Negeri ini jadi tempat rayahan. Berbagai posisi ditransaksikan. Mereka tak malu lagi menggarong uang rakyat. Dana bansos yang seharusnya untuk orang miskin dikorupsi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Penggarongan uang rakyat terus terjadi di negeri ini. Terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin.
Pada pertengahan September 2021, Alex Noerdin ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Alex Noerdin, bekas Gubernur Sumatera Selatan, merupakan ayah Dodi Reza. Alex ditangkap dan ditahan atas tuduhan korupsi pembelian gas bumi oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi Sumsel periode 2010-2019, yang merugikan negara Rp 433 miliar (Kompas, 17 Oktober 2021).
Perilaku koruptif tak malu-malu dilakukan keluarga. Suami-istri, ayah dan anak. Di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Puput Tantriana Sari, bupati saat itu, dan suaminya, Hasan Aminuddin, bekas bupati, ditangkap KPK sebab meminta upeti dari lurah dan camat. Jabatan lurah diperjualbelikan. Hal ini mengingatkan zaman kolonialisme Belanda.
Negeri ini jadi tempat rayahan. Berbagai posisi ditransaksikan. Mereka tak malu lagi menggarong uang rakyat. Dana bansos yang seharusnya untuk orang miskin dikorupsi. Surat keputusan dibuka untuk masuknya komisi ke kantong pejabat. Dana korupsi dipakai berfoya-foya dan menikmati kehidupan hedonis. Partai politik yang seharusnya bisa ambil peran diam saja dan membiarkan praktik itu terjadi. Partai ikut menggergaji lembaga pemberantas korupsi. Lembaga pemberantas korupsi diletakkan di bawah kontrol para oligarki.
Benar kata Prabowo Subianto dalam kampanye Presiden 2019. ”Korupsi di Indonesia sudah mencapai stadium empat.” Prabowo gagal menjadi presiden. Prabowo diangkat menjadi Menteri Pertahanan. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) terus menurun. IPK 2021 posisi Indonesia pada peringkat ke-102 dari 180 negara. Posisi Indonesia setara dengan Gambia.
Meminjam artikel Sindhunata di Kompas, 31 Mei 2011, ”Republik Para Celeng”. Celeng digambarkan sebagai binatang yang rakus. Rakus menjarah uang rakyat. Sindhu menulis, Lengji lengbeh. Celeng siji, celeng kabeh. Artinya, satu celeng, semua celeng. Dalam bahasa sekarang, satu korupsi, semua korupsi. Atmosfer korupsi terbentuk. Kalau mereka sudah menjarah, kini giliran saya. Negeri jadi rayahan koruptor.
Partai politik yang seharusnya bisa ambil peran diam saja dan membiarkan praktik itu terjadi.
Korupsi mengancam sendi humanisme. Dana sosial untuk orang miskin dikorup. Kaum miskin makin menderita. Pengadilan korupsi menginjak-injak rasa keadilan sehingga merontokkan kewibawaan hukum, yang sebenarnya amat diperlukan untuk membangun humanisme masyarakat. Tak mungkin peradaban dibangun jika masyarakat kita digerogoti korupsi, tanpa nurani. Jika demikian, dalam waktu dekat masyarakat kita akan ambruk.
Butuh langkah pemaksa menghentikan korupsi. Di India ada gerakan mogok makan yang dilakukan Kisan Baburao Hazare (74). Ia menuntut dibuatnya undang-undang yang keras terhadap korupsi. Bukan malah merevisi UU KPK demi melemahkan pemberantasan korupsi dan melanggengkan pencurian uang rakyat. Itu salah jalan. Komisioner KPK yang terbukti tak punya legitimasi moral sebaiknya minggir saja agar tak menjadi beban.