Putusan yang dijatuhkan hakim terkait dengan polusi udara Jakarta merupakan kewajiban pemerintah. Meskipun begitu, untuk mewujudkan langit biru Jakarta tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat.
Oleh
FAISOL RAHMAN
·4 menit baca
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait dengan polusi udara Jakarta menjadi kado indah bagi seluruh masyarakat yang mendambakan kualitas udara yang sehat. Majelis hakim memutuskan para tergugat, yaitu Presiden Joko Widodo, Gubernur Anies Baswedan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Kesehatan telah lalai memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Kualitas udara yang baik adalah kebutuhan hidup bagi semua makhluk hidup di muka bumi. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam situsnya, polusi udara mengakibatkan kematian sekitar 7 juta orang di seluruh dunia. Jadi, setiap 14 detik satu orang meninggal, jauh di atas angka kematian akibat Covid 19 sebanyak 4,6 juta.
Setelah amendemen, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat telah diakui dalam Pasal 28H Ayat (1) Konstitusi UUD NRI Tahun 1945. Hak asasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan, harkat, dan martabat manusia. Sifat HAM tersebut menekankan arti penting keberadaan HAM, yaitu bagaimana upaya-upaya pemerintah untuk memberikan jaminan kepada masyarakat dalam pemenuhan HAM.
Konstitusionalisme lingkungan diaktualisasikan dalam interpretasi hakim terhadap jaminan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai amanat konstitusi. Hakim adalah ”corong undang-undang” yang konstitusional. Sesuai asas res judicata provaritate habetur, yang berarti setiap putusan hakim harus dianggap benar dan dihormati.
Kendati pun, substansi putusan hakim terkesan inefisien karena hakikatnya menegaskan kembali wewenang dan tanggung jawab pemerintah. Sebaliknya, putusan hakim dapat menjadi jalan pintas untuk mempersingkat mekanisme pengambilan kebijakan yang diprioritaskan.
Putusan tersebut mengisi ”ruang kosong” atau ”suplemen” bagi pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya secara optimal sehingga menjembatani antara kinerja pemerintah dan amanat konstitusi. Bahkan, jika dirasa berlebihan, tentu tak akan pernah ada pihak yang merasa dirugikan.
Putusan hakim juga mengukuhkan legitimasi berbagai pendapat pakar lingkungan yang terkait dengan kualitas udara Jakarta sehingga lebih mengikat secara hukum. Dalam kasus ada pendapat yang berbeda, perdebatan berlarut-larut seharusnya dapat diminimalisasi.
Dalam perspektif HAM, gugatan yang terdaftar sejak 2019 adalah wujud jaminan pemenuhannya. Gugatan tersebut bukanlah kebaikan bagi penggugat semata. Namun, kebaikan kolektif bagi semua makhluk hidup, termasuk setiap orang pada masa sekarang dan generasi yang akan datang.
Penggugat bukanlah satu-satunya orang yang terpengaruh pencemaran udara. Meskipun dampaknya akan berbeda-beda, kualitas udara yang dihirup tidaklah jauh berbeda. Hanya saja, para penggugat mampu menunjukkan suatu sebab akibat, di mana perbuatan melawan hukum para tergugat terbukti menimbulkan kerugian bagi hak asasinya, sekaligus bagi setiap orang yang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Baik hakim, penggugat, maupun aparatur pemerintah menghirup udara yang sama di Jakarta. Tak berlebihan jika putusan hakim dianggap, cermin aspirasi dan khendak masyarakat terhadap pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Baik hakim, penggugat, maupun aparatur pemerintah menghirup udara yang sama di Jakarta.
Karena itu, langkah Presiden Jokowi dan kementerian sektoral yang mengajukan banding patut kita pertanyakan akuntabilitasnya. Bukankah putusan yang dijatuhkan hakim adalah kewajiban pemerintah?
Tanpa adanya pertimbangan yang substansial, langkah banding hanyalah menghambur-hamburkan sumber daya pemerintah semata. Sebaiknya anggaran banding dialokasikan untuk menanam pohon, misalnya, ataupun melaksanakan apa yang diputuskan oleh hakim sebagai sikap penaatan konstitusionalisme lingkungan oleh pemerintah.
Peran serta masyarakat
Sebaik apa pun putusan pengadilan, tidak dengan sendirinya akan menyebabkan transformasi kebijakan lingkungan pemerintah, selaku pemegang kekuasaan eksekutif. Komitmen Gubernur Jakarta yang tidak akan mengajukan banding dan akan melaksanakan putusan patut diapresiasi. Pertanyaan adalah, mampukah pemerintah mewujudkannya?
Kompleksitas masalah lingkungan perkotaan membuat pekerjaan semakin berat. Bukankah Jakarta sedang menghadapi ancaman tenggelam dan rutinitas banjir. Belum selesai satu masalah, lalu timbul masalah lingkungan lainnya.
Secara bijaksana, tanggung jawab tersebut memang tidak sepenuhnya dapat dibebankan kepada pemerintah. Tak dimungkiri penurunan kualitas udara adalah buah perilaku masyarakat sehingga wajar masyarakat turut memikul beban. Karena itu, pemerintah harus gencar mendorong kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan pengendalian pencemaran udara.
Tak dimungkiri penurunan kualitas udara adalah buah perilaku masyarakat sehingga wajar masyarakat turut memikul beban.
Utopia sumur resapan merupakan pelajaran berharga. Pada 2020 Jakarta hanya mampu membangun sebanyak 2.974 titik sumur resapan (Kompas, 22 Februari 2021). Tanpa ada partisipasi masyarakat, akan dibutuhkan lebih dari 600 tahun untuk dapat membangun 1,8 juta sumur resapan yang dibutuhkan.
Saatnya pemerintah menempatkan masyarakat sebagai pemegang peran sentral dalam mensukseskan kebijakan lingkungan. Sekali focus group discussion (FGD) atau beberapa diskusi singkat tidak akan dapat menumbuhkan wacana sinergisitas sejumlah pemangku kepentingan, sebagaimana diungkapkan Gubernur Anies Baswedan.
Dibutuhkan transformasi kebijakan yang nyata, bersama semua pemangku kepentingan untuk membirukan langit Jakarta. Tanpa transformasi, program serupa, seperti uji emisi, green building, green roof top, transportasi umum, bersepeda, dan penanaman pohon akan senasib dengan sumur resapan. Berikanlah masyarakat keyakinan atas perbaikan secara terus-menerus. Bukan sekadar angan-angan akan pencapaian spektakuler.
Sebuah ungkapan Think globally and Act Locally (berpikir secara global dan bertindak secara lokal) patut menjadi pedoman seluruh masyarakat yang mendamba langit biru Jakarta. Seruannya agar setiap masyarakat ikut peduli, ikut memikirkan dan bertindak dalam melestarikan lingkungan hidup dunia di tempatnya masing-masing (locally). Kalau bukan kita, siapa lagi!