Pasèmowanna Para Ennom
Terjemahan ”Panggung Kaum Muda" dalam bahasa Madura, Provinsi Jawa Timur.
Baca Juga: Sekitar Sumpah Pemuda
Entah apa yang ada di pemikiran Soekarno, proklamator, saat menyampaikan pernyataan ini. Ia menempatkan pemuda sebagai kekuatan yang luar biasa.
Dalam peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Agustus 1956, Presiden I RI itu menyatakan, ”Tidak ada seorang pun di waktu itu yang menghitung-hitung atau menimbang-nimbang bagaimana dunia nanti akan menerima Proklamasi ini? Tidak ada seorang pun yang menghitung-hitung berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini jikalau aku berjoang dan berkorban untuk mempertahankannya? ... Investment of human skill meminta kita mendidik kader-kader kejuruan, kader-kader ekonomi, kader-kader teknis, kader-kader organisasi, meminta kita memperluas jumlah sekolah-sekolah kita, menambah tempat-tempat penggemblengan tunas-tunas muda kita.”
Soekarno menyadari masa depan bangsa ini di tangan kaum muda. Tunas muda. Bahkan, dia memercayai kader pemuda adalah pembaru, yang akan membawa Indonesia termasyhur dan diakui dunia. Berulang kali dia mengatakan, ”Berikan aku seribu orangtua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku satu pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Ada catatan yang menyebutkan Soekarno menyatakan seorang pemuda, tetapi catatan lain menyatakan sepuluh pemuda.
Masih dari tahun 1956, ia menambahkan, ”Marilah kaum intelektuil dan pemuda berjalan terus dengan mereka itu, yang itu berarti berjalan terus untuk mereka itu!” Mereka itu yang dimaksudkan ialah rakyat Indonesia yang saat itu belum terdidik sepenuhnya, tertinggal, dan miskin.
Harapan dan pemikiran Soekarno terhadap pemuda, meskipun sudah lebih dari 55 tahun, hingga saat ini masih relevan dan kembali mengiang saat bangsa ini memperingati Sumpah Pemuda yang digaungkan dalam Kongres Pemuda II tahun 1928. Ikrar pemuda kala itu menegaskan kaum muda Nusantara mengakui bertanah air dan berbangsa satu: Indonesia, serta menjunjung tinggi bahasa persatuan: bahasa Indonesia.
Kesepakatan itu, yang oleh Soekarno disebut sebagai Sumpah Pemuda, dirancang sejak Kongres Pemuda I tahun 1926, untuk menegaskan peran penting kaum muda dalam sejarah, pergerakan, dan perkembangan sebuah bangsa. Bahkan, kaum muda mempersiapkan kemerdekaan dan pemajuan negeri ini sejak pendirian Boedi Oetomo tahun 1908.
Marilah kaum intelektuil dan pemuda berjalan terus dengan mereka itu, yang itu berarti berjalan terus untuk mereka itu!
Baca Juga: Mengunjungi Museum Sumpah Pemuda
Relevansi peringatan tentang peran sentral pemuda, tetapi di sisi lain juga bisa menjadi masalah, kian terasa saat bangsa ini sejak tahun 2012 merasakan bonus demografi. Kondisi saat jumlah dan proporsi penduduk usia produktif melebihi penduduk usia tidak produktif. Usia produktif diasumsikan bisa berkarya dengan baik, yakni usia 15-64 tahun.
Mayoritas usia produktif adalah kaum muda. Sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, pemuda adalah warga negara dengan rentang usia 16-30 tahun. Dalam bahasa keseharian masyarakat, kaum muda adalah mereka yang termasuk generasi milenial.
Sensus Penduduk 2020 memperlihatkan penduduk berusia 15-19 tahun berjumlah 22,3 juta jiwa; usia 20-24 tahun sebanyak 22,6 juta jiwa; usia 25-29 tahun ada 22,3 juta jiwa; usia 30-34 tahun terdapat 21,9 juta jiwa; serta usia 35-39 tahun sebanyak 20,9 juta jiwa. Total mencapai 110 juta jiwa atau 40 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Merekalah generasi Y dan Z.
Jika kualitas sumber daya manusia (SDM) muda negeri ini rendah—pendidikan, kesehatan, daya literasi, dan kompetensi di bawah kualitas warga dari banyak negara lain—bonus demografi yang dirasakan bangsa ini bukan lagi menjadi anugerah, melainkan bisa menjadi persoalan pelik.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2020, sebesar 71,94, menempatkan negeri ini di peringkat ke-107 dari 189 negara. Kondisi ini tidak banyak berubah selama lima tahun terakhir. Tahun 2015, IPM Indonesia berada di peringkat ke-110 dari 188 negara, dan jauh di bawah sejumlah negara tetangga di Asia Tenggara.
Namun, seperti semangat Sumpah Pemuda yang menumbuhkan bibit keindonesiaan yang melampaui zamannya, kaum muda terus menjadi penyelamat wajah negeri. Saat Indonesia belum merdeka dan belum berbentuk negara, gaung Sumpah Pemuda membuat jeri penjajah. Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 juga dipersiapkan pemuda.
Dalam bidang lain, olahraga misalnya, wajah Indonesia di kancah internasional diselamatkan oleh pasangan Greysia Polii/Apriyani Rahayu, sebagai peraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020, dan tim Piala Thomas tahun ini. Dua ilmuwan muda Carina Citra Dewi Joe dan Indra Rudiansyah seperti menjadi perwakilan nyata dari negeri ini dalam melawan pandemi Covid-19, dengan terlibat dalam pengembangan vaksin AstraZeneca, yang hak patennya dilepaskan, sehingga warga dunia bisa menikmatinya setara.
Tepat tiga tahun lalu, saat peringatan Sumpah Pemuda yang ke-90, harian ini melaporkan kiprah 90 pemuda sebagai yang menyangga bangsa ini. Mereka berasal dari berbagai penjuru Nusantara, dan lintas masa, seperti Mohammad Hatta, Soekarno, Soetomo, Wahid Hasyim, Soedirman, Sumitro Djojohadikusumo, BJ Habibie, Rudy Hartono, Soe Hok Gie, William Tanuwijaya, Nadiem Anwar Makarim, dan Gamal Albinsaid (Kompas, 28/10/2018).
Tentu banyak nama lainnya, kaum muda, yang berkiprah bagi kemajuan negeri ini. Namun, pada saat yang sama, publik juga terus merindukan kiprah dari kaum muda bagi pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan rakyat, dalam berbagai bidang.
Pelaku korupsi di negeri ini, sesuai data Indonesia Corruption Watch (ICW), semakin muda. Hal itu menggambarkan, semakin banyak pula politisi, pelaku usaha, atau profesi lain yang masih muda yang terjerat korupsi.
Baca Juga: Saya Tahu Ayah Saya Ikut Sumpah Pemuda dari "Kompas"
Apalagi, saat sebagian kaum muda melakukan upaya nyata bagi pembangunan bangsa, bersamaan pula sejumlah pemuda menunjukkan contoh yang tidak terpuji. Pelaku korupsi di negeri ini, sesuai data Indonesia Corruption Watch (ICW), semakin muda.
Hal itu menggambarkan, semakin banyak pula politisi, pelaku usaha, atau profesi lain yang masih muda yang terjerat korupsi. Selain itu, tidak sedikit pula anak muda yang menjadi pemimpin di daerah atau penyelenggara negara hanya dengan menggantungkan pada pengaruh dan nama besar orangtua.
Belum lagi, masih terjadi konflik horizontal di masyarakat, konflik antargolongan, sikap permusuhan yang berdasarkan pilihan politik atau ras, tawuran, atau perusakan lingkungan, yang pelakunya adalah kaum muda. Bahkan, sejumlah pemuda secara terbuka memaksakan ”kebenaran” yang dipahaminya kepada warga lain, termasuk dengan kekerasan. Miris.
Padahal, 93 tahun lalu, juga seperti diingatkan Soekarno, kaum muda adalah masa depan negeri ini. Dari berbagai latar belakang, daerah yang berbeda, bahasa beragam, dan sejumlah perbedaan lain, mereka bersepakat untuk bersatu dalam wadah Indonesia yang satu. Perbedaan itu mempersatukan mereka demi Indonesia yang merdeka.
Negeri ini adalah panggung pemuda untuk bersatu, demi Indonesia yang merdeka dari kemiskinan, ketertinggalan, dan korupsi. Indonesia yang rakyatnya sejahtera.