Kepemimpinan Panglima TNI
Karena dibatasi usia pensiun, Jenderal Andika perlu menerapkan asas kepemimpinan TNI, yang salah satunya adalah ”ambeg parama arta”, tepat memilih yang harus didahulukan.
Tantangan sekaligus peluang besar akan dihadapi Jenderal Andika Perkasa setelah resmi menjabat Panglima TNI. Saat ini semua organisasi militer di dunia, termasuk TNI, menghadapi risiko dan ketidakpastian yang lebih besar dari sebelumnya. Dampaknya adalah pengambilan keputusan yang optimal makin sulit karena lingkungan strategis kian dinamis.
Risiko politik dan ekonomi
Pada aspek politik, pembentukan aliansi dan koalisi pertahanan dapat meningkatkan risiko konflik. Pakta trilateral AUKUS (AS, Inggris, dan Australia) melengkapi aliansi yang lebih longgar FPDA (Inggris, Australia, Selandia Baru, Malaysia, dan Singapura) dalam membendung perilaku asertif China di kawasan Indo-Pasifik.
Koalisi keamanan empat negara Quad (AS, Jepang, India, dan Australia) juga bergerak maju dengan menggelar pertemuan langsung empat kepala pemerintahannya. Sebaliknya, China dan Rusia semakin intensif berkoalisi di Timur Tengah dan Afrika.
Terkait politik, Carl von Clausewitz dalam On War mengingatkan perang adalah kelanjutan politik dengan cara berbeda (war is continuation of politics by other means).
Di bidang ekonomi, risiko dan ketidakpastiannya lebih moderat.
Di bidang ekonomi, risiko dan ketidakpastiannya lebih moderat. Ekonomi masih melambat akibat Covid-19. Ekonomi Indonesia, misalnya, hanya tumbuh 3,51 persen pada triwulan III-2021.
China malah terancam krisis utang sektor properti. Namun, China mempunyai sumber daya alam raksasa dan industri maju serta pasar domestik yang besar sehingga takkan menghadapi situasi buntu seperti Jepang sebelum Perang Asia Timur Raya.
Meski begitu, adanya sanksi ekonomi atau proses hukum kepada pemimpin dan institusi swasta, hambatan kredit, dan lain-lain, seperti kasus petinggi Huawei, terbukti dapat memperuncing relasi antarnegara.
Hal itu disebabkan peran swasta semakin besar dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista), termasuk memasok komponen penting elektronik dan perangkat lunaknya.
Baca juga : Mendinginkan Teater Asia yang Panas
Kebutuhan alutsista
Selanjutnya, perkembangan teknologi membuat alutsista berkecepatan makin tinggi dan makin mampu menghindari radar. Jarak geografis menjadi terasa lebih dekat. Daya hancur (fire power) juga meningkat, yang diiringi miniaturisasi alutsista. Pengerahan alutsista menjadi lebih mudah dan masif sehingga memperluas jangkauan operasi militer, terutama negara-negara besar.
Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan pembelajaran mesin (machine learning) memudahkan identifikasi ancaman, tetapi sekaligus menciptakan risiko kekeliruan pengambilan keputusan di level taktis. Mobil berwarna dan berjenis sama dapat keliru teridentifikasi sebagai calon teroris, padahal bisa saja kendaraan sukarelawan kemanusiaan yang berada di tempat dan waktu yang salah.
Meski begitu, teknologi juga dapat menurunkan risiko korban jiwa tidak perlu. Militer dapat mengerahkan wahana tanpa awak, sekaligus merusak drone itu dengan energi laser. Bahkan, serangan siber dapat menjadi alternatif operasi militer yang lebih manusiawi karena dapat memaksa pihak lawan mengikuti kehendak tanpa perlu menghancurkan kota dan mengebom penduduk sipil.
Yang perlu diantisipasi adalah perubahan kompetisi antarnegara dari gelar pertempuran menjadi hambatan akses komponen dan teknologi alutsista, seperti cip semikonduktor dan perangkat lunak.
Pada aspek legal, beragam organisasi multilateral global dan regional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan ASEAN, hadir dan efektif mengurangi risiko perang konvensional berskala penuh.
Terlebih, hampir semua negara masih menjaga tata dunia berbasis hukum (rules-based order), seperti Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Risiko perang juga dimitigasi oleh perjanjian bilateral, baik perjanjian kerja sama pertahanan maupun kerja sama investasi, perdagangan, dan keuangan.
Letak Indonesia pada kawasan cincin api (ring of fire) juga menjadi sumber risiko dan ketidakpastian.
Letak Indonesia pada kawasan cincin api (ring of fire) juga menjadi sumber risiko dan ketidakpastian. Ada kebutuhan operasi tanggap darurat pascagempa, tsunami, letusan gunung, atau banjir bandang. Alutsista yang diadakan harus mampu menunjang beragam misi, baik tempur maupun tanggap darurat bencana, termasuk evakuasi korban dengan cepat.
Sumber risiko lain adalah gatra militer itu sendiri. Dari 2009 digolongkan berkondisi kritis, lalu stop terbang pada 2016, hingga kini pesawat tempur F5 E/F belum tergantikan.
Tantangan di Laut Natuna Utara juga meningkat karena frekuensi kehadiran kapal penjaga pantai dan survei China di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia meningkat, termasuk di dekat anjungan pengeboran minyak Indonesia. Bahkan, September 2021, kapal perusak tipe 052D China yang dilengkapi puluhan rudal mengarungi Natuna Utara. Situasi ini menunjukkan perlunya percepatan pengadaan alutsista penggentar.
Baca juga : Dukungan Penguatan TNI Berhadapan dengan Keterbatasan Anggaran
Ancaman teroris-separatis
Risiko bidang militer tidak hanya dari kekurangan alutsista. Operasi mengatasi kelompok teroris-separatis di Papua terkendala regulasi. Peraturan Presiden sebagai turunan UU No 5 Tahun 2018 tentang Terorisme harus diselesaikan.
Kebutuhan dasar hukum makin mendesak setelah Organisasi Papua Merdeka (OPM) menyerang warga dan fasilitas sipil, seperti rumah sakit dan bandara, termasuk menyerang pos koramil di Kisor, Maybrat.
Apel komandan korem dan kodim, 4 November, serta penyerahan 75 perahu cepat perlu dilengkapi dengan pemenuhan senjata dan peralatan lain bagi pos dan prajurit terdepan.
Karena dibatasi usia pensiun, Jenderal Andika perlu menerapkan asas kepemimpinan TNI, yang salah satunya adalah ambeg parama arta (tepat memilih yang harus didahulukan).
Dari banyak prioritas dalam perencanaan dan penganggaran pertahanan, Panglima harus memprioritaskan program paling prioritas yang jika tidak direalisasikan dalam 1-2 tahun anggaran dapat mengancam kedaulatan negara atau mengurangi efek penggentaran.
Risiko bidang militer tidak hanya dari kekurangan alutsista.
Andika dapat meneladan Jenderal M Jusuf yang mengawali tugasnya sebagai Menhankam/Panglima ABRI dengan menemui Kepala Bappenas (saat itu) Prof Widjojo Nitisastro lebih dulu daripada staf Departemen Hankam.
Bahkan, Jusuf dapat menemui Presiden AS Ronald Reagan, yang didampingi Wapres dan Menhan AS, guna mengantarkan surat Presiden Soeharto (Sumarkidjo dalam buku Jenderal M Jusuf, 2006). Relasi dengan pemimpin strategis di dalam dan luar negeri mempercepat pengadaan pesawat angkut dan tempur baru, C-130 Hercules dan F5, serta program diklat militer IMET.
Fahmi Alfansi P Pane, Pengamat Pertahanan, Alumnus Magister Universitas Pertahanan