia. Hasilnya cukup mengagetkan, tujuh dari 1.000 rumah tangga di Indonesia memiliki penderita delusi skizofrenia. Itu artinya, kalau di suatu desa itu terdapat 500 keluarga, berarti ada 3-4 orang penderita skizofrenia. Jumlah yang cukup fantastik.
Karena itu, bisa kita pahami ketika novel yang mengungkap gambaran sang penderita skizofrenia, diberi judul (oleh penulisnya) sebagai Pikiran Orang Indonesia. Dalam acara peluncuran bukunya di Pesantren Al-Bayan (2015), Rangkasbitung, Banten, penulis menceritakan proses kreatifnya selama beberapa tahun mengadakan penelitian historical memories yang diselenggarakan oleh Yayasan Lontar dan Yayasan Sejarah Budaya Indonesia (YSBI) di Belanda.
Penelitian itu terfokus pada upaya pendekatan dan wawancara dengan ratusan korban politik Orde Baru, baik yang pernah dipenjarakan maupun yang dibuang di Pulau Buru. Kegiatan ini didukung oleh Goenawan Mohamad, Asvi Warman Adam, Hermawan Sulistiyo, dan Hersri Setiawan.
Tokoh utama dalam novel Pikiran Orang Indonesia dipandang sewajarnya oleh pihak keluarga, hingga tak memicu stigma negatif yang kelak menghambat pemulihannya. Di bawah penanganan sang psikiater, Dokter Andi, si pasien dibimbing untuk menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk puisi dan cerpen, sejenis dengan pameran lukisan ”Dramaturgi Skizofrenia” yang dilaksanakan di lantai empat gedung Perpustakaan Nasional sejak tanggal 15 Oktober hingga 4 November 2021.
Lebih peka dan peduli
Ada sekitar delapan pelukis yang terlibat dalam pameran di Perpusnas tersebut. Pameran seni lukis itu dimaksudkan untk mengetuk hati masyarakat supaya lebih peka dan peduli bahwa stigma ”gila” yang disandang para penderita skizofrenia masih terus berlangsung di tengah masyarakat kita. Stigma itu membuat kebanyakan orang mudah berprasangka buruk, lalu mengambil jarak yang tidak semestinya, hingga kemudian sulit memahami bahwa gangguan kejiwaan ini sebenarnya bisa disembuhkan.
Ironisnya, setelah seminggu pameran berlangsung, masih banyak orang (bahkan tergolong mahasiswa, akademisi, dan seniman) yang merasa takut dan tak berani mendekati para pelukis. Pemahaman ini seakan sudah mengurat-mengakar di kalangan umum bahwa mereka sudah kadung distigma ”orang gila”. Alasannya, karena penderita skizofrenia diselubungi waham bahwa dirinya seorang wali atau nabi, atau merasa dirinya dikejar-kejar dan dicelakai, hingga kemungkinan ia marah atau mengamuk dan seterusnya.
Terkait dengan ini, novel Pikiran Orang Indonesia sebenarnya telah mengupayakan sosialisasi perihal sang tokoh utama (Haris) berikut keterlibatan keluarga yang membawa Haris ke psikiater (Dokter Andi). Kemudian, Dokter Andi secara rutin memberi obat yang tepat hingga kondisi Haris terus membaik. Jika mendapat penanganan (treatment) yang memadai, sangat jarang penderita skizofrenia yang kemudian mengamuk hingga sulit ditangani oleh para dokter.
Haris dapat disembuhkan oleh Dokter Andi meskipun pada awalnya ia terganggu secara emosional karena kadar dopamin yang berlebihan pada otaknya. Haris juga pernah dicekam oleh rasa cemas dan takut yang berlebihan, tetapi kemudian ia pulih kembali setelah mengonsumsi obat yang tepat secara rutin.
Setelah dinyatakan pulih, Haris kembali hidup normal dan mampu hidup produktif. Akan tetapi, yang paling dibutuhkan Haris dan para penderita delusi kejiwaan dalam bentuk apa pun, tentu adalah pengakuan sebagai warga negara Indonesia yang punya hak dan kewajiban yang sama dengan orang lain.
Setelah dinyatakan pulih, Haris kembali hidup normal dan mampu hidup produktif.
Berbeda dengan novel berikutnya, Jenderal Tua dan Kucing Belang (2021), Hafis Azhari menggambarkan seorang penderita psikopat dengan kepribadian yang penuh kharismatik. Sang tokoh lebih cenderung memiliki perilaku yang impulsif hingga bersikap antisosial. Ia pintar memanipulasi situasi dan kondisi untuk mendapatkan kepercayaan publik meski bersikap laiknya orang normal, hangat dan memesona.
Banyak orang tidak menyadari bahwa tidak sedikit sosok manusia yang memiliki kecenderungan sifat ini di lingkungannya. Mereka melakukan hal yang bersifat amoral, bahkan tindak kriminal tanpa ada penyesalan dan rasa bersalah. Ia memiliki ketergantungan pada orang lain, tetapi lebih bersifat manipulatif, eksploitatif, serta gemar memanfaatkan orang lain guna memenuhi segala ambisi dan keinginannya.
Hafis telah mengadakan penelitian bertahun-tahun dalam program historical memory, bahwa persoalan itu harus didobrak dan dientaskan dari memori kolektif manusia Indonesia. Semua itu adalah warisan dari kekuasaan rezim Orde Baru. Manusia Indonesia telah distigma dan dibikin takut oleh makhluk dan oleh tiga huruf (PKI).
”Kita semua tahu bahwa takut pada makhluk itu tak lain dan tak bukan adalah frekuensi Iblis. Melalui novel Pikiran Orang Indonesia, saya ingin membongkar memori kolektif kita semua. Sebagai penulis dan sastrawan, kalian jangan mau ditakut-takuti karena takut itu memasung imajinasi dan takut itu, sekali lagi, frekuensinya iblis. Penguasa yang zalim di masa Orde Baru lebih menyuburkan ketakutan massa ketimbang menentramkan rakyatnya,” kata Hafis Azhari dalam acara bedah bukunya di Pesantren Al-Bayan yang dihadiri oleh kalangan mahasiswa Banten, seniman, para santri, ulama, dan tokoh masyarakat.
Namun, sebagaimana umumnya karya-karya Hafis yang berbeda dengan Eka Kurniawan, ia menghendaki kemaslahatan dalam akhir cerita. Tak mau menciptakan kegaduhan-kegaduhan baru. Meskipun mengakui ada chaos melalui perjalanan hidup salah seorang tokoh, ia menolak absurditas hidup dalam kesenyawaan dan keseluruhan jalan cerita. Dengan sendirinya, ia tidak menghendaki kehidupan yang absurd menjadi ending dalam kisah-kisah yang disuguhkannya.
Eeng Nurhaeni, Penggemar sastra Indonesia, pengasuh Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten