Proyek Propaganda Para Penguasa
Bayangkan, selama 13 tahun lebih film ini menjadi propaganda paling populer bagi pengultusan Jenderal Soeharto yang berkuasa semasa Orde Baru. Film berdurasi 3 jam lebih itu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran.
Sejarah cuma milik para penguasa. Lebih sempit lagi, sejarah hanya bahasa politik para penguasa. Oleh sebab itu, ia selalu bias kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan. Jangan heran kalau kemudian selalu pula ada proyek propaganda pada setiap rezim yang sedang berkuasa. Pada masanya, film Pengkhianatan G30S/PKI besutan sutradara kenamaan Indonesia Arifin C Noer, dianggap sebagai kebenaran sejarah.
Padahal, dalam satu surat kepada Ajip Rosidi tahun 1984, Arifin pernah menulis dia ingin berhenti dari dunia perfilman. ”Keputusan untuk tidak membuat film keputusan yang penting. Buat saya mengagetkan. Sayang dalam surat itu kau tidak memberikan alasan terperinci. Kau mengatakan selama lima tahun membuat film merupakan tahun-tahun percuma. Dari segi apa? Dalam arti apa?” demikian ditulis Ajip Rosidi dalam buku kumpulan surat-suratnya Yang Datang Telanjang, seperti dikutip dalam laman Historia, 29 September 2017.
Ajip menduga Arifin sedang kecewa dan bermasalah dengan Produksi Film Negara (PFN) yang berada di balik kelahiran film Pengkhianatan G30S/PKI. Barangkali Arifin lebih kecewa lagi, dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1984, film ini juga menyabet anugerah sebagai skenario terbaik. Sementara dalam banyak publikasi, Arifin merasa ada penulis skenario dan sutradara yang lebih dominan daripada dirinya dalam menyelesaikan film itu. Waktu itu, PFN dipimpin oleh Brigjen TNI Gufron Dwipayana, orang yang sangat dekat dengan Presiden Soeharto.
Bisa dilacak kemudian, film Pengkhianatan G30S/PKI hanya mengambil satu-satunya sumber cerita, yakni dari Presiden Soeharto. Sangat masuk logika kemudian, Soeharto menjadi satu-satunya pahlawan, yang diberi peran sebagai penyelamat bangsa dan negara dari rongrongan orang-orang yang dicap komunis. Fakta lainnya, aku, kau, dan banyak lagi generasi yang bersekolah pertengahan tahun 1980-an, terkena aturan wajib untuk menonton film itu. Sejak tahun 1985, film Pengkhianatan G30S/PKI memang menjadi film wajib yang harus ditonton oleh para siswa.
Beberapa di antaranya hilang, tanpa kejelasan nasib setelah diculik, lagi-lagi oleh tentara militer.
Jika dibayangkan dari masa sekarang (setelah era reformasi), tentu kebijakan menonton film yang dikeluarkan pemerintah itu sungguh-sungguh tak masuk akal. Anak bungsuku yang kini berusia 18 tahun dan kebetulan menyukai dunia politik, bilang, ”Ga masuk akal, lha. Itu kebijakan yang otoriter, di mana negara jadi superbody, mau mengatur semuanya, termasuk selera untuk menonton film. Lucu aja sih….”
Baca juga: Teman Kecil di Pusaran Kebiadaban
Aku tetap ingat bagaimana kami dengan pakaian sekolah dan diantar oleh para guru, berbondong-bondong menuju gedung bioskop Wijaya Theatre, satu dari dua gedung bioskop di kota Negara, Jembrana. Kami semua para siswa semester awal SMA Negeri 1 Negara, bahkan membahas film itu sebagai kebenaran sejarah di dalam kelas. Tentu saja banyak luka karena ada banyak teman yang kehilangan orangtua di dalam kelas. Beberapa di antaranya menjadi minder dan menjauh dari pergaulan karena merasa disudutkan oleh yang wajib kami tonton itu. Ayah mereka termasuk yang ditumpas oleh tentara karena dicap sebagai antek-antek PKI. Beberapa di antaranya hilang, tanpa kejelasan nasib setelah diculik, lagi-lagi oleh tentara militer.
Film ini telah menjadi propaganda paling populer bagi pengultusan Jenderal Soeharto.
Pada 30 September 1998, atas permintaan masyarakat dan keluarga TNI AU, penayangan film Pengkhianatan G30/PKI telah dihentikan. Penghentian itu terasa melegakan. Bayangkan, selama 13 tahun lebih film ini telah menjadi propaganda paling populer bagi pengultusan Jenderal Soeharto yang berkuasa semasa Orde Baru. Selama itu pula, dan bahkan hingga kini, film berdurasi 3 jam lebih itu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran sejarah. Belakangan, masih ada saluran televisi yang menayangkannya, seolah ingin menghidupkan kembali hantu komunisme, yang sudah terkubur di dasar bumi negeri ini.
Tak salah jika ada yang kemudian membacanya sebagai upaya-upaya untuk mengembalikan masa ”kejayaan” (baca: penindasan terhadap demokrasi) rezim militer, terutama soal ”kepahlawanan” Jenderal Soeharto. Bahwa Indonesia telah selamat dari kebiadaban orang-orang komunis, yang dengan tanpa ampun telah membunuh tujuh jenderal paling berpengaruh di negara yang baru beranjak dari revolusi merebut kemerdekaan itu. Bahwa ada tokoh penting yang harus ”dipahlawankan” oleh negara, bangsa, dan seluruh rakyat Indonesia bernama Soeharto. Faktanya, orang yang sama telah dijatuhkan di tengah masa pemerintahannya yang ke-32 tahun oleh aksi demonstrasi mahasiswa karena dianggap memerintah secara otoriter.
Pada konteks itu, Sadaring (Sarasehan Daring) Satupena #5, yang dihelat Minggu (10/10/2021), menjadi menarik ketika membahas ”Sejarah sebagai Sumber Kreativitas Sastra”, yang mengetengahkan para pembicara seperti Iksana Banu (penulis novel sejarah), Nusya Kuswantin (antropolog & penulis novel sejarah), dan Amurwani Dwi Lestariningsih (peneliti sejarah). Secara kebetulan, Nusya dan Amurwani pernah meneliti tentang kenyataan sesungguhnya keadaan para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), yang selama ini dituding telah berlaku kejam.
”Saya ingin merekonstruksi kebenaran sejarah dari desa saya lewat novel Lasmi,” kata Nusya. Lasmi tak lain adalah representasi seorang pemimpin Gerwani yang berhasil diliput Nusya berdasarkan kisahan beberapa orang. Tokoh ini memiliki pandangan progresif, terutama soal penyetaraan perempuan dalam pernikahan dan pendidikan. Soal ini memang menjadi isu utama perjuangan Gerwani secara nasional sejak 1950-an, ketika pertama kali berdiri di Semarang.
Amurwani seolah menambahkan, bagaimana upayanya menemukan seorang pemimpin Gerwani, yang terpaksa terus-menerus harus menghilangkan identitas dirinya karena ketakutan dikejar rezim penguasa. ”Ada stigma yang sengaja ditimpakan kepada mereka,” kata Amurwani. Penguasa Orde Baru, sebelum film Pengkhianatan G30S/PKI, telah menyebarkan propaganda bahwa Gerwani turut terlibat menganiaya para jenderal yang kemudian dibuang ke Lubang Buaya. Bahkan, mereka dituding telah melakukan tindakan amoral, di antaranya dengan memotong kemaluan para jenderal. Pembuatan dan pemutaran film itu di kemudian hari seolah memberikan legitimasi terhadap tuduhan-tuduhan kepada Gerwani.
Ada pernyataan menarik dari Iksaka Banu, ”Sejarah juga untuk orang-orang biasa, bukan hanya kaum elite. Kita juga bisa menulis Raden Saleh kena penyakit sipilis atau Chairil Anwar suka mengunjungi kompleks pelacuran,” kata penulis novel Pangeran dari Timur bersama Kurnia Effendi ini. Kedua tokoh itu, tambah Iksaka, perlu ditampilkan sebagai manusia biasa. Pada titik inilah sejarah tak pernah berpihak. Narasi besar tentang tragedi 1965 hampir selalu mengacu pada apa yang pernah diproduksi dan kemudian diajarkan oleh rezim Orde Baru. Tentu saja rekonstruksi sejarah, sekali lagi, akan selalu dimulai dari tindakan mulia para pelakunya.
Oleh sebab itulah ia selalu luput mencatat peristiwa-peristiwa yang tampak kecil, tetapi berdampak besar bagi rakyat, bahkan negara. Sastra, dengan sifatnya yang lebih lentur dan jujur, kata Iksaka, bisa menyusup ke tengah-tengah narasi besar itu untuk memberikan imbangan narasi. ”Ini salah satu yang mendorong saya untuk berkutat menulis novel sejarah,” katanya.
Sebuah usaha menarik dilakukan Happy Salma dan Yulia Evina Bhara, yang menggandeng Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, melansir seri monolog bertajuk ”Di Tepi Sejarah”. Pada musim pertama, program ini mengangkat kisah pejuang kecil berdarah Tionghoa The Sin Nio, yang harus menyamar sebagai lelaki bernama Moechamad Moechsin, agar bisa turut berjuang di garis depan bersama para pejuang kemerdekaan. Seusai perang kemerdekaan, The Sin Nio hidup telantar di tepi sebuah rel di kawasan Jakarta. Tak ada yang mengenalnya sampai kemudian ia harus meninggal dalam kemiskinan yang mencekam.
Setelah merekonstruksi kehidupaan tokoh-tokoh selain The Sin Nio, Amir Hamzah, K’tut Tantri, dan Riwu Ga, Kemendikbudristek berniat melanjutkan agenda ini untuk memberikan narasi bandingan terhadap narasi besar yang telah tertulis dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh seperti Amir Hamzah, penyair yang turut memperjuangkan kemerdekaan, tetapi meninggal dengan cara tragis, dibunuh oleh abdinya sendiri yang menuduhnya feodal dan berkomplot dengan Belanda, patut diberi jalan baru. Begitu pun Riwu Ga, anak angkat pasangan Soekarno-Inggit Ganarsih saat dalam pengasingan di Ende, Flores, juga membutuhkan penarasian yang tepat, terutama dalam upaya memotret kenyataan sesungguhnya tentang Bung Karno dan Inggit.
Kemendikbudristek berniat melanjutkan agenda ini untuk memberikan narasi bandingan terhadap narasi besar yang telah tertulis dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Bahkan, K’tut Tantri, orang asing yang bernama asli Muriel Stuart Walker, yang mulanya datang ke Bali untuk pelesiran, tetapi kemudian berjuang dan terlibat dalam mengobarkan perang mempertahankan kemerdekaan di Surabaya, layak diberi tempat secara khusus. Keempat tokoh ini nyaris tak pernah dibicarakan, apalagi dikabarkan dalam kelas sejarah di Tanah Air.
”Berikut kami akan angkat tokoh-tokoh lain yang terlupakan. Jangan sampai kita menjadi bangsa pelupa karena ketiadaan sumber informasi terhadap jasa dari mereka yang tak pernah disebut dalam buku-buku sejarah,” ujar Happy Salma.
Baca: Perlawanan Pramoedya Ananta Toer
Sastra, termasuk film atau media tayangan virtual lain, menjadi pilihan alternatif di tengah tekanan narasi besar yang sering kali diproduksi dan dipropagandakan pemerintah. Kontra-narasi ada kalanya penting pula terus digaungkan dalam rangka memberikan pengetahuan bandingan agar sejarah benar-benar berdiri di atas sendi-sendi obyektivitas. Secara tidak langsung kontra-narasi bermanfaat untuk mengikis proganda yang telanjur melekat di benak publik.
Kontra-narasi ada kalanya penting pula terus digaungkan dalam rangka memberikan pengetahuan bandingan agar sejarah benar-benar berdiri di atas sendi-sendi obyektivitas.
Kasus film Pengkhianatan G30S/PKI adalah proganda paling nyata yang berhasil mendekam selama berpuluh-puluh tahun, dari generai ke generasi, antara lain karena terus-menerus diputar, ada atau tidaknya rezim Orde Baru. Film ini selalu menjadi bahasa politik dan ambisi untuk berkuasa, seperti pernah dilakukan lagi oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kepada jajaran TNI tahun 2017. Presiden Joko Widodo bahkan sempat melakukan inspeksi mendadak ke beberapa tempat pemutaran film di kompleks militer.
Propaganda para penguasa memang sejak dulu selalu ingin menulis sejarah dalam versinya sendiri. Bahkan, celakanya, cerita yang direkonstruksi dari seseorang yang sedang berkuasa dijadikan kebenaran mutlak tak terbantahkan dengan tujuan melanggengkan kekuasaan. Saking mengungkungnya, banyak yang tidak lagi kritis bahwa apa yang sedang mereka baca atau tonton seperti terjadi dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, lupa bahwa film pada akhirnya tetap merupakan karya fiksi. Kendati mengklaim diri sebagai based on true story, tetap saja sebuah film memiliki sisi-sisi yang mendramatisasi kenyataan, agar ia layak dan enak ditonton.
Bahkan, celakanya, cerita yang direkonstruksi dari seseorang yang sedang berkuasa dijadikan kebenaran mutlak tak terbantahkan, dengan tujuan melanggengkan kekuasaan.
Sudah pasti sebuah film memiliki skenario dan sutradara di balik segala cerita yang kemudian tertayang di atas layar. Dan, mereka biasanya bukan peneliti sejarah, yang memiliki perangkat-perangkat akademis dan obyektif di dalam merekonstruksi sejarah. Jadi? Ya film atau buku fiksi tetap merupakan karya seni, sebuah tafsir personal terhadap realitas sejarah dan bukan sejarah obyektif dari kondisi dan situasi sesungguhnya yang dihadapi oleh sebuah bangsa. Kalau ada pertanyaan apakah tidak cukup sikap jujur dan independen dari seorang penulis dijadikan acuan kebenaran? Tentu saja tidak. Kebenaran obyektif adalah kebenaran yang terkonfirmasi oleh berbagai pihak dan kemudian teruji secara akademis.
Mau tak mau negara harus memelopori sebuah rekonstruksi sejarah yang benar-benar ingin menegakkan kebenaran.
Oleh sebab itu, jika ingin meruntuhkan narasi besar tentang realitas subyektif yang diprogandakan oleh Orde Baru soal tragedi 1965, mau tak mau negara harus memelopori sebuah rekonstruksi sejarah yang benar-benar ingin menegakkan kebenaran. Apa yang dikerjakan oleh kisah-kisah dalam buku bergenre fiksi, hanya akan menjadi pembuka jalan menuju sebuah taman kebenaran yang hanya bisa dilihat dalam dokumen-dokumen resmi negara, termasuk buku-buku sejarah yang ditulis secara obyektif-akademis.
Baca juga: Es Ganefo untuk ”Cinema Paradiso”