PRAYOGI DWI SULISTYO/I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·5 menit baca
KOMPAS/I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
Seorang pemedek (umat Hindu yang datang untuk bersembahyang) menyalakan dupa dalam rangka persembahyangan Galungan di Pura Adhitya Jaya Rawamangun, Jakarta, Rabu (30/5/2018). Perayaan Galungan dimaknai sebagai simbol kemenangan sifat-sifat baik melawan keburukan.
Umat Hindu di Indonesia pada Rabu (30/5/2018) merayakan Galungan. Rangkaian ritus perayaan Galungan akan berakhir pada perayaan Kuningan, Sabtu (9/6/2018). Setiap momentum perayaan ini, penggalan kalimat dalam kitab Mundakan Upanisad: ”Satyam Eva Jayate” selalu menggema. Galungan terus menggaungkan pesan, pada akhirnya hanya kebenaranlah yang akan menang.
Hari raya Galungan rutin diperingati umat Hindu setiap 210 hari sekali atau setiap enam bulan. Menurut lontar (pustaka) Djayakasunu, makna inti dari perayaan Galungan adalah kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma (kebatilan). Saat Galungan, Tuhan menurunkan anugerah berupa kekuatan iman dan kesucian batin, serta menghilangkan sifat-sifat buruk yang mengendap di dalam diri seseorang.
Lontar Purana Bali Dwipa menyebutkan, hari raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) pada 882 Masehi atau tahun saka 804. Masyarakat Bali memercayai kisah Raja Mayadenawa berkaitan dengan sejarah perayaan Galungan.
Disebutkan dalam Lontar Usana Bali, dahulu di Bedahulu, Bali, diperintah oleh seorang Raja bernama Mayadenawa. Raja ini terkenal sakti dan pandai. Kesaktiannya membuat dia lupa diri sehingga ia menganggap dirinya adalah Tuhan. Oleh karena itu, ia melarang rakyatnya menyembah Tuhan dan sebaliknya mengarahkan rakyatnya untuk menyembah dirinya seorang.
Akibat perlakuan sewenang-wenang Mayadenawa, rakyat lalu memohon bantuan kepada Bhatara (dewa) Indra. Bhatara Indra beserta para pasukannya pun turun ke dunia untuk menyerang dan membunuh Mayadenawa.
KOMPAS/I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
Umat Hindu bersembahyang di Pura Adhitya Jaya Rawamangun, Jakarta, Rabu (30/5/2018) malam.
Tidak mudah untuk membinasakan Mayadenawa, ia memiliki kesaktian yang membuatnya mampu berkelit berkali-kali dari bidikan Bhatara Indra. Sampai pada akhirnya Mayadenawa tersudut dan berhasil dikalahkan oleh Bhatara Indra. Momentum itu kemudian diperingati sebagai hari raya Galungan atau kemenangan kebaikan atas sifat-sifat buruk.
”Sad ripu”
Menurut pengempon (petugas) di Pura Adhitya Jaya Rawamangun, Jero Mangku Agung Nugraha, momentum perayaan Galungan kini harus dilihat lebih sebagai upaya mengalahkan musuh dalam diri. Dalam ajaran Hindu, ada enam musuh dalam diri manusia yang disebut dengan sad ripu. Keenam musuh dalam diri itu adalah nafsu atau keinginan, sifat tamak, kemarahan, kebingungan, mabuk, dan iri hati.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Jero Mangku Agung Nugraha
Musuh dalam diri diperangi dengan cara pengendalian diri. Berawal dari keberhasilan mengatasi keenam musuh tersebut, efek negatif terhadap orang-orang dan lingkungan sekitar dapat dicegah.
”Saat ini musuh dalam dirilah yang pertama-tama harus kita perangi,” kata Jero Mangku Agung Nugraha ditemui di Pura Adhitya Jaya Rawamangun.
Ia menambahkan, sebagai umat manusia, semua harus bisa mengintrospeksi diri sendiri terlebih dahulu. Becermin pada diri sendiri, sebelum buru-buru menyalahkan orang lain.
Apabila pengendalian diri tidak dilaksanakan, seseorang akan melakukan perbuatan yang buruk. Orang yang haus akan kehormatan, misalnya, akan sulit melihat keberhasilan orang lain. Dengan demikian, timbul perasaan iri yang kemudian akan memicu perselisihan.
Penjor
Selain bersembahyang saat Galungan, umat Hindu juga mendirikan penjor sebagai tanda merayakan Galungan. Penjor terbuat dari bambu tinggi yang melengkung di bagian ujungnya.
Kompas
Umat Hindu Bali tengah merayakan hari raya Galungan, Rabu (15/7) ini. Penjor menjadi salah satu simbol kemakmuran sebagai ucapan syukur atas kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan). Tahun ini perayaan Galungan berdekatan dengan hari raya Idul Fitri.
Penjor dihias dengan berbagai hasil alam, seperti padi, buah-buahan, jagung, serta umbi-umbian. Penjor menandakan kemakmuran dan kekayaan alam. Biasanya penjor didirikan sehari menjelang Galungan.
Jero Mangku Agung Nugraha menuturkan, dalam konteks pemerintahan, penjor dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah mengoptimalkan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Namun, kenyataannya saat ini, meski dilimpahi kekayaan alam, belum mampu membawa rakyat Indonesia menjadi sejahtera.
Merayakan di pura
Di Jakarta, umat Hindu merayakan Galungan dengan bersembahyang di pura. Salah satu pura yang ramai didatangi umat Hindu untuk merayakan Galungan adalah Pura Adhitya Jaya Rawamangun di Jakarta Timur. Jero Mangku Agung Nugraha menyampaikan, umat Hindu berdatangan sejak pagi hari.
Puncaknya terjadi pada petang menjelang malam. Umat Hindu yang baru pulang dari bekerja lalu memadati pura untuk bersembahyang. Persembahyangan kemudian dibagi atas beberapa sesi hingga berakhir pada pukul 22.00.
Salah seorang umat Hindu di Pura Adhitya Jaya Rawamangun, Ni Putu Delia Wulansari (25), mengatakan, dirinya memaknai perayaan Galungan sebagai tonggak baru menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Bagi Delia, esensi Galungan, yaitu kemenangan sifat-sifat baik dalam diri harus terus dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Delia, perempuan Hindu di Bali telah sibuk mempersiapkan upacara enam hari sebelum Galungan tiba. Diawali melalui perayaan Sugian Jawa, pada titik ini umat Hindu memohon kelestarian dan kesucian alam semesta (makrokosmos).
Sehari setelahnya, dilanjutkan dengan perayaan Sugian Bali untuk memohon kesucian dan keselamatan diri (mikrokosmos). Lalu berturut-turut dalam selang waktu satu hari diisi dengan ritus penyekeban (memeram buah-buahan dan membuat tape sebagai simbol mengungkung atau menguatkan diri), penyajaan (simbol bersungguh-sungguh membuang sifat buruk), penampahan (bersiap menyambut kemenangan), hingga terakhir perayaan Kuningan 10 hari setelah Galungan.
Sehari setelah Galungan, Kamis (31/5/2018), diperingati sebagai hari umanis Galungan. Menurut Jero Mangku Agung Nugraha, pada saat itu kegiatan masih diisi dengan bersembahyang dan mengunjungi sanak saudara untuk saling bermaafan.
”Saat umanis Galungan, umat Hindu di Bali biasanya pulang kampung, berkunjung ke kediaman orangtua. Mohon maaf dan mengucapkan selamat hari Galungan,” katanya.
Di saat umat Muslim tengah khusyuk menjalankan ibadah puasa sebagai simbol pengendalian diri atas nafsu dan keinginan, umat Hindu merayakan Galungan. Meski berbeda dari segi pelaksanaan, kedua ritus itu mempunyai pesan yang sama: merekonstruksi dan merawat sifat-sifat baik dalam diri. Pada akhirnya, keberhasilan seseorang mengendalikan diri akan membawanya pada kemenangan yang manis.