Mencari Pemimpin Indonesia 2024
Dari hasil riset yang kemudian dibukukan ini, walaupun berdasarkan data lapangan tahun 2018, menurut hemat saya, tiga bab yang membahas pemilihan capres dan cawapres 2019 bisa dijadikan sebagai acuan Pemilu 2024.
Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Ciri negara dengan sistem pemerintahan presidensial adalah kepala pemerintahan merupakan hasil pilihan rakyat secara langsung dan berganti atas dasar periode masa jabatan yang tetap (Arend Lijphart, Yale University Press, 1999).
Pascareformasi, konstitusi Indonesia telah tegas mengatur bahwa presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan membatasi masa jabatan selama lima tahun. Kemudian boleh dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Jika dikontekskan dengan situasi pemerintahan Indonesia saat ini, masa jabatan pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin mulai memasuki tahun ketiga. Tidak terasa akan segera berakhir. Meski jadwal penetapan tahapan pemilu dan pilkada 2024 belum ada kepastian, rencana yang terdengar ke publik hendak dimulai pada awal tahun 2022.
Beberapa lembaga survei sudah mengeluarkan hasil elektabilitas tokoh yang memiliki kualitas menjadi presiden 2024. Misalnya, lembaga survei Charta Politika mengeluarkan rilis survei 12 Agustus 2021, tiga tokoh yang memiliki elektabilitas tertinggi adalah Ganjar Pranowo (23,3 persen), Anies Baswedan (19,8 persen), dan Prabowo Subianto (19,6 persen). Dari hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan pada 15-21 September 2021, Prabowo mendapat suara dukungan 20,7 persen, Ganjar Pranowo (19 persen), dan Anies Baswedan (14,3 persen).
Kemudian hasil survei terbaru dirilis oleh Litbang Harian Kompas, survei dilakukan pada 26 September sampai 9 Oktober 2021. Tiga nama dengan elektabilitas tertinggi adalah Ganjar Pranowo (13,9 persen), Prabowo Subianto (13,9 persen), dan Anies Baswedan (9,6 persen). Dari hasil survei tiga lembaga tersebut, terlihat bahwa tiga nama tokoh dengan elektabilitas tertinggi menunjukkan hasil yang sama meski persentase berbeda-beda.
Buku Partai Politik & Pemilu Serentak 2019: Kandidasi & Koalisi karya para peneliti Pusat Riset Politik BRIN ini menjelaskan bagaimana pola kandidasi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dari pengalaman Pilpres 2019.
Substansi berasal dari riset tim pemilu di Pusat Penelitian Politik LIPI, yang sekarang berganti nomenklatur menjadi Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRPolitik BRIN). Bagian pertama membahas tentang Sistem Pemilu Serentak, bagian kedua tentang Kandidasi Pileg 2019, bagian ketiga tentang Kandidasi dan Koalisi Pilpres 2019, bagian keempat merupakan penutup.
Sebelas bab dalam buku ini merupakan satu kesatuan hasil riset. Catatan dan rekomendasi dari tim dapat pula ditemukan dalam buku ini secara jelas.
Namun, pada tinjauan ini lebih difokuskan kepada kandidasi capres dan cawapres.
Ada tiga bab dalam buku ini yang secara eksplisit membahas tentang pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu bab keempat, tentang Sistem Pemilihan Presiden/Wakil Presiden Tahun 2019 ditulis oleh Sri Nuryanti. Bab kesembilan tentang Prosedur, Realitas, dan Kecenderungan Kandidasi Pilpres 2019 ditulis oleh Firman Noor. Bab sebelas tentang Kecenderungan Kandidasi dan Koalisi Pemilu 2019 ditulis oleh Syamsuddin Haris.
Pemilihan presiden dan wakil presiden sejak tahun 2019 mengalami perubahan. Dari semula diselenggarakan terpisah dari legislatif, penyelenggaraannya kemudian dilaksanakan secara bersama-sama. Secara konseptual negara yang menganut sistem presidensial memang penyelenggaraan pileg tidak dilaksanakan sebelum pilpres. Penataan proses kepemiluan ini sebagai upaya penguatan sistem presidensial di Indonesia. Melalui mekanisme keserentakan ini diharapkan akan dihasilkan pemerintahan yang kukuh.
Namun, Nuryanti pada bab empat buku ini memberikan catatan dalam penerapan sistem pemilu serentak di Indonesia. Adanya ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) pada Pilpres 2019 cenderung dianggap janggal. Secara logika, pemberlakuan presidential threshold bertolak belakang dari semangat tujuan diterapkannya pemilu serentak, yaitu menghapuskan politik transaksional.
Pada bab sembilan, Noor menjelaskan, kandidasi capres dan cawapres merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pilpres secara langsung. Kandidasi adalah awal dibentuknya koalisi pemerintahan yang kemudian menentukan nasib seluruh rakyat Indonesia.
Baca juga : Pergerakan Elektabilitas Prabowo, Ganjar, dan Anies
Kandidasi Pilpres 2019, menurut Noor, dilihat dari dua aspek, yaitu aspek prosedural dan aspek implementasi. Dalam aspek prosedural dapat dibagi menjadi tiga hal: (1) lingkar konsentrik dan tahapan pembuatan keputusan, (2) badan-badan normatif penentu kandidasi, dan (3) substansi dari prosedur kandidasi: apakah kecenderungan pro-elite/oligarki atau pro-demokrasi. Sementara aspek implementasi dilihat dari: (1) aktor dan elemen riil penentu kandidasi, (2) kedudukan prosedur dalam kandidasi, dan (3) rasionalisasi atau motif kandidasi.
Dalam aspek prosedural, pengambilan keputusan di berbagai partai terkait dengan kandidasi capres dan cawapres beragam. Beberapa partai di Indonesia telah menetapkan lembaga struktural yang berwenang terkait dengan kandidasi. Sebagian partai politik tidak terlalu bergantung pada lembaga dalam soal kandidasi. Dalam pengambilan keputusan ada yang disahkan langsung oleh lembaga yang ditunjuk, ada yang dilakukan dalam forum pengambilan keputusan kolektif atau lembaga yang lebih tinggi. Namun, menurut Noor, perbedaan ideologis partai tampak tidak membedakan mekanisme dalam menentukan kandidatnya.
Proses kandidasi capres dan cawapres di partai-partai masih cenderung elitis. Meski terdapat partai-partai yang secara prosedural memberikan peluang cukup besar keterlibatan kader dan elemen partai lainnya, di kebanyakan partai, hanya orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan yang dapat turut serta menentukan proses kandidasi. Tidak mengherankan, partai-partai masih cenderung oligarkis. Dalam proses kandidasi ini, hampir seluruh partai di Indonesia, yang menentukan adalah figur-figur puncak di partai.
Adapun terkait latar belakang motif kandidasi capres dan cawapres, Noor membaginya menjadi lima hal, yaitu (1) motif ideologi partai, (2) motif kepentingan untuk mewujudkan agenda-agenda politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya, (3) motif mendukung sosok kandidat ideal seorang pemimpin, (4) motif identitas politik, serta (5) motif oportunis-praktis.
Pada Pilpres 2019, penentuan kandidasi capres dan cawapres tidak memperlihatkan peran ideologi. Menurut Noor, justru penentuan preferensi politik partai-partai di Indonesia lebih dibimbing pada hal-hal yang bersifat non-ideologis. Karena itu, kandidasi pada Pilpres 2019 tidak memperlihatkan suatu yang baru dari studi kandidasi sekitar dua dekade reformasi Indonesia.
Sejalan dengan yang disampaikan Noor, pada bab sebelas, Haris mengungkapkan bahwa sebagian besar partai yang dikuasai oleh para pemimpin oligarkis tidak memberikan anggota atau kadernya untuk turut memilih pemimpin yang layak.
Proses kandidasi capres dan cawapres di partai-partai masih cenderung elitis.
Peluang kader terbaik partai cenderung tertutup untuk maju sebagai capres dan cawapres di 2019. Implikasinya adalah melembaganya proses kandidasi yang cenderung tertutup, elitis, dan oligarkis, seolah-olah proses kandidasi capres dan cawapres hanya menjadi hak para elite partai secara terbatas.
Permasalahan ini berasal dari ketentuan UU tentang Pemilihan Umum. Menurut Haris, regulasi tersebut tidak mendorong berlangsungnya proses rekrutmen pasangan capres dan cawapres secara terbuka dan demokratis. UU Pemilu membiarkan hal ini menjadi wilayah internal setiap parpol sehingga muncullah para ketua umum menjadi capres yang disepakati secara aklamasi.
Semestinya UU Pemilu bisa melembagakan proses rekrutmen politik secara terbuka dan demokratis. Hal ini dapat dilakukan dengan momentum forum musyawarah partai mulai tingkat daerah kabupaten/kota hingga tingkat nasional. Dengan tingkatan yang berjenjang tersebut, seluruh suara anggota partai dan elemen partai lainnya akan terakomodasi.
Secara garis besar, para penulis sudah berhasil melakukan pembahasan tentang sistem pemilihan presiden, prosedur, serta realitas kecenderungan kandidasi dan koalisi Pilpres 2019. Buku ini diangkat dari hasil penelitian berdasarkan data lapangan tahun 2018, tetapi metodologi penelitian tidak dibahas secara jelas dalam buku ini.
Tim penulis menyajikan hasil penelitian yang dilakukannya secara kualitatif. Mungkin jika data yang disajikan didukung data yang bersifat kuantitatif, akan lebih mempermudah pembaca dalam memperoleh informasi yang disajikan.
Dari segi sistematika penulisan, pengorganisasian ide para penulis telah terstruktur dengan baik. Akan tetapi, lantaran buku ini merupakan kumpulan bunga rampai hasil laporan penelitian, yang ditulis beberapa penulis, terasa ada bagian yang ditulis dengan gaya bahasa yang masih sulit dipahami. Pembaca awam yang bukan berlatar belakang akademisi ilmu politik perlu waktu lumayan banyak agar bisa menemukan inti pembahasan dengan baik dan komprehensif. Dari segi desain sampul buku kurang menarik perhatian untuk dibeli dan dibaca.
Terlepas dari kekurangan yang ada, secara umum buku ini layak dijadikan bahan diskusi bagi para pegiat politik dan sivitas akademika di kampus.
Terlepas dari kekurangan yang ada, secara umum buku ini layak dijadikan bahan diskusi bagi para pegiat politik dan sivitas akademika di kampus. Sementara untuk pemimpin ataupun anggota partai politik, buku ini bisa dijadikan acuan dalam proses kandidasi capres dan cawapres pada pemilu serentak 2024.
Tentu tersembul harapan pemilu akan dilaksanakan secara demokratis. Artinya, bukan hanya elite partai yang bisa mencalonkan diri, apalagi ditentukan secara sepihak. Dengan demikian, melalui mekanisme yang demokratis, diharapkan dihasilkan pemimpin yang benar-benar layak dan berkualitas tinggi sebagai Presiden Indonesia 2024. Demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana tujuan bangsa Indonesia yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Bukan untuk memenuhi kepentingan segelintir orang, baik elite politik, oligarki, maupun pebisnis gelap.
Sutan Sorik, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Kenegaraan FH UI/Peneliti Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRPolitik BRIN)
Judul Buku : Partai Politik & Pemilu Serentak 2019: Kandidasi & Koalisi
Penulis : Aisah Putri Budiatri, Devi Darmawan, Firman Noor, dkk
Editor : Ridho Imawan Hanafi
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun Terbit : 2021
Jumlah Halaman : XIX + 460 halaman
ISBN : 978-602-433-999-9