Kehilangan, yang Terampas dan yang Putus
Apakah dalam pikiran negara yang melakukan penghilangan paksa pernah terlintas sekadar meminta maaf kepadanya atas kekejaman yang telah menimpa ayahnya?
Ketika membaca kumpulan cerpen Berita Kehilangan (2021) yang diinisiasi oleh Kontras, aku ingat Tude Moyo. Dia sahabat masa kecil paling bodoh yang pernah aku kenal. Beberapa waktu lalu secara tak sengaja, aku menemukannya menggelandang di tengah kota. Kaus yang ia kenakan tak layak lagi disebut baju. Ia cuma sesampir kain rombeng, kumal, dan berbau. Mungkin dulu warnanya putih, tetapi saking tak pernah diganti apalagi dicuci, sudah berubah menjadi coklat tanah.
Pekak dan Mbah, dua orang tua yang dulu pernah mengurusnya, sudah lama tiada. Dari Pekak, sekitar tahun 1970-an, aku sering kali mendapat cerita tentang huru-hura tahun 1965-1966 di kota kami. Apalagi, anaknya sendiri, I Wayan Teler, menghilang tanpa jejak. Teler tak lain adalah ayah dari Tude Moyo. Pada suatu pagi, kata Pekak, Teler pamit untuk mengunjungi saudara istrinya yang sakit. Rumahnya tak jauh dari pasar kota, tetapi harus melewati penjagaan di dekat tangsi militer.
”Sejak itu Teler tak pernah pulang. Kami putus asa bertanya dan mencarinya,” kata Pekak suatu hari, ketika kami sedang duduk di balai-balai milik paman, I Ketut Tilem. Pekak bilang, ia bahkan sudah mencari ke tangsi militer, tetapi tak mendapatkan jawaban memuaskan. Malah, katanya, para tentara bilang sekarang banyak orang hilang, jadi tak perlu dicari.
Sebagai rakyat kecil, Pekak merasa tak cukup punya keberanian untuk terus mencari anaknya. Ketika Teler menghilang, Tude berusia hampir setahun. Ia lahir sebagai bayi yang sehat, sama sekali tak menunjukkan gejala-gejala anak yang mengidap kelainan secara mental. Gejala kesehatan mental Tude terganggu itu baru tampak ketika ia berusia menjelang lima tahun. ”Responsnya sangat lamban, lama kemudian baru tahu Tude ada kelainan,” kata Pekak.
Soal kehilangan Teler, Pekak sudah lama berusaha menerimanya. Ia pasrah saja, apalagi situasi sepanjang tahun 1965-1966 sama sekali tidak kondusif. Setiap saat di seluruh penjuru kota meletus bedil-bedil tentara. Waktu itu, timpal Ni Wayan Neris, istri pamanku Tilem, suara bedil dan ketukan pintu menjadi tanda seseorang akan kehilangan. Rumahnya sendiri pernah diketuk tentara dan kemudian menculik paman. Beruntung paman bisa selamat dari eksekusi karena dibela oleh Pak Ketut Renen, perbekel (kepala desa) kami.
Oh ya, waktu penyelamatan di kuburan kota itu, tangan tiga pamanku, I Ketut Tilem, I Ketut Nirda, dan I Made Nirya, telah diikat para tentara. Cerita Ni Wayan Neris, tak pernah jelas mengapa ketiga kakak beradik itu digiring ke kuburan. Mereka tidak pernah aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diinisiasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Semuanya petani kolot dari kampung yang tak paham riwayat pembantaian tujuh jenderal di Jakarta.
Bapak waktu itu, kata Neris, tidak di rumah. Kami sekeluarga telah mengungsi di rumah seorang mantri kesehatan bernama I Ketut Wasek, yang tak lain paman dari ibuku. Oleh sebab itu, Bapak tidak ikut digiring ke kuburan kota. ”Coba kalau di rumah, pasti ikut dibawa tentara, karena dia yang paling dicap Soekarnois,” ujar Neris. Sebagai pegawai kecil di Departemen Penerangan kabupaten, Bapak bertugas menyebarkan pidato Bung Karno kepada kepala-kepala desa. ”Barangkali karena itu dicap Soekarnois,” kata Neris.
Semasa hidup, Tilem pernah bercerita, sebelum digiring ke kuburan banyak lelaki dijemur di perempatan yang jaraknya sekitar 500 meter dari kuburan kota. Kami, tutur Tilem, diminta duduk di atas aspal panas. Kalau ada yang mengeluh kepanasan dipopor dengan bedil. ”Pokoknya kami seperti babi yang siap menuju rumah jagal,” kata Tilem.
Barangkali ia ingin air mata itu menjadi hujan di atas tanah gersang hatinya, yang berpuluh-puluh tahun tak tahu bagaimana nasib suaminya.
Perasaan takut dan marah, tambah Tilem, bercampur jadi satu. Ia dan kedua kakaknya pantas marah karena merasa tidak mengerti riwayat kesalahannya. Selama hidupnya, ia merasa tidak pernah ikut menjadi simpatisan PKI atau PNI (Partai Nasional Indonesia), dua partai yang berhadap-hadapan di Bali. ”Jangankan berpartai, untuk makan esok hari saja kami semua kesusahan,” ujar Tilem.
Kehilangan lain juga menimpa kakak perempuan ibuku, Ni Nengah Weci. Di tengah malam, suami bibiku dijemput paksa oleh segerombolan orang yang dipimpin oleh beberapa tentara. ”Pokoknya dibawa aja. Hanya dituduh PKI, karena itu wajib ditumpas,” kata Weci suatu hari kepadaku. Ketika cerita kami sampai pada detik-detik kekejaman gerombolan yang mengobrak-abrik rumahnya saat kejadian jemput paksa itu, wajah Weci menegang. Tak lama sesudahnya air matanya meleleh di pipi untuk kemudian berjatuhan ke tanah. Ia tak berusaha menyekanya. Barangkali ia ingin air mata itu menjadi hujan di atas tanah gersang hatinya, yang berpuluh-puluh tahun tak tahu bagaimana nasib suaminya.
”Tak pernah ada kabar, apakah dibunuh atau dihukum. Kalau dibunuh di mana makamnya, kami juga tidak tahu,” katanya. Lalu lelehan air matanya tak terbendung dan lagi-lagi berjatuhan ke tanah…
Saat kami membahas kumpulan cerpen Berita Kehilangan, Sabtu (17/7/2021) secara daring, Arie Priambodo, adik kandung Bimo Petrus Anugerah, yang menjadi korban penghilangan paksa pada tahun 1998, membandingkan kehilangan keluarganya dengan kehilangan di masa pandemi. Tanpa bermaksud mengecilkan kesedihan yang dialami keluarga para korban pandemi, Arie berucap, ”Kalau meninggal karena pandemi setidaknya jelas di mana dimakamkan, tetapi kakak saya menghilang tanpa jejak. Apakah dia benar-benar sudah mati atau masih hidup, itu kan enggak jelas sampai sekarang? Kalau sudah mati, minimal ada kuburannya dan kami bisa berziarah…,” katanya.
Dua puluh cerpen yang lolos kurasi dari 280 cerpen yang ditulis para pengarang dari sejumlah daerah di Indonesia, seluruhnya memberitakan perihal penghilangan paksa. Setidaknya kisah-kisah tentang orang yang dijemput paksa atau direnggut nyawanya secara paksa oleh institusi bernama negara. Dua cerpen berkisah tentang pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani, tokoh Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Salah satu cerpen itu ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma berjudul ”Tragedi Kandang Babi”.
Banyak kasus yang tidak diusut dan dibiarkan seolah bukan sesuatu yang mencederai penegakan hukum.
Sebagai penyidik, Sukab sebenarnya sudah mendapatkan gambaran siapa yang melakukan pembunuhan di Gapudmutu (Papua). Oleh karena itu, ia bisa merekonstruksi urutan kejadian sampai berujung pada penemuan jasad Pendeta Reyedipa (Yeremia) di kandang babinya sendiri. Bahwa kemudian dituduhkan ada gerilyawan yang terlibat, itu hanyalah cerita rekayasa untuk menyelamatkan muka tentara. Sepasukan tentara yang telah lama dianggap sebagai saudara oleh keluarga Pendeta Reyedipa kemudian justru menjadi pembunuhnya.
Kasus itu kemudian digantung begitu saja. Tak ada proses hukum terhadap penghilangan paksa nyawa seseorang. Impunitas semacam itulah, kata Rivanlee Anandar dari Kontras, yang menjadi tumpukan pekerjaan di negara ini. Banyak kasus yang tidak diusut dan dibiarkan seolah bukan sesuatu yang mencederai penegakan hukum.
Tentu menjadi menarik mengikuti alur perjuangan Kontras dalam menguak kasus-kasus impunitas di negeri ini. Ketika perjuangan secara hukum dengan bahasa legal formal tak jua membuahkan hasil maksimal, seperti contoh kasus penghilangan paksa Bimo Petrus, misalnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan alias Kontras bergeser ke wilayah fiksi. Fiksi, seperti cerpen (dan harusnya novel), dinilai memiliki dimensi pengungkapan fakta secara lebih personal untuk menggugah kesadaran tentang kemuliaan kemanusiaan.
Sebanyak 20 kisah dalam cerpen di buku Berita Kehilangan ini hampir semuanya berangkat dari perasaan kehilangan yang hidup di dalam alam pikiran rakyat Indonesia. Kasus-kasus seperti yang menimpa Tude Moyo, Ni Nengah Weci, dan banyak lagi orang yang kehilangan suami, ayah, kakek, dan saudara-saudara mereka tidak pernah benar-benar lenyap. Ia hidup dan diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Seorang berkebutuhan khusus seperti sahabat masa kecilku, Tude Moyo, setiap kami bertemu selalu berkata tentang ayahnya.
”Sudah mati…,” katanya.
”Di mana kuburannya?” tanyaku.
”Enggak tahu….”
”Sedih enggak?”
”Enggak tahu….”
”Siapa yang bunuh bapakmu?”
”Duarr ici….” katanya. Maksudnya ditembak polisi.
”Kok tahu ditembak?”
”Pekak bilang….”
”Masa sih?”
”Iya bener,” kata Tude.
Tude Moyo tak pernah bisa membedakan antara tentara dan polisi. Baginya, semua aparat sama kejamnya, karena telah merenggut bapaknya dari dirinya.
Setelah Pekak dan mbahnya meninggal, praktis Tude hidup sebatang kara. Ia bergelandangan ke sudut-sudut kota. Sering kali terlihat tergeletak di emperan pasar karena mabuk. Banyak orang menjahilinya dengan memberinya minuman keras sampai sempoyongan dan kemudian roboh di sudut-sudut kota kami.
Bisa kau bayangkan perasaannya, bukan? Ada rasa sedih bercampur kemarahan yang dalam serta ketidakmampuan menyuarakan protesnya kepada negara. Rasa ketakberdayaan itu barangkali bisa terwakili oleh puisi berjudul ”Yang Terampas dan Yang Putus” dari Chairil Anwar ini: //Kelam dan angin mempesiang diriku/Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin/Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu//Di karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin/Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang/Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu/Tapi kini tangan yang bergerak lantang/Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku//.
Kalau aku mampu memasuki alam pikiran orang-orang yang terenggut nyawanya secara paksa itu, barangkali mereka akan berucap seperti kutulis dalam monolog ”Pidato” itu. ”Saudara-saudara dalam situasi seperti ini, saya pikir tindakan Saudara akan sama dengan saya. Saya harus menolak tuduhan menjadi antek PKI. Sebab, terus terang, saya terpaksa buka kartu di hadapan Saudara-saudara, saya memang pernah diajak untuk menjadi anggota partai komunis itu, tetapi saya menolak. Seperti juga Saudara tahu, saya tak mau terlibat urusan politik. Urusan saya urusan yang sangat pragmatis, saya cuma ingin kami semua di desa memiliki tanah yang cukup sebagai tumpuan hidup kami sehari-hari. Tak ada lagi yang bisa diharapkan di zaman partai-partai sibuk merebut kekuasaan. Nasib rakyat kecil seperti saya tergeletak di ujung kaki mereka. Setiap saat dengan mudah mereka menunjuk ke arah mana kami mesti berjalan. Ah, nasib sudah tidak lagi berada di tangan masing-masing….”
Jadi, nasib orang-orang seperti Tude, yang berkebutuhan khusus dan kini hidup sebatang kara, berada di tangan siapa? Apakah dalam pikiran negara yang melakukan penghilangan paksa pernah terlintas sekadar meminta maaf kepadanya atas kekejaman yang telah menimpa ayahnya? Barangkali apa yang dikerjakan oleh Kontras selama ini tak lebih dari gelandangan yang tergeletak karena mabuk di sudut kota? Sampai berita kehilangan benar-benar mengunjungi kediaman kita masing-masing, mungkin barulah kau sadari betapa keberadaan seseorang itu begitu berarti. Bahwa bermain-main dengan nyawa seseorang, apalagi ratusan ribu nyawa yang direnggut paksa, akan menorehkan luka dan trauma sepanjang masa, sepanjang keberadaan bangsa ini.
Ada yang terampas dan kemudian terputus. Selamanya….
Baca juga:
Teman Kecil di Pusaran Kebiadaban