Mengingat besar risiko yang harus diterima saat harga pangan melonjak, maka kenaikan harga pangan kali ini perlu diwaspadai para pemimpin global.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Di tengah komunitas dunia menangani pandemi Covid-19, kenaikan harga pangan global nyaris luput dari perhatian. Orang sibuk menekan angka kematian akibat Covid.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), pekan lalu, mengumumkan indeks harga pangan global pada September 2021 mencapai 130, naik 1,5 poin dibandingkan dengan Agustus 2021 dan naik 32,1 poin dibandingkan dengan awal tahun ini. Secara rata-rata, indeks tertinggi sejak 10 tahun lalu pernah tercapai pada 2011 sebesar 131,9 poin.
Pada masa lalu, penyebab kenaikan harga pangan tak terlalu kompleks. Kali ini penyebab kenaikan sangat kompleks, mulai dari pandemi yang menyebabkan tenaga kerja pertanian berkurang hingga produksi berkurang, seperti kasus minyak kelapa sawit mentah (CPO) di Malaysia. Ada juga karena produksi berkurang, seperti dalam kasus bahan pangan pokok.
Kenaikan permintaan terjadi pada beberapa komoditas, seperti daging, minyak nabati, dan komoditas pangan lain, juga menyebabkan kenaikan harga. Harga pengangkutan yang meningkat juga menyebabkan kenaikan harga pangan yang harus diterima konsumen. Kekeringan menekan produksi gula di Brasil. Beberapa negara produsen pangan mengingatkan, harga pangan akan mengalami kenaikan dalam waktu dekat.
Kenaikan harga pangan kini membawa kita pada kejadian yang sama tahun 2011. Ingatan ini tidak hanya membawa kita pada kenaikan harga semata, tetapi juga implikasi politik dari kenaikan harga di sejumlah negara. Unjuk rasa disertai kekerasan terjadi di sejumlah negara.
Kita tentu ingat kejadian politik di Mesir dan Libya yang dipicu kenaikan harga pangan. Di kedua negara, pemerintahannya tumbang karena massa yang marah gegara harga pangan mengalami lonjakan. Kala itu masyarakat sulit mendapatkan pangan sehingga pemerintahan yang dinilai tidak mampu menyediakan pangan menjadi pelampiasan pengunjuk rasa.
Kali ini penyebab kenaikan sangat kompleks, mulai dari pandemi yang menyebabkan tenaga kerja pertanian berkurang hingga produksi berkurang.
Mengingat besar risiko yang harus diterima saat harga pangan melonjak, maka kenaikan harga pangan kali ini perlu diwaspadai para pemimpin global. Masalah kian kompleks karena kebutuhan pangan biasanya naik menjelang akhir tahun dan terjadi di tengah krisis energi sehingga akan memperberat beban masyarakat. Apalagi, penyebab kenaikan bersifat simultan dan saling terkait.
Indonesia, yang dalam keadaan sekarang diuntungkan, tidak bisa bersikap tenang. Produksi minyak nabati memang melimpah dan produksi padi membaik karena terjadi musim kemarau basah alias masih mendapat pasokan air dari hujan. Namun, Indonesia masih mengimpor kedelai, gula, dan jagung dalam jumlah besar. Kenaikan harga akan memukul usaha kecil. Pemerintah sebaiknya berhati-hati dan terus memantau keadaan. Sekalipun produksi minyak nabati melimpah, hal itu bisa saja memunculkan aksi ”aji mumpung” karena harga internasional sedang naik. Harga minyak goreng berpotensi naik karena ekspor komoditas ini lebih menguntungkan daripada menjual di pasar dalam negeri.