Polemik Paradigma Penciptaan Seni Akademik
Sejak institusi pendidikan tinggi seni berdiri, publik lazim mengenal istilah ”seni sekolahan”, ”seni intelek”, atau ”seni akademik”. Karya-karya yang dihasilkan terlihat susah untuk dimengerti, membuat dahi berkerut.
Sejak berpakaian tinggi seni berdiri, masyarakat lazim mengenal istilah ”seni sekolahan”, ”seni intelek”, atau ”seni akademik”. Peristiwa itu menjadi penanda bahwa seolah ada genre kesenian baru di luar kesenian pada umumnya.
Alih-alih menjadi mencusuar baru dalam kekaryaan seni, gaya sekolahan menjadi sangat dekat dengan masyarakat, alias tidak membumi. Karya-karya yang dihasilkan terlihat susah untuk membuat dahi berkerut dan mengerikan.
Salah satu penyebabnya, karya seni TIDAK semata didudukkan sebagai ”karya ansih” (an sich), tetapi bertaut DENGAN pelbagai medan pengetahuan—teori—di dalamnya. Karya seni itu dibaca dalam ”bingkai” agar ukuran-ukuran dapat ditentukan.
Ada adagium lawas, bagaimana seorang seniman yang mengandalkan kebebasan berimajinasi dalam membuat karya seni kemudian harus dibingkai (framing) dengan pelbagai macam teori seni. Polemik yang demikian terasa problematis.
Perguruan tinggi senior dan kampus pada umumnya. Ukuran percaya sebuah karya ditentukan dari rumus-rumus yang menyertainya. Oleh karena itu, kekaryaan seni dihadapkan pada masalah-masalah baru, yakni benar dan salah yang kalkulatif (dalam angka-angka).
Hal itu menjadi kewajaran karena tuntunan lembaga pendidikan memang demikian, bahwa karya seni yang abstrak dan abstrak, yang harus dibentuk, dapat dirasionalitaskan, harus dihitung, kata lain harus dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu, kekaryaan seni dihadapkan pada masalah-masalah baru, yakni benar dan salah yang kalkulatif (dalam angka-angka).
Pertanggungjawaban itu tidak bisa dilakukan dengan mempertontonkan karya seni semata, sementara publik diminta menafsir dan memaknainya dengan bebas sesuka hatinya. Kaidah kekaryaan seni di dalam tembok kampus atau sekolah senantiasa menghindari ”keliaran” interpretasi, harus bisa dikontrol dan diukur ”kadar estetikanya”.
Ukuran itu ditentukan atas nama deretan kurikulum. Berkarya seni selayaknya menciptakan produk pabrik, dengan mesin dan sistem yang telah ada atau disediakan. Akibatnya, tidak sedikit karya seni produk kampus yang terlihat seragam atau serupa karena dicetak dalam bingkai sistem kurikulum yang juga sama.
Lulusan perguruan tinggi seni terbiasa berpikir sistematis, sementara kodrat berkarya seni sering kali justru mengandalkan keliaran dan letupan-letupan tak terduga. Selama di bangku sekolahan, mahasiswa diajarkan konseptualisasi berkarya seni berdasarkan pelbagai rumus, teori, langkah atau tahapan, dan aturan-aturan. Tidak ada mata kuliah ”kebebasan dan keliaran berimajinasi”.
Persoalan lain, harus jujur diakui, bahwa kampus seni hingga detik ini masih sibuk menggunakan paradigma seni yang tak tumbuh dari dalam. Teori-teori seni sering kali meminjam dari disiplin ilmu lain, sebutlah misalnya antropologi, sosiologi, linguistik, sastra, komunikasi, dan lain sebagainya. Kajian ”dari dalam” belum tumbuh dengan baik.
Dalam dunia—musik—karawitan misalnya, terhenti sejak Rahayu Supanggah melahirkan konsep garap dan Sri Hastanto dengan teori pathet-nya. Selebihnya, pembacaan terhadapnya lebih banyak menggunakan peranti teori musik Barat.
Di satu sisi, kampus seni selama ini terjebak menjadi semacam ”pabrik seniman” yang melahirkan banyak sarjana, dengan tugas akhir kekaryaan dan pengkajian seni. Para sarjana itu dapat lulus selama mampu berkarya dengan kaidah-kaidah atau rumus-rumus yang telah ditentukan dari institusinya. Atau selama mereka mengkaji seni dan berhasil menautkannya dengan pelbagai macam teori sosial seperti tersebut di atas.
Selebihnya, pembacaan terhadapnya lebih banyak menggunakan peranti teori musik Barat.
Eksistensi mereka tidak terbaca oleh publik. Hasilnya, kita jarang mendengar seniman besar serta kritikus seni jempolan lahir dari rahim kampus seni. Jika pun ada, kebanyakan ilmu yang didapatnya justru ketika mereka berada di luar kampus, bersentuhan langsung dengan publik, dan melakukan kajian mendalam terhadap fenomena terkini. Dengan demikian, kampus terlalu banyak menghasilkan seniman, tapi tidak berupaya melahirkan ”penikmat” terhadap produk kekaryaan yang dihasilkannya.
Kajian-kajian terhadap respons publik yang menyangkut; kepuasan, keinginan, dan kritikan belum (atau mungkin tidak) pernah dilakukan. Oleh karena itu, tidak dapat diketahui dengan detail, bagaimana posisi karya seni akademik di tengah-tengah masyarakat.
Karya seni akademik seolah hanya prasyarat kelulusan, baik di tingkat sarjana, magister, hingga doktoral. Menjadi mencusuar yang tak dapat dijangkau—kata lain dinikmati—oleh publik.
Terjebak
Di sisi lain, pada tingkat pendidikan seni yang lebih tinggi (magister dan doktoral), jurusan kekaryaan seni kelihatannya masih terjebak dalam urusan teknis dan bentuk karya seni, bukan wacana dan ilmu pengetahuan yang ada di baliknya. Tugas akhir kekaryaan seni senantiasa bombastis dan gemerlap, tapi kemudian mudah dilupakan. Tidak ada jejak konseptual yang dapat dibaca, tidak ada upaya mencetak satu paradigma atau ilmu pengetahuan baru tentang kekaryaan seni.
Banyak seniman terkenal dengan bekal sarjana yang dimilikinya melanjutkan studi ke jejang yang lebih tinggi, baik magister maupun doktoral, semata hanya ingin menambah deretan gelar pada namanya. Posisi kampus seni seolah sekadar legitimatif atau ”pembaptis” karya-karya mereka agar laku mendapatkan gelar kesarjanaan.
Pertanyaannya kemudian, untuk apa harus melanjutkan studi kesarjanaan yang lebih tinggi jika karya-karya mereka telah dikenal publik, bahkan nama keartisannya lebih menjual dibanding dosen pengajarnya?
Persoalan itu disebabkan kampus seni selama ini lebih fokus mengurusi bentuk (form) kekaryaan dibanding ilmu pengetahuan (knowledge) yang ditorehkan. Tidak kaget kemudian jika karya-karya yang bagus itu tidak disertai dengan pertanggungjawaban akademik yang baik seperti kertas uraian pemikiran karya misalnya.
Pembacaan terhadap karya seni tidak pernah dilakukan secara matang, mengakibatkan tidak tumbuhnya paradigma kekaryaan yang komprehensif. Seniman besar berkuliah di kampus seni, sering kali bagus dalam berkarya, tapi gagap dalam menjelaskan konsep, wacana, dan kebaruan ilmu pengetahuan di dalam karyanya.
Pembacaan terhadap karya seni tidak pernah dilakukan secara matang, mengakibatkan tidak tumbuhnya paradigma kekaryaan yang komprehensif.
Oleh karena itu, seniman akademik tidak semestinya hanya jagoan, tapi juga mampu menuangkan pemikirannya untuk dibaca dan dicermati publik serta generasi sesudahnya.
Aris Setiawan
Etnomusikolog dan pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta