ePILOG: Abad Kegelapan Sebelum Galungan
Galungan adalah titik berhenti dan melakukan puja secara khusyuk, terutama untuk memanjatkan rasa syukur, bahwa jalan ketuhanan telah membebaskan kita semua dari rongrongan kebodohan dan kejumawaan kepandaian.
Jika kebodohan membawa penderitaan, sebaliknya kepandaian bisa mengantarkanmu pada kesombongan. Mitologi Mayadenawa bukan sekadar cerita kalah menang antara dharma (kebaikan) dan adharma (kejahatan). Penderitaan rakyat yang ditindas oleh raja lalim bernama Mayadenawa, yang memerintah Bali kuna, sekitar abad ke-6 Masehi, bersumber dari kebodohan. Sebaliknya, kesaktian (kepandaian) menjerumuskan raja pada kawah keangkuhan dan kesombongan yang berkarat-karat.
Segala akses terhadap ilmu pengetahuan, bahkan relasi transenden antara diri dan Tuhan, diharamkan. Dulu, guru-guru agama di sekolah bisa bercerita dengan sangat dramatis, tentang bagaimana rakyat yang sedang melakukan puja di merajan (tempat suci keluarga) disepak oleh para pengawal raja; tentang bagaimana pura-pura dirobohkan karena dianggap tidak berguna. Menyembah Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa), dianggap subversif dan karena itu pelakunya harus dihukum berat. Tak jarang raja memberi perintah untuk menghukum pancung para penyembah Tuhan. Lalu Tuhan mampu berbuat apa?
Mitologi Mayadenawa sesungguhnya mengisahkan tentang masa-masa kegelapan menguasai Bali. Kekuasaan raja yang absolut, bahkan menyamakan dirinya dengan Tuhan, telah membawa Bali ke jurang penderitaan. Rakyat terlunta-lunta hidup dalam jeratan kemiskinan. Panen padi selalu gagal karena hama penyakit yang merajalela. Seorang pemangku (padri) bernama Sangkul Putih, yang sehari-hari memandu umat di Pura Besakih, bersemadi untuk memohon pertolongan Tuhan.
Turunlah pasukan Tuhan yang dipimpin oleh Bathara Indra dengan misi menyingkirkan Mayadenawa. Tidak mudah mengalahkan raja sakti, yang bisa berubah wujud menjadi apa pun yang ia pikirkan. Bahkan, pasukan Bathara Indra hampir semuanya tewas setelah meminum air beracun yang ditebar Mayadenawa. Bathara Indra dengan kesaktiannya menciptakan air suci yang muncul dari perut bumi untuk menghidupkan kembali anggota pasukannya.
Kini mata air suci itu diberi nama Tirta Empul, lokasi pelukatan (pembersihan diri secara spiritual) di Tampaksiring, Gianyar. Nama Tampaksiring pun konon berkaitan dengan usaha Mayadewa untuk menyamarkan dirinya dari kejaran Bathara Indra. Ia secara sengaja memiringkan kakinya saat berjalan di atas lumpur sehingga tidak mudah diikuti jejaknya. Tempat di mana terdapat jejak-jejak kaki yang miring itu lalu diberi nama Tampaksiring.
Baca: Galungan dan Kebenaran yang Selalu Menang
Anehnya, pada abad ke-4 dan ke-5 Masehi, di Eropa justru tersebar kisah sebaliknya, walaupun berimplikasi pada realitas yang serupa. Ketika kekuasaan Kekasairan Romawi runtuh dan sebelum memasuki masa Renaissance, daratan Eropa dilanda abad kegelapan. Kekuasaan gereja, sebagai representasi unsur-unsur ketuhanan, berlangsung sangat absolut. Hal-hal yang berbeda dengan dogma-dogma gereja dianggap subversif. Bahkan, penemuan ilmu pengetahuan, walau dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dianggap sebagai sihir dan karena itu pelakunya harus dihukum berat.
Salah satu korban abad kegelapan itu adalah filsuf, astronom, dan ahli matematika perempuan bernama Hypatia. Smithsonian Magazine menceritakan, Hypatia tinggal dan hidup di kota Aleksandria, Mesir, antara 415 atau 416 Masehi. Kota itu sedang berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi. Pada masa hidupnya Hypatia dikenal sebagai pengembang teori neoplatonisme, yang bertentangan dengan dogma-dogma yang dianut oleh gereja. Muncul pula pendapat bahwa Hypatia dihabisi karena dia seorang penganut paganisme.
Kelak, pada masa Renaissance, Hypatia lahir sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan absolut dari gereja.
Suatu hari perempuan berjubah itu dicegat oleh sekelompok massa yang kemudian menyeretnya ke dalam sebuah bangunan suci. Di situ, tubuhnya dipukuli dengan bebatuan, bahkan kemudian diseret, dimulitasi, dan dibakar di pinggian kota. Kelak, pada masa Renaissance, Hypatia lahir sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan absolut dari gereja.
Kalau membaca novel The Hunchback of Notre Dame karya Victor Hugo, kau akan mengetahui betapa gereja yang dianggap simbol keimanan dan kesucian, pada Abad Pertengahan, justru menjadi penyebab berbagai kekacauan. Seorang padri yang harusnya mengemban tugas-tugas suci, terlibat percintaan dan pembunuhan. Sedangkan seorang buruk rupa dan bertubuh bongkok, yang sehari-hari hanya bertugas memukul lonceng gereja, memiliki perangai penolong dan berhati baik. Tokoh bernama Quasimodo itu, bahkan menjadi penyelamat seorang gadis gipsi bernama Esmeralda yang hendak dihukum mati karena dituduh sebagai tukang sihir.
Hugo memotret kondisi masyarakat Eropa, ketika gereja menjadi patron nilai absolut, yang senantiasa menganggap bid’ah penemuan-penemuan atau kreativitas-kreativitas yang lahir di tengah masyarakat. Nyatanya, seorang padri bernama Claude Frollo, yang memendam perasaan cinta terhadap Esmeralda, telah membunuh Phoebus, seorang kapten di kerajaan. Otak pembunuhan itu justru diarahkan kepada Esmeralda, yang telah menolak pernyataan cinta dari Frollo.
Kondisi ini memperlihatkan betapa ”kemahakuasaan” institusi agama telah menjadi lembaga yang munafik, ingin terlihat suci, tetapi senyatanya menyimpan moralitas bobrok. Bahkan, dari situlah Eropa menuju abad penuh kegelapan. Harapan pencerahan dengan menyelami kitab suci justru tersesat dalam labirin kekuasaan. Pada sisi itu, para padri dan Mayadenawa berada dalam satu barisan: menuhankan diri karena pasal-pasal agama dan keabsolutan kekuasaan.
Tepat hari ini Buda (Rabu), Kliwon, wuku (Dungulan) Bali sedang merayakan hari raya Galungan. Pada Rabu (10/11/2021) sejak pagi umat Hindu melakukan persembahyangan dari pura satu ke pura lainnya. Terakhir kami semua memuja di Pura Merajan masing-masing keluarga untuk memberi penghormatan kepada para leluhur, yang telah menurunkan segala keturunan dan kebajikan.
Secara populer seperti yang sering kau dengar, hari raya Galungan adalah perayaan kemenangan dharma melawan adharma.
Di jalan-jalan Bali terlihat meriah karena penjor-penjor yang berdiri indah. Lengkungan pada bambu merupakan bentuk simbolik gunung sebagai sumber anugerah dan kemurahan semesta. Oleh sebab itu, biasanya penjor juga digantungi hasil bumi seperti padi, kelapa, dan buah-buahan. Itulah panjatan rasa syukur umat, saat-saat merayakan Galungan bersama keluarga besar.
Secara populer seperti yang sering kau dengar, hari raya Galungan adalah perayaan kemenangan dharma melawan adharma. Pemaknaan semacam ini, sering kali terbentur pada pertanyaan: apakah selama ini kau, aku, atau siapa saja, sudah berjuang, sehingga pantas memperoleh kemenangan? Sebab rasanya, tidak ada perjuangan apa pun, tiba-tiba ketika kalender mempertemukan Buda Kliwon Dungulan, semua umat berhak merayakan Galungan.
Kalau kita bersetia pada mitos, bukankah yang berjuang mengalahkan Mayadenawa adalah pasukan Bathara Indra dan bukan manusia (rakyat) dalam menjatuhkan kekuasaan Mayadenawa? Mengapa umat yang merayakan Galungan dan bukan para dewa?
Hugo memberi perhatian lebih kepada Quasimodo, yang bongkok dan buruk rupa. Pada akhir novel, pemukul lonceng katedral itu tetap berusaha menolong Esmeralda yang diculik oleh Frollo. Dan ia berhasil menyelamatkan gadis gipsi itu dari sergapan padri yang berhati penuh kerikil. Memang pada bagian akhir, Quasimodo kehilangan Esmeralda dari dalam kamarnya. Ia menangis seperti bayi yang kehilangan kasih sayang dari ibunya. Adegan itu memberikan gambaran betapa kerinduan Quasimodo kepada belaian seorang ibu, sebab sejak kecil ia telah dibuang orangtuanya karena wajahnya yang buruk. Frollo kemudian memungutnya di depan pintu katedral dan menjadikannya anak asuh.
Hugo sedang menawarkan moralitas ”baru” dengan menghancurkan moralitas yang selama ini dianut oleh para padri dalam kungkungan tembok-tembok gereja. Ini adalah bagian dari kritiknya terhadap kekuasaan absolut gereja pada Abad Pertengahan. Ia kemudian memberi porsi moralitas ”baru” itu ada sosok buruk rupa Quasimodo, yang merupakan representasi dari rakyat. Tokoh yang dibodohkan oleh ”kesucian” para padri itu justru memiliki nilai-nilai kesetiaan, belas kasih, dan ”kepandaian” hati, yang mustahil bisa ditemukan pada Abad Pertengahan di Eropa.
Rakyat yang dibodohkan dan kemudian menjalani penderitaan di tangan Mayadenawa, menjadi sumber moralitas baru, ketika kembali ke jalan kedewataan. Usaha pemangku Sangkul Putih, yang melakukan puja untuk menyelamatkan rakyat, menjadi simbolisasi bahwa hanya jalan ketuhananlah yang bisa mengantarkan rakyat pada pencerahan. Dan pencerahan itu jatuh pada hari Buda Kliwon Dungulan, sebuah pertemuan hari yang datang setiap 6 bulan sekali (210 hari menurut perhitungan kalender Bali).
Intinya kepandaian dan kebodohan, bisa berujung sama: kegelapan.
Ketika Mayadenawa berhasil dikalahkan, rakyat merayakan kemerdekaan yang kemudian mengantarkannya menuju pencerahan. Menurut tafsirku, mitos hanyalah medium untuk mengantarkan kita semua kembali ke dalam semesta diri. Raja lalim bernama Mayadenawa, perumpamaan pada sifat-sifat yang melekat dalam diri setiap manusia. Bahwa jika kau tidak mawas diri, kepandaian karena ilmu pengetahuan yang kau miliki jauh lebih tinggi dari yang lain, bisa mengantarkanmu pada keangkuhan dan kesombongan. Begitu juga sebaliknya, kebodohan hanya akan mengantarkanmu pada awidya, kegelapan yang melingkupmu sepanjang hidup. Bukankah kegelapan itu begitu dekat dengan penderitaan?
Intinya kepandaian dan kebodohan, bisa berujung sama: kegelapan. Babakan sejarah Eropa telah memberi bukti, bahwa ”jalan ketuhanan” sekalipun, jika dipraktikkan secara menyimpang, ia hanya akan mengurung manusia dalam kegelapan abadi. Apalagi kebodohan yang melekat, seumur-umur hanya akan membawamu ke dalam penderitaan. Oleh sebab itu, kunci pencerahan untuk melepaskan diri dari jebakan keduanya, menghindari kemelekatan.
Bahwa kepandaian yang diberikan oleh ilmu pengetahuan harus dikontrol dengan perangkat diri bernama mulat sarira (introspeksi) agar kau selalu bisa mengarahkan kepandaian pada jalan kebenaran. Sebaliknya, kebodohan harus diperangi dengan jnana, jalan ilmu pengetahuan yang membukakan mata kita akan kebesaran semesta. Baik mulat sarira maupun jnana, pada akhirnya mengarah pada jalan yang sama, yakni sanathana dharma, kebenaran abadi yang membawa kita semua pada semesta pencerahan.
Galungan adalah momentum sirkulatif, hari raya yang berulang setiap 210 hari sekali, saat-saat pertemuan hari-hari baik dalam kalender. Pada saat itulah, kita memiliki kesempatan untuk membasuh diri setelah selama bulan-bulan sebelumnya ”tercemar” oleh berbagai hal duniawi, yang tak jarang membuat kau iri dan dengki, mengumbar kesombongan dan keserakahan. Galungan adalah titik berhenti dan melakukan puja secara khusyuk, terutama untuk memanjatkan rasa syukur, bahwa jalan ketuhanan telah membebaskan kita semua dari rongrongan kebodohan dan kejumawaan kepandaian. Rahajeng Rahina Galungan, selamat hari raya Galungan.