Belum semua orang paham apa itu skizofrenia. Penderitanya sekadar dianggap ”gila”. Hal itu memicu stigma negatif dan menghambat pemulihan penderita skizofrenia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Stigma ”gila” pada penderita skizofrenia masih hidup di masyarakat. Stigma itu membuat publik berprasangka, berjarak dengan penderita, kemudian sulit memahami gangguan jiwa yang sesungguhnya bisa diobati ini. Melalui pameran seni Dramaturgi Skizofrenia, publik diajak mengenal sedikit tentang skizofrenia.
Pameran itu ada di lantai empat Perpustakaan Nasional, Jakarta. Pameran tersebut semula berlangsung pada 15-30 Oktober 2021, tetapi diperpanjang hingga 4 November 2021. Ada delapan perupa yang terlibat dalam pameran tersebut. Semuanya orang dengan skizofrenia (ODS).
”Banyak pengunjung yang tidak berani dekat-dekat dengan ODS (saat ke pameran). Pikir mereka, ’Nanti kalau ngamuk, bagaimana?’” kata pendiri Soedjiwa Institut, Dewi Indra, secara daring, Jumat (29/10/2021).
Pemikiran ini berakar dari ODS yang kerap distigma gila. Alasannya karena ODS memiliki waham atau keyakinan tidak yang nyata akan sesuatu. Misalnya, waham bahwa ODS sedang dikejar-kejar, akan dicelakai, hingga waham bahwa ia adalah seorang nabi. Orang awam tidak mampu memahami alam pikir ODS, lalu mendefinisikan kondisi itu sebagai kegilaan.
Selain itu, beberapa ODS tercatat pernah menyerang orang lain. Ketakutan pun tumbuh di benak orang awam. Hal ini tak jarang bermuara ke pemasungan ODS.
Ketakutan itu tampak di beberapa pengunjung pameran. Dewi dan para perupa ODS sampai harus menyosialisasikan soal skizofrenia ke pengunjung. Para ODS memastikan bahwa mereka telah pulih dan kondisinya stabil. Mereka juga rutin minum obat.
”Para ODS yang menyerang adalah yang tidak mendapat treatment atau yang salah mendapat penanganan,” kata Dewi.
Faktor skizofrenia
Skizofrenia dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya kadar dopamin yang berlebihan di otak. Hal ini memicu gangguan pikiran, emosi, dan perilaku. Kondisi psikologis dan sosial pun bisa memicu skizofrenia (Kompas, 7/10/2019).
”Saya jadi skizofrenia setelah mendapat kekerasan seksual setiap hari oleh guru ngaji. Itu terjadi saat saya masih berusia 6-10 tahun. Saya mengidap skizofrenia sejak 2005,” kata Hadi secara daring saat pameran. ”Tapi saya rajin kontrol (ke dokter) dan minum obat,” tambah lelaki yang telah beruban ini.
Sementara itu, Aris, salah satu ODS yang terlibat dalam pameran mengatakan bahwa ia menderita skizofrenia sejak 2012. Hal itu bermula dari gangguan kecemasan yang dialaminya. Namun, ia kini telah pulih dan rutin mengonsumsi obat.
Ya, penderita skizofrenia bisa pulih. Minum obat secara teratur adalah syarat buat pulih. Setelah dinyatakan pulih, ODS harus minum obat seumur hidup.
ODS yang telah dinyatakan pulih diharapkan bisa produktif. Namun, nyatanya tidak semua ODS mampu produktif. Dewi mengatakan, konsumsi obat kadang berpengaruh ke fisik ODS, seperti mudah mengantuk dan lambat berpikir.
Hal tersebut menghambat ODS untuk produktif, bahkan untuk bekerja seperti orang pada umumnya. Tak sedikit ODS yang akhirnya menganggur. Selain itu, tidak semua pihak mau mempekerjakan ODS.
Yang mereka butuhkan adalah pengakuan sebagai warga negara yang punya hak dan kewajiban yang sama dengan orang lain.
”Yang mereka butuhkan adalah pengakuan sebagai warga negara yang punya hak dan kewajiban yang sama dengan orang lain,” kata Dewi.
Anggota Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, mengatakan, penderita skizofrenia sangat membutuhkan dukungan orang terdekat mereka, baik keluarga maupun teman. Kehadiran dan perhatian keluarga penting bagi ODS, khususnya saat masa pengobatan. Mereka juga diharapkan sabar dan teguh mendampingi ODS.
Dukungan masyarakat pun penting. Dukungan paling mudah yang bisa diberikan publik ialah dengan tidak merundung ODS. Publik diharapkan memandang dan memperlakukan ODS sebagai manusia yang setara.
”Selain itu, dibutuhkan juga keyakinan dari yang bersangkutan (ODS) bahwa kondisi ini bisa disembuhkan,” kata Maria.
Adapun Riset Kesehatan Dasar 2018 oleh Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa 7 dari 1.000 rumah tangga di Indonesia memiliki penderita skizofrenia. Penderita skizofrenia di Indonesia diperkirakan mencapai ratusan ribu orang.
Asing
Mari, kita kembali ke ruang pamer di lantai empat Perpustakaan Nasional. Ruangan itu nyaris tidak pernah kosong. Ada saja pengunjung yang datang dan pergi. Mereka umumnya tak lupa berfoto-foto dengan latar instalasi seni, lukisan, hingga foto karya para perupa.
Lia (23) dan Risna (23), pengunjung pameran, mengapresiasi karya para perupa yang unik di mata mereka. Karya-karya seni tersebut juga memancarkan emosi yang menurut mereka asing, seasing pemahaman mereka akan skizofrenia. ”Yang saya tahu, itu adalah gangguan mental. Penderitanya adalah orang yang ’berbeda’,” kata Lia.
Pameran ini diharapkan jadi jembatan bagi masyarakat umum untuk berkenalan dengan skizofrenia. Ini bekal buat menghapus stigma negatif pada ODS di masa depan. Mengutip pesan yang ditinggalkan pengunjung di pameran, ”Semoga mentalnya sehat,” semoga mental kita semua pun sehat, begitu pula para ODS.