Sumpah Pemuda sebagai salah satu engsel sejarah perjalanan bangsa diperingati setiap tahun. Namun, peringatan itu biasanya terasa hambar karena terbatas pada upacara, pidato bernuansa retorik, dan seremoni lain.
Oleh
J Kristiadi
·4 menit baca
Sederet kalimat terdiri kurang dari 40 kata, tetapi mempunyai kedigdayaan luar biasa. Narasi tersebut dikumandangkan para pemuda Indonesia dari seantero Nusantara. Mereka berkumpul pada 28 Oktober 1928 dan bersumpah untuk bersatu. Peristiwa monumental itu disebut Hari Sumpah Pemuda. Tekad mereka berhasil. Fenomena yang dianggap ajaib dan sangat mengagumkan adalah bahasa persatuan ialah bahasa Melayu pantai yang penuturnya amat terbatas.
Bahasa itu, meski penuturnya sedikit, kebanyakan digunakan pedagang dan nelayan yang mobilitasnya tinggi. Maka, diharapkan bahasa itu lebih cepat tersebar di wilayah lain Indonesia. Para pemuda yang mewakili daerah-daerah dengan bahasa yang pengujarnya jauh lebih banyak, demi persatuan Indonesia, ikhlas bahasanya tak digunakan sebagai bahasa nasional.
Perjuangan itu tak mudah mengingat pada struktur masyarakat Indonesia melekat dua faset yang kompleks dan ”idiosinkratis”. Pertama, konfigurasi sosial amat beragam dan merekat identitas primordial, seperti suku, agama, ras, adat istiadat, bahasa, dan golongan. Fenomena itu tecermin dari para pemuda yang mewakili daerahnya menggunakan identitas lokal, seperti Jong Pasundan, Jong Sumatera, Jong Jawa, Jong Celebes, Jong Ambon, dan Jong Minahasa. Kedua, struktur masyarakat Indonesia terbelah oleh kesenjangan yang tajam; antara kelas atas dan kelas bawah, serta struktur feodalisme.
Modal perjuangan para pemuda Indonesia saat itu adalah berkobarnya semangat membangun keindonesiaan. Gerakan itu merupakan counter ideology yang selama masa kolonial dihegemoni ideologi pecah belah (divide et impera). Gagasan persatuan sangat penting sebagaimana tersirat dalam sepenggal kalimat wanti-wanti Bung Hatta bahwa membangun per-satu-an, bukan per-sate-an (majalah Daulat Ra’yat, 20 April 1932).
Sindrom per-sate-an hanya sekadar berkumpul menjadi satu karena daya paksa kekuatan eksternal tanpa dilandasi semangat dan tekad mulia. Persatuan yang dibangun tanpa etos hanya akan mampu menyatukan teritori, tetapi tak akan mampu mempersatukan hati, semangat, dan rasa kebersamaan. Maka, persatuan Indonesia harus dilandasi etos dan semangat saling berkorban serta menghargai keberagaman. Persatuan Indonesia bukan sekadar instrumen politik untuk kepentingan kekuasaan jangka pendek golongan tertentu.
Semangat Sumpah Pemuda merupakan salah satu engsel sejarah perjuangan kemerdekaan mewujudkan negara bangsa. Persendian sejarah bangsa yang lebih dulu muncul adalah Boedi Oetomo, organisasi kemasyarakatan yang lahir 20 Mei 1908. Kehadirannya membangkitkan kesadaran masyarakat membangun organisasi sejenis yang jumlahnya semakin banyak sehingga menjadi pergerakan nasional mewujudkan kemerdekaan.
Kiprah politik ini merupakan kristalisasi asketisme para intelektual muda Indonesia yang meyakini merebut kemerdekaan, selain dilakukan dengan perlawanan bersenjata, juga memerlukan perjuangan politik. Simbolisasi pergerakan politik ini kemudian hari dikenal sebagai Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap 20 Mei.
Kesinambungan dan tautan di antara kedua engsel sejarah itu bermuara pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Peristiwa historis-fenomenal itu menjungkirbalikkan status wilayah yang terdiri atas lautan dan taburan belasan ribu pulau dan telah berabad-abad turun-temurun dihuni manusia yang disebut penduduk. Setelah proklamasi, kawasan yang sangat luas itu bukan sekadar area, melainkan juga entitas politik berdaulat bernama Indonesia. Isinya bukan dinamakan penduduk, melainkan disebut warga negara yang berhak dan bertanggung jawab mengelola negara untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
Sumpah Pemuda sebagai salah satu engsel sejarah perjalanan bangsa diperingati setiap tahun. Namun, peringatan itu biasanya terasa hambar karena terbatas pada upacara, pidato bernuansa retorik, dan seremoni lain. Peringatan seharusnya bisa menggugah generasi muda menyerap nilai-nilai peristiwa sejarah yang sangat menakjubkan. Merawat etos dan semangat Sumpah Pemuda sangat diperlukan demi kelangsungan kehidupan bersama mewujudkan kesejahteraan. Keutamaan harus terpatri pada generasi muda agar warisan nilai-nilai dipahami, dirasakan, dihayati, dan dijadikan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Semangat membangun etos nasionalisme perlu dirawat agar tak mudah terdistorsi kepentingan kekuasaan. Sebab, terminologi sumpah semakin kehilangan tuahnya, terutama di kalangan elite. Mereka bersumpah sekadar melegitimasi kekuasaan. Padahal, secara maknawi ia adalah pernyataan sakral yang diucapkan secara khidmat dengan bersaksi kepada Tuhan untuk menguatkan tekad melakukan sesuatu, bahkan berani menderita apabila ingkar.
Karena itu, politik pendidikan sejarah sangat mutlak bagi generasi muda agar mereka memahami, menghayati, dan menerapkan semangat persatuan. Modal dasarnya adalah generasi muda yang berbakat, berwatak, dan berketerampilan yang tersebar di seluruh Indonesia.