Pancasila Sejak Orde Baru
Orde Baru termasuk rezim paling ambisius dan ganas dari rezim sebelumnya. Tapi untuk mengesahkan kekuasaannya ia masih membutuhkan satu warisan besar dari rezim sebelumnya, yakni Pancasila.
Hari demi hari kita saksikan semakin meningkatnya status Pancasila dalam politik di Tanah Air. Hal ini terjadi tidak hanya di lapisan tertinggi lembaga negara, tetapi juga dalam wacana keseharian warga terdidik di ruang publik.
Gejala ini bukan barang baru. Pancasila sudah dikeramatkan sejak awal masa Orde Baru. Maka yang terjadi belakangan semakin memperkuat pandangan bahwa Indonesia hari ini masih berada di bawah bayang-bayang politik Orde Baru.
Untuk mengkaji lebih jauh pandangan tersebut, konteks kesejarahan politik lokal dan konteks global layak untuk dipertimbangkan.
Sejarah politik lokal
Pancasila tidak dilahirkan di masa Orde Baru. Tidak dirumuskan oleh tokoh Orde Baru. Justru sebaliknya. Soekarno sebagai tokoh utama perumus Pancasila menjadi salah satu sasaran utama serangan politik Orde Baru. Soekarno ditekan turun dari kekuasaannya. Para pejabat tinggi kabinetnya ditahan. Jutaan simpatisan dan pendukung Soekarno dicurigai sebagai warga kelas dua. Hak-hak sipil mereka dibatasi selama berpuluh tahun.
Ironisnya, penaklukan pemerintah Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno oleh Orde Baru di bawah Presiden Soeharto kemudian dipropagandakan sebagai keberhasilan Orde Baru menyelamatkan Pancasila. Sejak itu Pancasila dibajak Orde Baru dan dikemas baru. Kampanye de-Soekarnoisasi digalakkan. Jasa Soekarno dalam kelahiran Pancasila dikaburkan.
Ada ironi yang lain. Sebagai orang yang paling berjasa dalam kelahiran Pancasila, Soekarno sendiri tidak pernah memanfaatkan Pancasila sebagai slogan utama dalam politiknya. Yang paling banyak diidolakan dalam pidatonya adalah Sosialisme.
Sejak Orde Baru berkuasa, Pancasila berubah radikal.
Soekarno menyerang dan diserang musuh politiknya di dalam dan luar negeri. Berkali-kali ia menjadi sasaran usaha pembunuhan. Menghadapi semua itu dan musuh-musuh politiknya, ia melemparkan caci-maki dan berbagai stigma kepada mereka. Tapi bukan stigma "anti-Pancasila".
Stigma "anti-Pancasila" baru lahir di masa Orde Baru, Pancasila menjadi semacam jimat keramat. Kebangkitan Orde Baru dirayakan sebagai Kesaktian Pancasila. Stigma "anti-Pancasila" diobral pada semua pihak yang dianggap musuh. Program penataran Pancasila diwajibkan di berbagai sektor pegawai dan mahasiswa. Asumsinya, bangsa Indonesia belum paham Pancasila, dan pemerintah Orde Baru adalah ahlinya.
Bagi Soekarno dan rekan-rekan seperjuangan, Pancasila merupakan dasar negara. Ia dirumuskan secara musyawarah dan mufakat, melibatkan berbagai pihak yang ikut mempersiapkan kemerdekaan RI. Latar belakang dan cita-cita mereka tidak seragam. Dengan kompromi dan konsensus yang didesak oleh situasi global itu, kesepakatan bisa tercapai walau tidak bulat sempurna.
Sejak Orde Baru berkuasa, Pancasila berubah radikal. Dari sebuah wadah luas yang merangkul berbagai ideologi progresif kini ia ditampilkan sebagai "ideologi" tersendiri, terpisah dari yang lain. Fungsi utamanya bukan lagi menampung keragaman demi persatuan nasional, tetapi menolak dan melarang berbagai ideologi global yang telah berjasa memperjuangkan kelahiran republik ini sejak awal abad 20.
Baca juga : Kesaktian tanpa Kedalaman
Dengan mengatasnamakan Pancasila, Orde Baru mengarahkan sasaran tembak politik terutama pada dua ideologi besar: Komunisme dan Islamisme. Yang pertama dihancurkan dengan korban nyawa besar-besaran untuk ukuran sejarah dunia. Yang kedua mengalami pasang-surut, sempat berpuncak pada tuntutan pada semua organisasi massa untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal (pertengahan 1980-an).
Sulit disangkal politik Orde Baru tersebut masih terus berlanjut hingga hari ini. Sudah lebih dari 20 tahun Orde Baru bangkrut, tapi hantunya masih bergentayangan di mana-mana. Pancasila versi Orde Baru dengan ciri intoleran dan eksklusif terhadap kebinekaan politik dimuliakan dan dikeramatkan dalam berbagai kemasan.
Ideologi global
Pancasila merupakan dasar negara milik satu bangsa. Tidak pernah ada yang berniat mem-Pancasila-kan seluruh dunia. Jangankan sedunia, bahkan tidak pernah ada niat mem-Pancasila-kan negara tetangga di sekitar wilayahnya.
Pancasila bukan sebuah "ideologi", dalam pengertian yang berlaku umum dalam forum politik dunia atau masyarakat ilmuwan. Ideologi, seperti dipahami dunia, tidak terikat kebangsaan. Komunisme, Islamisme dan berbagai ideologi lain berwatak global.
Masing-masing berusaha merangkul dan merombak dunia menurut cita-cita mereka. Pengikut berbagai ideologi itu melampaui batas bangsa-negara. Sedangkan Pancasila memberi ruang berbagai ideologi progresif (anti-imperialisme, anti-feodalisme, anti-kolonialisme) yang sudah hadir di Tanah Air dalam berbagai versi lokal.
Baik Komunisme mau pun Islamisme tidak pernah berwujud tunggal dan seragam di kalangan para pengikutnya. Komunisme pernah dijadikan modal sebagian warga untuk melawan kekuasaan Pemerintah RI. Tapi tidak semua rekan seideologi mereka mendukung tindakan itu. Islamisme juga pernah dipakai sebagai modal oleh sebagian pengikutnya untuk menyerang Pemerintah RI. Juga tanpa didukung rekan dan umat seagama atau sealiran.
Sulit disangkal politik Orde Baru tersebut masih terus berlanjut hingga hari ini.
Gerakan anti-Jakarta juga pernah dilancarkan berbagai pihak lain tanpa acuan ideologis atau agama. Pemerintah pusat di Jakarta (sejak masa Soekarno) terbiasa menjuluki berbagai perlawanan itu sebagai "pemberontakan". Sebagian besar yang dituduh menyangkal. Terlepas dari perdebatan istilahnya, berbagai serangan terhadap Pemerintah RI itu tidak menyangkut Pancasila.
Yang mendorong kebencian mereka terhadap Pemerintah RI berbeda-beda. Ada yang menyangkut kebijakan negara dalam pertanahan. Atau kebijakan pertahanan dan keamanan, ketimpangan antar-daerah. Tapi sejak Orde Baru semua yang melawan pemerintah pusat dijuluki "anti-Pancasila".
Jika kebiasaan itu berlanjut, status Pancasila akan mirip doktrin Marxisme di negeri-negeri Komunis, atau doktrin keagamaan di sejumlah negara atau kerajaan berdasarkan agama. Banyak warganya yang termakan propaganda seperti itu. Dulu pernah ada gagasan "Ekonomi Pancasila". Sejak itu ada berbagai gagasan atau institusi sosial yang ingin di-Pancasila-kan sebagai slogan politik.
Baca juga : Kesaktian Pancasila dan Kecelakaan Sejarah
Hantu Orde Baru
Berlanjutnya warisan Orde Baru itu sulit dibantah atau dilawan. Bukan karena ada yang sengaja menghidup-hidupkan kembali semangat Orde Baru. Kalau pun ada kelompok yang rindu Orde Baru, mereka tak mampu berjasa atas situasi kini. Sedang yang anti-Orde Baru tak berdaya.
Rakyat Indonesia bisa secara langsung memilih seorang presiden tanpa kaitan masa lalu dengan rezim Orde Baru. Tapi siapa pun orang itu, ia tak akan berdaya membendung masuknya berbagai mantan tokoh kunci Orde Baru dalam pemerintahan dan ikut menentukan berbagai kebijakan publik.
Michael Vann, seorang profesor Amerika, baru-baru ini menulis tentang kondisi RI masa kini. Mengutip Gramsci, ia melihat rezim Orde Baru sudah mati tetapi sebuah rezim yang baru belum lahir untuk menggantikannya. Di tengah kekosongan hegemoni seperti ini, hantu Orde Baru akan terus bergentayangan.
Orde Baru termasuk rezim paling ambisius dan ganas dari rezim sebelumnya.
Kita tak perlu terlalu bersedih atau mencari kambing hitam. Di mana pun di dunia, tak ada perubahan sosial seradikal apa pun yang merombak secara total tata masyarakat lama dalam sepuluh atau 20 tahun. Orde Baru sudah meninggalkan Indonesia. Tapi Indonesia belum mampu meninggalkan Orde Baru.
Orde Baru termasuk rezim paling ambisius dan ganas dari rezim sebelumnya. Tapi untuk mengesahkan kekuasaannya ia masih membutuhkan satu warisan besar dari rezim sebelumnya, yakni Pancasila. Warisan itu tidak dielus-elus apa adanya, tapi dikemas bertolak-belakang dengan watak aslinya.
Indonesia masa kini tidak mungkin sepenuhnya menampik warisan Orde Baru. Masalahnya: mau diapakan sisa-sisa warisan itu?
Ariel Heryanto Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia