Tantangan Menghadirkan Sumber Listrik
Memasuki era kendaraan listrik, pembangunan sumber penghasil dan pendistribusian listrik menjadi tantangan terbesar Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN.
Memasuki era kendaraan listrik, pembangunan sumber penghasil dan pendistribusian listrik menjadi tantangan terbesar Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN.
Karena kedua kementerian inilah yang bertanggung jawab mengintegrasikan seluruh usaha dari hilir ke hulu melalui empat BUMN, yakni PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), PT Aneka Tambang Tbk, PT Pertamina, dan PT PLN, dalam badan usaha Indonesia Battery Corporation (IBC).
Agar proses tumbuhnya maksimal, kedua kementerian diharapkan mampu bersinergi dengan membuat cetak biru serta jadwal pelaksanaan dan pengawasannya.
Kedua kementerian diharapkan juga mampu berkoordinasi dan menghindarkan IBC dari praktik korupsi, kolusi, salah urus, dan kemajuan kerja yang lamban akibat birokrasi yang tertutup dan bertele-tele.
Kedua kementerian diharapkan juga mampu berkoordinasi dan menghindarkan IBC dari praktik korupsi, kolusi, salah urus, dan kemajuan kerja yang lamban akibat birokrasi yang tertutup dan bertele-tele.
Kerja sama IBC dengan perusahaan asing ataupun lokal, nantinya dituntut lebih menguntungkan negara. Bukan justru sebaliknya, lebih banyak menguntungkan segelintir pejabat atau mitra kerja lain dalam bancakan atau bagi-bagi megaproyek.
Untuk itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) perlu memahami, antara lain, peta perubahan permintaan minyak dan nikel serta menyiapkan rencana perubahan pengelolaan tambang dan produksi minyak.
Di sisi lain, Kementerian ESDM bersama Kementerian Bada Usaha Milik Negara (BUMN) perlu menyiapkan rencana pembaruan dan perluasan pengelolaan tambang dan produksi nikel (juga kobalt, aluminium, dan mangan), sesuai kebutuhan produksi baterai litium-ion kendaraan listrik.
Rencana impor litium serta tenaga dan teknologi pengolahan baterai kendaraan pun harus disiapkan matang sesuai prediksi perkembangan pasar kendaraan listrik.
Sebagai gambaran, seperti dituliskan Carscoops, bertambahnya kendaraan listrik sampai tahun 2025 telah mengurangi kebutuhan minyak dunia hingga 3,5 juta barel per hari.
Baca Juga: Menjadi Pemain Dunia Industri Baterai Kendaraan Listrik
Jika pada 2040 kendaraan listrik mampu mencapai sepertiga pasar otomotif dunia, permintaan minyak bakal turun 9 juta barel per hari. Saat ini, 70 persen konsumsi minyak dunia, termasuk Indonesia, dihabiskan untuk kendaraan berbahan bakar minyak (BBM).
Dilansir oleh kantor berita AFP, dalam 10 tahun ini, permintaan minyak dunia bakal turun hingga 70 persen. Itu artinya terjadi penghematan global hingga 250 miliar dollar AS. Di sisi lain, penggunaan kendaraan listrik dunia tahun lalu naik 40 persen menjadi sekitar dua juta unit.
Hal ini membuat Chris Watling, Chief Executive Officer Longview Economics, memperkirakan, sekurangnya sampai 6 tahun ke depan, tumbuhnya kebutuhan listrik sebagai energi alternatif untuk kendaraan listrik bakal membuat harga minyak turun dari sekitar 12 dollar AS menjadi 10 dollar AS per barel.
Hasil studi Carbon Tracker, bertambahnya kendaraan listrik di China menurunkan kebutuhan impor minyak negara itu hingga mampu menghemat devisa 80 juta dollar AS per tahun.
Baca Juga: Momentum Mobil Listrik
Tahun lalu, penjualan kendaraan roda dua di China didominasi oleh sepeda motor listrik (61 persen). Sementara dari total penjualan bus dan truk, sebanyak 59 persennya merupakan bus dan truk listrik.
Secara global, pasar kendaraan listrik bakal terus meluas karena dalam 15 tahun ke depan diperkirakan biaya penggunaan kendaraan ber-BBM bakal 10 kali lipat lebih mahal ketimbang kendaraan listrik.
Produsen minyak dunia yang berasal dari negara-negara OPEC, Rusia, Big Oil, serta kalangan pengusaha perminyakan lainnya memperkirakan pemakaian BBM untuk kendaraan bakal berhenti pada 50 tahun yang akan datang. Namun, oleh sebagian pengamat, perkiraan tersebut dianggap terlalu optimistis melihat perkembangan industri dan pasar kendaraan listrik saat ini.
Cadangan minyak dalam negeri
Saat ini, konsumsi BBM Indonesia sekitar 1,5 juta barel per hari. Padahal, produksi minyaknya tinggal 700.000 barel per hari. Akibatnya, Indonesia harus mengimpor minyak mentah 800.000 barel per hari.
Menteri ESDM Arifin Tasrif memperkirakan, cadangan minyak di Indonesia hanya akan bertahan sampai 10 tahun lagi. Itu artinya, pada tahun 2030-an, Indonesia akan lebih banyak menguras cadangan devisa untuk membeli minyak.
Mencermati keadaan ini, sepantasnya Kementerian ESDM bersama Kementerian BUMN mempercepat ketersediaan sumber listrik, terutama untuk industri kendaraan listrik. Kedua kementerian perlu mendorong IBC melakukan beragam terobosan, selain perlu menyiapkan kebijakan dan payung hukum yang jelas dan terarah bagi IBC.
Sumber dan infrastruktur listrik
Tampaknya, yang bakal menjadi kendala utama adalah kemampuan PLN dalam mendistribusikan listrik. Contoh paling sederhana adalah kondisi tiang, gardu, dan kabel listrik yang masih semrawut.
Padahal, memasuki era kendaraan listrik, kehadiran tiang, gardu, dan kabel listrik harus jauh lebih aman dibandingkan dengan kondisi saat ini.
Apalagi, sebagian tiang listrik akan dimanfaatkan sebagai stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). Diperlukan peremajaan total, terutama untuk penempatan dan ketinggian tiang listrik.
Di hulu, PLN menyiapkan pembaruan energi dengan menutup semua pembangkit listrik tenaga batubara (PLTB), pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), dan pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTG). Keseluruhan pembangkit listrik yang mampu menghasilkan listrik 50,1 Gigawatt ini akan ditutup pada 2055.
Sebagai gantinya, dibuatlah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Salah satu yang sedang dibangun adalah PLTS terapung di Waduk Cirata, Purwakarta. Diharapkan, PLTS terbesar di Asia Tenggara ini mampu menghasilkan listrik 200 Megawatt.
Baca Juga: Dilema Mobil Listrik
Menurut Kementerian ESDM dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Pembangunan Perumahan (PUPR), PLTS terapung tersebut akan menghasilkan listrik 12,05 Gigawatt.
Jika dibandingkan dengan PLTB, PLTG, dan PLTU yang menghasilkan listrik 50,1 Gigawatt dan akan ditutup tersebut, langkah pembaruan energi justru mengurangi pasokan listrik hingga 38,05 Gigawatt.
Ironisnya, berkurangnya pasokan listrik justru bakal terjadi ketika Indonesia memasuki era kendaraan listrik yang membutuhkan banyak energi listrik.
Potensi listrik tenaga arus laut
Pada pertengahan Juni 2014, penulis bertemu dengan tim pemenang lomba ”Mandiri Young Technopreneur 2011” bernama T-Files. Mereka berhasil menjadi juara setelah menciptakan terminal pembangkit listrik tenaga arus laut (dan sungai) atau PLTAL.
Perangkat berkapasitas 10 Kilowatt tersebut sudah diuji coba dan sanggup memenuhi kebutuhan listrik penduduk di dua desa di Pulau Nusa Penida, Bali. Untuk merawat dan mengoperasikan terminal, cukup dilakukan oleh tenaga lulusan STM.
Perangkatnya sangat sederhana, murah, serta mudah dirawat dan dioperasikan. Bentuk instalasinya hanya berupa sebatang pipa besi sepanjang 6 meter yang ditegakkan dengan konstruksi rangka besi di tepi pantai.
Bagian ujung yang masuk ke bawah permukaan air laut dipasangi satu sampai tiga baling-baling berdiameter satu meter dengan posisi horisontal. Baling-baling berputar oleh gerak arus laut.
Sayang, karya luar biasa anak bangsa ini kurang diperhatikan.
Bagian ujung lainnya yang berada di atas dipasangi turbin pembangkit listrik berukuran 1,5 X 1 meter. Dari kotak turbin muncul kabel berarus listrik yang dihubungkan dengan jaringan kabel listrik ke rumah-rumah penduduk.
Bentuk pembangkit listrik ini jauh lebih kecil ketimbang bentuk pembangkit listrik serupa di sejumlah negara lain. Dengan demikian, pemasangan pembangkit listrik ini tidak lagi membutuhkan kapal, tongkang, dan alat berat lain. Antarbagian terminal dapat dirakit dengan mudah.
Sayang, karya luar biasa anak bangsa ini kurang diperhatikan. Padahal, mengutip hasil survey PLN, arus laut (dan sungai) di sejumlah lokasi di Indonesia Bagian Timur (IBT) bisa menghasilkan 70 persen potensi listrik yang bisa dihasilkan oleh arus laut di Indonesia atau sebesar 15 Gigawatt.
Ini artinya defisit energi listrik sebesar 38,05 Gigawatt pascapenutupan sejumlah pembangkit listrik pada 2055 bisa berkurang menjadi 23,05 gigawatt apabila IBC memanfaatkan potensi listrik arus laut di IBT. IBC tinggal mencari sumber penghasil listrik lainnya selain PLTA atau pembangkit listrik tenaga air.
Jika dengan pemanfaatan PLTAL, PLTA, dan sumber tenaga listrik lainnya Kementerian ESDM belum mampu menyediakan cadangan listrik yang memadai bagi kebutuhan kendaraan listrik, rumah tangga, dan industri, ada baiknya Kementerian ESDM mempertimbangkan kembali rencana penutupan sejumlah pembangkit listrik yang menghasilkan 50,1 gigawatt.
Jangan sampai penutupan pembangkit listrik dengan alasan lingkungan yang bebas karbon justru menimbulkan masalah baru yang tidak kalah rumit, yakni krisis energi. Terlebih di saat Indonesia memasuki era transisi kendaraan listrik.
Windoro Adi, Wartawan Kompas 1991-2019