Merdeka Belajar dan Kampus Tanpa Imajinasi
Dinamika kampus dan atmosfer akademik yang menggairahkan bisa terjadi jika pejabatnya memimpin dengan hati, empati, respek dan disertai imajinasi. Inilah makna substantif Kampus Merdeka.
Berproses bersama mahasiswa menjadi manusia pemelajar, saling bertanya, saling menjawab, belajar respek pada pihak lain, sungguh merupakan pengalaman indah, mengayakan, dan tak tergantikan. Namun, pandemi mengubah proses semacam itu, tanpa kesiapan apa pun (karena tak terbayangkan) dari pihak tata kelola birokrasi kampus, kecuali tergagap-gagap mencari solusi, sambil sibuk mengurus administrasi. Dalam kondisi seperti ini, kita dapat segera menandai kualitas kepemimpinan kampus di segala jenjang; apakah mereka memimpin atau sekadar pejabat yang bingung, tetapi kuasa.
Kampus seni, seperti ISI (Yogyakarta, Surakarta, Denpasar, Padang Panjang), ISBI (Bandung, Aceh, Kalimantan, Papua), IKJ, dan STKW Surabaya, kemungkinan menghadapi persoalan yang sama. Pertama, perihal mengukur/menilai pengetahuan dan penguasaan seni melalui proses perkuliahan daring.
Kedua, sebagian dosen tidak (belum) mampu bergerak cepat menyesuaikan diri dengan teknologi komunikasi mutakhir, termasuk mengubah orientasi dan konsep pembelajaran daring. Ketiga, sebagian aparatus kampus berpola-pikir (dan dalam mengambil keputusan) seperti kondisi sebelum pandemi. Keempat, masih terdapat masalah jaringan internet yang tidak stabil.
Problem-problem yang akan diurai berikut ini, tentu tidak dialamatkan ke kampus-kampus besar berlevel PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) dan PTN-BLU (PTN Badan Layanan Umum) yang memiliki otonomi penuh dalam mengelola keuangan dan sumber dayanya. Akan tetapi, dialamatkan ke PTN-Satker (Satuan Kerja) sebagai institusi pendidikan berlevel satuan kerja kementerian yang dalam pengelolaannya sebatas (sekaligus terbatas) mempertanggungjawabkan pagu anggaran dari pemerintah (Kemendikbudristek). Sebuah situasi yang membutuhkan imajinasi dan kreativitas dari pengelola di segala jenjang.
Baca juga: Semiotika Ruang Belajar Daring
Proses belajar-mengajar melalui daring sudah berjalan memasuki tahun kedua. Dosen dan mahasiswa berupaya maksimal menyesuaikan diri dengan segala masalah dan keterbatasan, seperti sudah disebut, antara kesenjangan penguasaan teknologi, konsep daring, kuota, dan jaringan internet.
Aspek lainnya adalah proses kuliah daring yang hanya mengandalkan kepercayaan; dosen percaya pada mahasiswa terkait kesungguhan mengikuti kuliah, mahasiswa percaya pada dosen terkait materi yang baik, enak disimak, dan wajib diikuti. Mahasiswa percaya dan berharap pada dosen, mana mata kuliah yang ”wajib dikuasai” dan mana yang ”perlu diketahui” disampaikan dengan jernih. Semua serba digital dan virtual. Bagaimana bisa melakukan check-recheck, melakukan konfirmasi, mendapatkan umpan balik yang produktif atas ”kepercayaan” kedua belah pihak?
Birokrasi tanpa imajinasi
Dinamika kampus dan atmosfer akademik yang menggairahkan bisa terjadi jika pejabatnya memimpin dengan hati, empati, respek dan disertai imajinasi. Dengan hati dan empati artinya mampu mengelola seluruh potensi sivitas akademika, sebagai the dream team untuk berkontribusi pada dunia pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi, yang ujungnya berupa raihan kredibilitas.
Dengan respek artinya tidak sewenang-wenang dengan posisi strukturalnya, tidak mudah merendahkan liyan apalagi warga kampus yang dipimpinnya dalam kaitan kapasitas intelektual maupun kerja organisasi. Akan tetapi, bersikap sebaliknya; asah-asuh dan mendorong warga kampus menaikkan kapasitasnya agar memiliki kepantasan dalam segala posisi. Dengan imajinasi artinya memiliki kemampuan dan keberanian membayangkan, merumuskan, mewujudkan atas dasar prioritas sesuai kondisi kampus masing-masing.
Jika pimpinan kampus hanya memerankan diri agar ”baik-baik saja” di mata atasannya, dapat diduga kampus dijalankan oleh para birokratnya hanya sebatas business as usual. Padahal, justru di tengah pandemi inilah saatnya melakukan terobosan dalam banyak hal, antara lain menempatkan prioritas utama untuk memaksimalkan kualitas pencapaian dalam banyak bidang, yang ujungnya adalah para mahasiswa dan lulusan yang mumpuni, kredibel, dan berintegritas.
Jika pimpinan kampus hanya memerankan diri agar ”baik-baik saja” di mata atasannya, dapat diduga kampus dijalankan oleh para birokratnya hanya sebatas business as usual.
Merdeka berpikir dan bertindak
Ada atau tidaknya imajinasi pemimpin kampus, ditandai oleh antara lain kemampuan dan keberanian untuk menerjemahkan, menafsir, dan mengambil keputusan terkait keputusan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) sesuai dengan visi-misi dan marwah akademik yang diemban. Saya memandang MBKM merupakan terobosan ”penting” sekaligus “bermasalah”.
”Penting” karena dihasratkan agar mahasiswa memiliki pengalaman lapangan dan keluasan wawasan sebagai bekal mematangkan keterampilan, keilmuan, untuk menjemput karier masa depannya, melalui belajar di luar program studi (artinya juga di luar kampus) maksimal tiga semester. Praktiknya dapat ditempuh dengan berbagai macam, seperti magang, sebagai asisten mengajar, kewirausahaan, dan proyek kemanusiaan.
”Bermasalah” karena program ini berwatak ”ekspansif”, kurang menunjukkan program yang ”konsolidatif” dan ”reflektif”. Di tengah pandemi yang secara radikal mengubah/menggeser hampir seluruh tatanan, program-program yang bersifat ekspansi atas nama akselerasi kemampuan, betapapun pentingnya bagi banyak pihak, menjadi terasa kontradiktif (karena program-program itu tidak cukup dilakukan secara daring, tetapi perlu interaksi langsung dengan narasumber).
Pasca-pandemi kemungkinan besar proses belajar-mengajar tidak akan kembali normal seperti semula. Karena itu harus bersiap dengan normal baru, penuh adaptasi, merumuskan, dan menciptakan kembali apa yang dimaksud dengan atmosfer akademik dalam situasi yang baru.
Artinya, tidak sekadar persoalan teknis; praktik mengajar secara daring, memindahkan materi ajar dalam tayangan virtual, tetapi juga aspek ideologis; pengertian, pola pikir, dan konsep dasar ikhwal virtual/digital pembelajaran daring. Tanpa pemahaman seperti itu akan sulit membangun atmosfer akademik yang baru.
Pada tahun 2020 Kemendikbudristek juga mencanangkan Indikator Kinerja Utama (IKU) Perguruan Tinggi Negeri yang memuat delapan IKU, yaitu (1) lulusan mendapat pekerjaan yang layak, (2) mahasiswa mendapat pengalaman di luar kampus, (3) dosen berkegiatan di luar kampus, (4) praktisi mengajar di kampus, (5) hasil kerja dosen digunakan oleh masyarakat atau mendapat rekognisi internasional, (6) program studi bekerja sama dengan mitra kelas dunia, (7) kelas yang kolaboratif dan partisipatif, (8) program studi berstandar internasional.
Baca juga: Pendidikan Tinggi Indonesia dalam Masa Pancaroba
Tentu IKU bukan hukum, melainkan peta jalan pencapaian yang bisa ditafsir implementasinya. Merdeka belajar dengan dalih utama agar lulusan ”siap pakai” terserap dunia industri-dunia usaha (DIDU), tentu baik. Tetapi, pada sebagian program studi tidak mudah merumuskannya secara tepat.
Terdapat prodi yang memiliki sejarah panjang, misalnya bidang seni yang mengandaikan kemandirian dalam profesi, bahkan didorong menjadi pencipta lapangan kerja. Sebutlah bidang seni, desain, kriya, dan tata kelola seni (perupa, desainer, pemusik, peteater, perancang festival, manajer program galeri, museum, komunitas, dll) bagi lulusannya. Karena itu format ”merdeka belajar” bagi mahasiswa yang bersangkutan dapat berupa ”menyerap ilmu, pengetahuan, ngelmu, keterampilan (banyak hal) dari para empu, maestro, desainer, manajer, aktivis bereputasi”.
Pasca ”magang” diharapkan mereka memiliki pengetahuan, pengalaman, dan bekal mempersiapkan diri sebagai manusia mandiri yang memahami risiko-risiko yang harus dihadapi. Pemahaman semacam ini hanya mungkin diberikan oleh institusi yang mampu dan berani memaknai kata ”siap pakai oleh DIDU” secara kreatif sekaligus substantif atas dasar orientasi prodi dan kepentingan mahasiswa.
Kampus Merdeka sesungguhnya perlu mendapatkan pemaknaan yang substantif.
Pada sisi lain, Kampus Merdeka sesungguhnya perlu mendapatkan pemaknaan yang substantif, yakni berkesempatan melakukan ”refleksi dan konsolidasi”; meninjau ulang atmosfer akademik, meninjau kembali tata kelola, membenahi sarana-prasarana yang sesuai dengan situasi pandemi/pascapandemi, dan merefleksi kepemimpinan (sekadar menjalankan jabatan, atau memang hadir untuk memimpin dengan segenap kreativitas dan imajinasi).
Belajar seni sesungguhnya berada dalam kemerdekaan memilih bentuk ekspresi yang dianggap paling tepat, sesuai dengan gagasan dan yang dibayangkan untuk dikomunikasikan. Berekspresi seni berada dalam ruang bebas, tetapi sekaligus mensyaratkan keterbatasannya sekaligus.
Ketika praktik dihasratkan ”hanya” untuk kepentingan praktis-pragmatis; untuk propaganda politik, untuk pemujaan pada pimpinan, untuk melayani dunia industri, untuk melayani pasar, dan sejenisnya, berpeluang kemerdekaan kreator terkooptasi oleh pihak lain, tanpa ruang dialog. Akibatnya miskin pengalaman mengalami yang dapat dikonversi menjadi pengetahuan seni, bahkan mungkin sadar atau tidak, terperangkap dalam banalitas.
Pendidikan tinggi seni bertumpu pada upaya mengokohkan jiwa merdeka. Bagi mahasiswa, belajar merupakan ruang yang merdeka; merdeka dari kecemasan, ketakutan, berani bersuara kritis, mengerahkan daya kreativitas, menjunjung sikap respek pada orang lain, dan berorientasi pada kemanusiaan. Pandemi Covid-19 dengan variannya mestinya menjadi titik pijak konsolidasi dan refleksi tata kelola pendidikan tinggi (termasuk bidang seni) jenjang satuan kerja.
Baca Juga: Polemik Paradigma Penciptaan Seni Akademik
Karena dunia terus bergerak dengan disrupsi radikal, dan ”… jika segala sesuatu terbuka dan bergerak cepat, sistem dapat berputar dengan amat tidak terkendali” (Fareed Zakaria, 2021). Dengan kata lain, seperti ditegaskan Zakaria, situasi yang lebih terbuka, membuat semua menjadi dinamis, sekaligus menjadi lebih tidak stabil. Kepemimpinan kampus yang mampu memadukan antara visi, prioritas, dan imajinasi, akan dapat membentuk atmosfer akademik yang adaptif terhadap perubahan zaman.
(Suwarno Wisetrotomo, Asisten Direktur 1 Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Kurator Galeri Nasional Indonesia)