Pemerintah Atasi Imbas Lonjakan Harga Pangan Global
Indeks harga pangan FAO (FFPI) pada September 2021 mencapai 130 atau naik 32,8 persen secara tahunan. Angka indeks tersebut merupakan angka tertinggi dalam kurun 10 tahun terakhir.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa atau FAO melaporkan harga pangan global naik pada September 2021 dan mencapai titik tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Pemerintah Indonesia berupaya mengatasi imbas lonjakan harga itu melalui penguatan stok dan stabilisasi harga.
Indeks harga pangan FAO (FFPI) pada September 2021 mencapai 130 atau naik 32,8 persen secara tahunan. Indeks tersebut merupakan angka tertinggi sejak September 2011. Pada tahun 2011, FFPI tercatat 131,9. Kenaikan FFPI secara drastis atau di atas 100 itu sudah terjadi selama 11 bulan terakhir atau sejak Oktober 2020.
Pada September 2021, lonjakan indeks didorong oleh kenaikan harga serealia, terutama gandum, beras, dan jagung, serta minyak nabati, seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO). Indeks harga serealia dan minyak nabati FAO pada September 2021 masing-masing 132,5 dan 168,6. Dibandingkan September 2020, indeks harga serealia bulan lalu naik sangat tinggi, yakni sebesar 27,3 persen, sementara indeks harga minyak nabati naik 60 persen.
Indeks harga pangan FAO (FFPI) pada September 2021 sebesar 130 atau naik 32,8 persen secara tahunan. Indeks tersebut merupakan angka tertinggi sejak 10 tahun terakhir.
Bahkan, Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan, sejak April 2020, harga pangan global di tingkat produsen telah meningkat 47,2 persen, mencapai level tertinggi pada Mei 2021 dan kemudian berlanjut pada Agustus dan September 2021. Antara Mei 2020 dan Mei 2021 saja, harga kedelai dan jagung masing-masing meningkat lebih dari 86 persen dan 111 persen.
Peningkatan harga pangan ini disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu anomali cuaca di sejumlah negara produsen pangan, kenaikan biaya logistik transportasi laut, dan kuncitara (lockdown). Selain itu, kenaikan harga juga disebabkan oleh lonjakan permintaan pangan untuk memenuhi kebutuhan selama pandemi Covid-19 dan stok pangan selama krisis energi di sejumlah negara.
Hal ini juga berimbas pada kenaikan harga pangan dan pakan ternak di Indonesia, terutama kedelai dan jagung. Di sisi lain, kenaikan harga pangan itu, khususnya minyak nabati menguntungkan Indonesia, karena turut mendongkrak nilai ekspor CPO Indonesia.
Kementerian Perdagangan mencatat, kenaikan harga jagung bahan baku pakan ternak terjadi sejak Maret 2021 hingga mencapai sekitar Rp 5.700 per kilogram (kg) pada Mei 2021. Setelahnya, harga jagung cenderung stabil di kisaran itu hingga Agustus 2021.
Harga kedelai di dalam negeri juga masih relatif tinggi. Hal ini disebabkan tingginya harga kedelai dunia yang per minggu keempat Spetember 2021 sebesar 12,78 dollar AS per gantang atau Rp 7.964 per kg. Harga ini cenderung turun dari pekan sebelumnya yang sebesar Rp 8.000 per kg.
Kenaikan harga kedelai itu berdampak pada penyesuaian harga di tingkat importir dan perajin tahu-tempe, masing-masing menjadi Rp 9.400 per kg dan Rp 9.900 per kg-Rp 10.000 per kg.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan, Rabu (13/10/2021), mengatakan, pemerintah telah berupaya mengatasi imbas kenaikan harga jagung dengan menugaskan Perum Bulog untuk menggelontorkan 30.000 ton jagung kepada peternak dengan harga jual Rp 4.500 per kg. Pemerintah juga dapat memberikan subsidi melalui Dana Cadangan Stabilisasi Harga Pangan (CSHP) untuk menyediakan kebutuhan jagung pakan ternak itu agar harganya sesuai harga acuan, yaitu Rp 4.500 per kg.
“Pemerintah juga telah mengizinkan Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) mengimpor gandum pakan sebanyak 300.000 ton sebagai ganti jagung,” kata dia.
Pemerintah telah berupaya mengatasi imbas kenaikan harga jagung dengan menugaskan Perum Bulog untuk menggelontorkan 30.000 ton jagung kepada peternak dengan harga jual Rp 4.500 per kg.
Terkait kenaikan harga kedelai, pemerintah dapat menugaskan Bulog untuk menstabilkan harga di tingkat perajin tahu tempe. Berdasarkan data Asosiasi Importir Kedelai Indonesia (Akindo), stok kedelai per September 2021 sebanyak 480.000 ton. Stok itu terdiri atas stok yang sudah ada di gudang sebanyak 330.000 ton dan stok kedelai impor yang akan masuk sebanyak 150.000 ton. Stok itu cukup untuk sekitar dua bulan.
CPO topang ekspor
Sementara itu, kenaikan harga minyak nabati global turut menopang ekspor Indonesia. Hal ini dibarengi dengan peningkatan permintaan sejumlah negara yang tengah mengalami krisis energi, seperti China dan India.
Berdasarkan CIF Roterdam, harga CPO pada September 2021 mencapai 1.330 dollar AS per ton. Sebelumnya, pada Juli dan Agustus 2021, harganya masing-masing 1.226 dollar AS per ton dan 1.308 dollar AS per ton.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat, nilai ekspor CPO pada Agustus 2021 mencapai 4,42 miliar dollar AS atau naik 1,6 miliar dollar AS dari Juli 2021. Kenaikan itu juga ditopang oleh peningkatan volume ekspor sebanyak 1,53 juta ton menjadi 4,27 juta ton.
Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjono mengatakan, ekspor CPO ke India melonjak dari 231.200 ton pada Juli 2021 menjadi 958.500 ton pada Agustus 2021. Selain dari imbas krisis energi di India, faktor lain yang menopang kenaikan itu adalah penurunan pajak impor di negara itu dari 15 persen menjadi 10 persen yang berlaku pada 30 Juni-30 September 2021.
“Ekspor CPO ke China yang juga tengah mengalami krisis energi juga meningkat cukup siginifikan. Volume ekspor CPO ke China pada Agustus 2021 sebanyak 819.200 ton, tumbuh 56,86 persen dibandingkan Juli 2021 yang sebanyak 522.200 ton,” kata dia.