Saya Tahu Ayah Saya Ikut Sumpah Pemuda dari ”Kompas”
Hadisudjono Sastrosatomo tidak pernah tahu ayahnya adalah salah satu peserta Kongres Pemuda II yang mencetuskan Sumpah Pemuda 1928. Dia baru tahu setelah membaca berita di ”Kompas”.
Oleh
Andreas Maryoto
·6 menit baca
Ayahnya kerap mengirim salam untuk dosen-dosennya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ketika ia hendak berangkat kuliah. Mereka adalah teman-teman kuliah semasa ayahnya studi di Sekolah Kedokteran Pribumi Stovia. Tak banyak cerita lain tentang orangtuanya itu. Ayahnya tergolong pendiam dan tak banyak cerita. Hingga ayahnya meninggal pada umur 94 tahun pun, sebuah fakta penting sejarah di dalam keluarganya tak pernah diungkap.
”Saya tidak pernah tahu kisah ayah saya dalam sejarah bangsa ini. Sama sekali tidak pernah cerita. Sampai bapak meninggal, ia juga tidak pernah menceritakan peran dirinya dalam pergerakan nasional. Hingga kemudian, saya membaca tulisan tentang Sumpah Pemuda di harian Kompas tahun 2017. Saya menemukan foto bapak saya ikut Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda,” kata Hadisudjono Sastrosatomo (75), anak dari Sapoean Sastrosatomo, seorang pemuda aktivis Jong Java yang ikut Kongres Pemuda tahun 1928.
Sebuah laporan Kompas bertanggal 29 Otkober 2017 di halaman 2 berjudul ”Dari Semua Golongan, untuk Satu Indonesia” pada bagian bawah memuat sekelompok pemuda yang ikut Kongres Pemuda. Mereka dipotret seusai pembacaan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 di halaman depan Gedung Indonesische Clubhuis milik Sie Kong Liong di Jalan Kramat 106 Jakarta Pusat. Foto ini merupakan sebuah foto reproduksi dari Idayu Foto, sebuah lembaga yang salah satunya bergerak di bidang penerbitan.
Di dalam teks foto itu tertulis, ”Dari kiri ke kanan duduk antara lain Sunario, Sapoean Saatrosatomo, Zakar, Moh Sigit, Siwy, Maluhollo. Berdiri dari kiri ke kanan Muh Yamin, Suwondo, Abu Hanafiah, Amilius, Tamzil, Malzar, Zainal Abidin, H Moh Mahjudin, Sudiono Pusponegoro, Pangaribuan, Siregar, dan lainnya”. Hadisudjono terkaget begitu membaca laporan itu dan melihat foto ayahnya. Meski demikian, ia tidak heran mengapa kisah itu tak pernah diceritakan ke keluarga. Ayahnya memang lebih banyak diam dan bekerja dibandingkan bercerita tentang kisah hidupnya. Sapoean juga tidak pernah pamer. Hidupnya lurus.
”Foto bapak saya jelas sekali di laporan itu. Saya kagum di berita itu banyak ditulis nama-nama dengan akurat. Nama itu semua benar karena saya masih mengenal beberapa orang teman bapak. Salah satunya Mr Zaenal Abidin, advokat yang sangat terkenal kala itu. Setelah itu saya kasih tahu adik-adik, anak, dan cucu saya tentang Pak Sapoean itu,” kata Hadisudjono yang kini juga menjadi dokter. Sapoean tak pernah menceritakan kisah itu, bahkan hingga ia meninggal tahun 2000.
Riwayat Sapoean
Hadisudjono menceritakan riwayat ayahnya. Sapoean adalah anak sulung dari Mas Sadeli dan Sarminah. Ia lahir di Klaten pada 16 Oktober 1906. Sadeli yang bekerja sebagai pegawai pamong praja sempat dikirim ke luar Jawa, yaitu Bali dan Sumatera Timur. Di Sumatera Timur ia ditempatkan di Pangkalanbrandan yang kala itu gemerlap karena merupakan ladang minyak.
Di Pangkalanbrandan, Sarminah melahirkan adik-adik dari Sapoean, kecuali anak nomor dua yang dilahirkan di Buleleng, Bali. Total anak pasangan Sadeli dan Sarminah sembilan orang. Dua adiknya adalah tokoh yang terkenal sebagai Raja Kapal, yaitu Soedarpo Sasatrosatomo dan tokoh politik Soebadio Sastrosatomo.
Sapoean mendapat pendidikan yang baik di tempat itu. Bahkan ia bisa mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School yang dikhususkan untuk anak-anak keturunan Belanda berkat kegigihan ibunya bernegosiasi dengan pejabat Belanda. Ia juga sempat mengikuti Klein Ambtenaar Examen, sebuah ujian untuk menjadi pegawai pamong praja.
Sapoean kemudian melanjutkan studi di Batavia. Saat Sumpah Pemuda, ia masih berumur 22 tahun. Hadisudjono menuturkan, beberapa teman Sapoean, antara lain, tokoh pergerakan Johanna Masdani dan Prof R Slamet Iman Santoso yang kemudian mendirikan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Ayahnya sempat bercerita Slamet Iman Santoso adalah teman satu indekos saat studi di Stovia. Ketika Hadisudjono berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, orangtuanya kerap berkirim salam untuk teman-temannya itu meski tak tahu cerita lengkapnya.
”Slamet kuwi sinau terus, aku ki mung main karambol (Slamet itu belajar terus, saya cuma main karambol). Dia lulus dengan angka baik, sementara saya pas-pasan,” tutur Hadisudjono menirukan ayahnya ketika ayahnya sedikit berkisah tentang teman-temanya di Stovia. Meski demikian, Sapoean dan Slamet kemudian bisa lulus bersamaan.
Pada tahun 1932, Sapoean berhasil menamatkan studi di Stovia dan kemudian mendapat tugas di Tanjungselor, Bulungan, Kalimantan. Ia bertugas sebagai dokter dan mengobati masyarakat di pedalaman. Untuk satu perjalanan ke pedalaman dengan menggunakan perahu serta kemudian melakukan pengobatan, mereka butuh waktu dua bulan. Suatu saat kapalnya pernah terbalik dan obat yang diangkut hanyut.
”Saat bekerja setiap bulan, Sapoean mengirim uang untuk pendidikan adik-adiknya. Ia sangat berkecukupan karena bisa membiayai sekolah adik-adiknya. Karena memperhatikan adik-adiknya itu, ia tergolong telat menikah kala itu,” kata Hadisudjono.
Dari Tanjungselor, Sapoean dipindah ke Kabupaten Majalengka dan kemudian cukup lama ia ditugaskan di Kabupaten Tasikmalaya. Di kota itu, ia sempat jadi tahanan rumah karena tidak mau bekerja sama dengan pihak Belanda saat agresi militer.
Soedarpo adalah salah satu adik yang dibiayai dan juga ingin mengikuti jejaknya sebagai dokter. Seusai lulus pendidikan menengah atas di Yogyakarta, Soedarpo memilih pendidikan kedokteran di Jakarta. Salah satu peristiwa yang membuat Soedarpo ingin menjadi dokter adalah saat ia ikut Sapoean di dalam sebuah mobil untuk mengunjungi orang-orang sakit di Majalengka. Sopir Sapoean diminta menyalip mobil seorang pejabat Belanda di Majalengka ketika ada kesempatan karena si pejabat ini berjalan di tengah terus.
Rupanya, tindakan Sapoean itu tidak berkenan di hati si pejabat Belanda itu. Ia melaporkan tindakan Sapoean ke Bupati Majalengka. Bupati menegur Sapoean keesokan harinya. Apa yang dilakukan Sapoean? Dengan tenang ia menjawab, ”Kalau Anda mau bikin perkara dengan peristiwa itu, Anda dipersilakan memecat saya”.
Mendengar jawaban itu, Soedarpo mengaku terkesan dengan peristiwa itu. Belakangan, ia mengetahui kakaknya berani menjawab seperti itu karena sebagai seorang dokter membuat ia percaya diri dan dibutuhkan oleh Belanda. Soedarpo kemudian memilih studi kedokteran meskipun tidak sempat diselesaikan.
Anak Sapoean lainnya, Djoko Prabowo Sastrosatomo, dalam salah satu tulisannya menceritakan, pada tahun 1943, Sapoean menikahi mojang Sunda asal Tasikmalaya bernama Suwirah. Dari pernikahan ini, mereka dikarunia lima putra dan satu putri. Di Tasikmalaya, Sapoean sempat menjadi kepala rumah sakit umum dari tahun 1948-1949. Kemudian ia memutuskan pindah ke Bandung sebagai dokter umum.
”Namun, beliau masih sering kali bolak-balik Bandung-Tasikmalaya untuk melayani para pasien beliau yang ada di Tasikmalaya,” kisahnya.
Dedikasi Sapoean sebagai seorang dokter ditunjukkan secara konsisten sampai usia senja. Salah satu dedikasi yang diingat adalah Sapoean tidak pernah menolak apabila ada pasien yang datang ke rumah pada waktu tengah malam karena sakit asmanya sedang kumat. Bahkan, kalau pasiennya tidak bisa datang ke rumah, ia yang mendatangi sang pasien ke rumahnya untuk diperiksa dan diobati. Kisah ini sangat sering kali terjadi.
Sapoean mempunyai beberapa hobi. Waktu muda, ia suka main bola dan kemudian badminton. Setelah menjadi dokter, ia gemar dengan fotografi. Hobi lainnya yang konsisten dijalankan sampai usia senjanya adalah membaca. Berbagai jenis buku saku menjadi koleksi beliau, terutama yang berbahasa Inggris. Majalah asing yang menjadi langganannya adalah Newsweek dan Readers Digest. Tidak ketinggalan, ia membaca jurnal profesi yaitu Journal American Medical Association yang menjadi santapannya.
”Adapun kantor berita asing yang menjadi favorit beliau adalah BBC London dan Radio Australia. Setiap pagi, beliau mendengarkan berita-berita internasional. Adapun koran lokal yang menjadi langganannya adalah Kompas dan Pikiran Rakyat. Salah satu rubrik Kompas yang tidak pernah beliau lewatkan adalah rubrik teka-teki silang alias TTS,” kisah Djoko.
Di usia senja, Sapoean masih juga menyimpan peristiwa tahun 1928 itu dan tak diceritakan ke anak-akanya. Ia memang tidak banyak bicara dan tidak suka pamer, termasuk ketika Hadisudjono mendirikan dan menjabat sebagai Direktur MMC Kuningan tahun 1978-1979. Sapoean hanya berkata, ”Kowe dadi dokter wae, ora sah mokal-mokal”. Kamu menjadi dokter sajalah, enggak usah membuat sesuatu yang tidak mungkin!