Hari Kesaktian Pancasila menciptakan slogan kesaktian Pancasila, tanpa kedalaman pengetahuan Pancasila. Kita diajak sepakat bahwa Pancasila sakti di atas ideologi lain, namun tak pernah dididik mengapa Pancasila sakti?
Oleh
SYAIFUL ARIF
·5 menit baca
Setiap 1 Oktober, kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini ditetapkan pemerintah Orde Baru untuk mengenang gugurnya para “pahlawan revolusi” dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Melampaui seremoni tahunan ini, ada baik -nya kita perdalam terma kesaktian Pancasila, agar ideologi bangsa ini benar-benar sakti.
Secara historis, peringatan Hari Kesaktian Pancasila sebenarnya merupakan alternatif bagi Hari Kelahiran (Harlah) Pancasila pada 1 Juni. Hari Kesaktian Pancasila ditetapkan melalui Keppres No 153 Tahun 1967 tentang Hari Kesaktian Pancasila, tiga tahun sebelum Harlah Pancasila dilarang sejak 1970. Sebelumnya, sejak 1964, 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama melalui Menteri Koordinator Kesejahteraan atas persetujuan Presiden Soekarno.
Sejak itu, hingga 1968, kita memperingati Harlah Pancasila. Bahkan Soeharto memberikan amanat dalam peringatan Harlah Pancasila, baik sebagai pejabat presiden pada 1967 dan sebagai presiden pada 1968.
Namun melalui radiogram Menteri Sekretaris Negara, Mayjen TNI Alam Syah pada 1970, peringatan Harlah Pancasila dihapuskan. Sebagai gantinya, Orde Baru kemudian menetapkan Hari Kesaktian Pancasila untuk mengikat pemahaman serta memori pembenturan Pancasila dengan komunisme.
Kini, setelah tanggal 1 Juni diperingati kembali sebagai Harlah Pancasila berdasarkan Keppres No 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, kita tetap memperingati Hari Kesaktian Pancasila tersebut.
Secara historis, peringatan Hari Kesaktian Pancasila sebenarnya merupakan alternatif bagi Hari Kelahiran (Harlah) Pancasila pada 1 Juni.
Persoalannya, berbagai kebijakan Orde Baru tentang Pancasila dilakukan secara a-historis, dengan menghapus sejarah dan pemikiran para perumus Pancasila. Ini dilakukan melalui penghapusan peringatan Harlah Pancasila dengan tujuan menegasikan peran Soekarno sebagai penggali Pancasila. Melalui penggunaan teks pidato Mr Muhammad Yamin yang mengusulkan lima sila, Orde Baru menyatakan Soekarno bukan satu-satunya penggali Pancasila. Terdapat Yamin yang dikonstruksikan mengusulkan lima sila pada 29 Mei 1945, dan Soepomo yang dicitrakan hal sama pada 31 Mei 1945.
Padahal ketika Presiden Soeharto membentuk Panitia Lima yang diketuai Bung Hatta pada 1975, Hatta telah menegaskan bahwa teks Yamin itu bukan notulensi pidato pada 29 Mei, melainkan draf Pembukaan UUD yang ditulis Yamin dalam rangka rapat Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945.
Yamin menulis draf itu atas perintah Soekarno sebagai ketua Panitia Sembilan, karena tugas dari panitia ini ialah merumuskan kembali pidato 1 Juni Soekarno menjadi dasar negara. Karena terlalu panjang (21 halaman), draf Yamin ditolak Panitia Sembilan (Hatta, 1979).
Ternyata draf itu masih disimpan Yamin dan dijadikan pengganti notulensi pidatonya pada 29 Mei yang dalam arsip Abdul Karim (AK) Pringgodigdo, hanya berjumlah dua halaman dan tak mengusulkan lima sila (AB Kusuma, 2017). Demikian pula Soepomo tak mengusulkan dasar negara, melainkan pengertian (teori) negara.
Kini manipulasi sejarah tersebut telah diluruskan melalui Keppres No 24 Tahun 2016 yang menetapkan kembali 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Meskipun residu pengetahuannya masih mendekam dalam buku Risalah Sidang BPUPKI-PPKI terbitan Sekretariat Negara (1992) yang tetap memuat teks pidato Yamin yang mengusulkan lima sila itu.
Dalam kaitan ini, negara harus merevisi buku itu dengan mengganti teks Yamin, dari teks Pembukaan UUD pada 22 Juni, dengan notulensi asli pada 29 Mei yang hanya dua halaman.
Penghapusan pemikiran
Namun dehistorisasi Pancasila tak hanya dilakukan Orde Baru atas Soekarno, melainkan pula pada para perumus Pancasila lain. Hal ini disebabkan kejujuran para Pendiri Bangsa atas fakta kelahiran Pancasila. Dampaknya, pemikiran Pancasila para Pendiri Bangsa pun tak dijadikan materi penguatan Pancasila, terutama di Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).
Beberapa pemikiran Pancasila tersebut memuat; pertama, Bung Hatta. Dalam peringatan Harlah Pancasila 1 Juni 1977 yang diadakan masyarakat (bukan negara), Hatta berpidato yang lalu dibukukan dalam Pengertian Pancasila (1977). Dalam pidato itu, Hatta membangun kontinuitas pemikiran Pancasila versi rumusan resmi, dengan usulan Pancasila Soekarno pada 1 Juni. Kontinuitas itu dibangun dengan membagi Pancasila ke dalam dua dimensi, yakni dimensi politik dan dimensi etis.
Hal ini berbeda dengan rumusan Pancasila resmi yang menempatkan dimensi etis di atas dimensi politik.
Dalam pidato 1 Juni, Soekarno menempatkan dimensi politik (kebangsaan, internasionalisme, demokrasi dan kesejahteraan sosial) di atas, sementara dimensi etis (ketuhanan) di bawah. Bagi Hatta hal ini memiliki kelemahan, karena membatasi nilai ketuhanan hanya bersifat sosiologis: toleransi beragama secara horizontal.
Hal ini berbeda dengan rumusan Pancasila resmi yang menempatkan dimensi etis di atas dimensi politik. Ini membuahkan perubahan atas konsep ketuhanan (sebagai sila pertama), di mana ketuhanan tidak hanya jadi prinsip toleran si, tetapi menjadi prinsip etis dan epistemologis bagi Pancasila.
Dalam pemikiran Hatta, sila Ketuhanan Yang Maha Esa lalu menjadi sila “yang memimpin dan membimbing sila-sila di bawahnya secara ikat-mengikat”.
Artinya, sila kemanusiaan hingga keadilan sosial merupakan “kelanjutan dengan perbuatan dalam praktik hidup” dari sila ketuhanan. Sebab, apa makna beriman pada Tuhan, jika tak dibuktikan melalui amal kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial?
Kedua, Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar yang merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) juga menulis buku Pantjasila pada 1950. Senada dengan Hatta, Ki Hadjar menegaskan peran Soekarno sebagai penggali Pancasila. Bahkan “Bapak Pendidikan” ini menyebut Soekarno pencipta falsafah Pancasila.
Berbeda dengan Hatta yang menjadikan ketuhanan sebagai sumber, Ki Hadjar menempatkan kemanusiaan sebagai visi yang menyifati semua sila.
Artinya, semua sila Pancasila merupakan praktik dari nilai kemanusiaan. Dalam kaitan ini, Ki Hadjar lalu menjadikan perlindungan terhadap HAM sebagai batas dari praktik berbangsa dan bernegara, karena kebangsaan kita dipagari oleh sila kerakyatan dan keadilan sosial. Pemikiran Ki Hadjar semestinya bisa jadi pedoman bagi pendasaran Pancasila sebagai jaminan perlindungan HAM.
Belum lagi pemikiran Soekarno sendiri yang mengacu pada “nasionalisme progresif”. Progresivitas ini bahkan telah diusulkan menjadi “ideologi internasional” ketika Soekarno berpidato di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1960.
Sebagai ideologi yang memuat nilai-nilai universal, Pancasila diusulkan Soekarno sebagai nilai-nilai internasional untuk mendorong PBB agar mampu menegakkan keadilan sosial di tengah dunia yang penuh trauma imperialisme.
Kesaktian sloganistik
Dengan demikian, Hari Kesaktian Pancasila sebenarnya menciptakan slogan tentang kesaktian Pancasila, tanpa kedalaman pengetahuan Pancasila.
Kita diajak menyepakati bahwa Pancasila sakti di atas ideologi lain, namun kita tak pernah dididik, mengapa Pancasila sakti? Jawaban atas pertanyaan ini sejak awal dimiliki para Pendiri Bangsa, yang pemikirannya dihapus dari Pancasila.
Maka tidak heran jika sebagian masyarakat lebih tertarik dengan khilafatisme, misalnya, karena mereka tidak pernah mengetahui pemikiran Hatta, penyusun “teosentrisme Pancasila” yang Ilahiah. Demikian pula kalangan progresif tidak tertarik Pancasila karena mereka tidak dikenalkan “nasionalisme progresif” Soekarno atau “humanisme demokratik” dari Ki Hadjar Dewantara.
Pancasila dislogankan bersifat sakti, tetapi akal budi kita tidak pernah tercerahkan olehnya, akibat penghapusan “kedalaman filosofis” dari dasar negara. Bagaimana kita mau memperjuangkannya?
Syaiful Arif,Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila